Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seperti Itik Patah Kaki

Seniman Sumatera Barat menyajikan ragam pertunjukan selama sepekan di Taman Ismail Marzuki. Melihat Minang yang diperbarui.

15 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seperti Itik Patah Kaki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GERAK lima penari itu terbatas. Masing-masing telah memasukkan satu kaki ke dalam belitan sarung dan kini sebelah tubuh mereka terbelenggu kain itu. Saat mereka hendak bergerak, belitan sarung menghalangi langkah. Mereka bergerak terpincang-pincang. Kadang tampak hendak jatuh terserimpet sarung sendiri.

Pada akhirnya, saat tempo musik semakin cepat dan mengentak, lima penari itu berkumpul rapat di tengah. Masing-masing melingkarkan sarung ke tubuh penari lain. Mereka saling terlilit dan gerak makin terjerat. Meski meronta-ronta hingga tampak kehabisan napas, tubuh-tubuh itu tetap terjebak dalam belitan. Lolongan dan ratok (ratapan) mengiringi kepayahan itu.

Koreografi Nagari Itiak Patah dari Syahril Alek ini menonjolkan gerak tubuh yang janggal, tak seimbang, seolah-olah terbelenggu atau seakan-akan salah satu anggota gerak tak dapat berfungsi normal. Pertunjukan ini jadi salah satu agenda malam ketiga Minangkabau Culture and Art Festival yang berlangsung selama sepekan lalu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Festival ini telah digelar dua kali, menampilkan ragam pertunjukan musik, tari, dan teater dari seniman kontemporer asal Sumatera Barat.

Gerakan-gerakan dalam koreografi ini diciptakan Syahril setelah mengamati seekor bebek, atau itiak dalam bahasa Minang, yang kakinya patah. Karena cacat itu, si bebek selalu ketinggalan dari rombongannya. "Ini melahirkan ide gerak tak seimbang antara kiri dan kanan," kata pengajar di Jurusan Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat, itu.

Unsur tak seimbang itu muncul di sepanjang pentas. Di awal, seorang penari (Sueb) muncul sendirian menggerakkan tubuhnya terpatah-patah membentuk sudut yang tak alamiah. Pergelangan tangannya terpuntir, kakinya terpelekok ke arah berlawanan. Mulutnya terbuka memperlihatkan gigi, tapi bukan tersenyum. Seperti seekor itiak patah.

Itik adalah hewan yang cukup akrab dalam filosofi budaya Minang. Itiak pulang patang, misalnya, adalah nama untuk motif ukiran yang menampilkan gambar kawanan bebek berbaris rapi. Filosofi Minang lainnya yang digunakan Syahril dalam koreografinya adalah unsur garak dan garik. Garak berarti insting, sementara garik adalah refleks. "Penari saya biarkan bergerak sesuai dengan insting dan refleksnya. Mereka bebas menafsirkan ruang," ucap Syahril.

Karena itu, jarang terlihat gerak yang seragam dalam koreografi ini. Meski ada plot, tiap penari bergerak sendiri-sendiri. Masing-masing merespons berbeda komposisi musik saluang pauah karya Hen Ambo (almarhum) dan Hanefi yang mengiringi tarian.

Kebebasan serupa muncul dalam koreografi lain yang dibuat Hartati. Dengan judul Wajah #2, Hartati menolak berkiblat pada prinsip-prinsip tarian Minang pada umumnya yang menurut dia kini justru membuat seniman terbelenggu. Padahal semua bentuk kesenian di Minang disebut pamenan (permainan), yang berarti tak ada kebakuan atau batasan dalam berkreasi. "Tapi saat ini tarian Minang seolah-olah stuck. Kalau tidak terlihat unsur Minang, seperti kostum tanduak atau tari piring, dibilang bukan Minang," ujar Hartati.

Hartati hendak keluar dari kebakuan itu. Ditarikan enam orang berkostum hitam-hitam, koreografinya sangat kontemporer dengan memasukkan unsur seperti break dance dan gerak stakato. "Minang bukan soal kebakuan gerak fisik, tapi spirit dan rohnya," kata lulusan Institut Kesenian Jakarta itu.

Koreografi ini terdiri atas kolase-kolase gerak. Panggung dibuat mencekam dengan pencahayaan minim. Musik pengiring kadang ada, kadang hilang. Para penari menahan tubuh dalam pose tertentu selama beberapa waktu, kemudian bergerak cepat dan tangkas mengambil posisi lain. Pada adegan lain, para penari bersalaman, lalu bergerak dengan tangan masih bertaut. Ada pula unsur pencak silat saat para penari berpasangan dua-dua lalu berduel.

Wajah #2, yang khusus dibuat untuk festival tersebut, merupakan kelanjutan dari karya Hartati sebelumnya yang berjudul Wajah #1. Seri ini menggambarkan kegelisahan Hartati tentang identitas orang Minang dan tradisi. Sebelum berbicara tentang orang Minang yang terpaku pada tradisi saklek, dia berbicara tentang orang Minang yang menjadi manusia urban. Wajah #1 lebih dinamis dan kental unsur silatnya. Saat itu, Hartati terinspirasi dari pedagang kaki lima, salah satu profesi paling umum orang Minang di perantauan.

n n n

LEWAT tema Manikam Jajak, yang berarti Menikam Jejak, festival ini menampilkan deretan seniman yang kuat sisi kontemporernya. Selain Hartati dan Syahril Alek, penata tari Minang yang tampil adalah Alfianto, Cilay, Benny Krisnawardi, Ali Sukri, dan Jefriandi Usman. Adapun untuk musik, tampil Armen Suwandi, Taufik Adam, Anursiwan, dan Yaser Arafat. Sedangkan yang menyajikan pentas teater adalah S. Metron Masdison dan Wendi H.S. Menurut Direktur Festival Minangkabau Art Culture and Art Festival Aidil Usman, tradisi Minang hanya dapat bertahan apabila generasi baru mampu menciptakan sendiri apa yang terbaik bagi zamannya dengan berkaca pada tradisi. Dia berpendapat kebudayaan Minang selalu memberi tempat untuk menerima kebaruan dari kebudayaan lain, bahkan untuk menjadi "warga" kebudayaan lain. "Menjadi Minangkabau dengan cara ’tidak menjadi Minangkabau’," ujar Aidil.

Kita bisa melihat mana dari pertunjukan di atas yang masih ragu-ragu, yang sudah bisa lepas, yang masih separuh-separuh, dan mana yang belum berani sama sekali keluar dari idiom-idiom tradisi Minang. Beberapa pertunjukan menampilkan unsur Minang yang sangat kental, tapi dengan blocking modern. Misalnya karya Rantau Berbisik dari Ery Mefri, yang ditampilkan pada pembukaan festival. Dibuat pada 2007, ini adalah salah satu karya Ery yang paling sering dipentaskan hingga ke panggung internasional. Karya ini juga akan ditampilkan pada Europhalia di Belgia dan Austria, pengujung tahun nanti.

Rantau Berbisik terinspirasi dari suasana warung nasi Padang. Maka panggung pun riuh dengan bunyi piring kaca yang diketuk ritmis. Ada sebuah gerobak di sudut panggung dan meja di bagian tengah. Di atas meja itu, seorang penari botak (Rio Mefri) berakrobat, menegakkan kaki ke atas dengan hanya bertumpu pada pinggir meja. Ia lalu melenting dan melompat lincah di bidang sempit itu.

Selanjutnya, meja diketuk-ketuk dan seorang penari muncul membawa tumpukan piring di tangan kiri seperti biasa kita lihat di warung nasi Padang. Piring-piring ditata di atas meja, lalu menjadi properti musik dan tarian. Gerak tari piring dan randai banyak muncul dalam koreografi ini.

Tari Selendang Api II dari Mohamad Ichlas atau Cilay juga didasarkan pada pola randai. Cilay meniru konfigurasi lingkaran yang digunakan dalam randai luambek dari Pariaman. Lima penari bergerak di atas papan kayu yang disusun melingkar. Gerak mereka yang ritmis menghasilkan alunan musikal di atas panggung. "Bentuk melingkar ini khas randai luambek dan randai darek," ucap putra koreografer Minang, Hoerijah Adam, itu.

Cilay membuat karya ini setelah lama tak membuat tarian. Sebelumnya, ia membuat tari Selendang Api I, lalu lama vakum dan berfokus membuat musik. Tarian ini berkisah tentang upaya melepaskan diri dari beban yang mengimpit. Tarian ini disimbolkan dengan seorang pria (Suryadi Sanubari, pemain teater) yang terlilit tali tambang dan berusaha melepaskan diri.

Adapun teater Mite Kudeta dari S. Metron Masdison didasari legenda ranah Minang tentang Puti Bungsu dan Cindua Mato. Karya ini tak banyak dialog dengan alur yang juga tak begitu jelas. Namun, yang menarik, empat aktor multibakat di atas panggung mampu sekaligus menampilkan akting, tarian, dan permainan musik dengan mengetuk-ngetuk bangku kayu.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus