SEMENTARA penyakit malaria tetap menjadi ancaman di Indonesia,
DDT menjadi tak mempan lagi sebagai obat semprot pembunuh
nyamuk. Karena itu, sesuai dengan anjuran organisasi kesehatan
dunia, WHO, sejak pekan lalu dimulai pemberantasan nyamuk
malaria dengan sistem predator.
Cara baru itu untuk pertama kali dilaksanakan di beberapa daerah
di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Daerah ini dipilih
karena sejak Oktober lalu penyakit malaria mewabah dengan cepat
di berbagai tempat. Dinas kesehatan setempat mencatat, dari
hampir satu juta penduduk Banjarnegara, sekitar 4.250 orang
positif menderita malaria. Dan angka itu diperkirakan bertambah
terus. "Sehingga, kami kewalahan menghadapinya," kata Broto
Hadiprabowo, kepala Sub-Unit P3M Dinas Kesehatan Banjarnegara.
Bahkan penelitian Direktorat Jenderal P3M Departemen Kesehatan,
sejak 1972 hingga awal 1983, memperlihatkan bahwa penyakit yang
bersumber dari nyamuk anopheles itu sudah berjangkit lagi di 19
provinsi, termasuk Jawa Tengah.
Sistem predator mengandalkan ikan kepala timah, atau ikan pancak
yang biasa dlpelihara di sawah-sawah, tambak, atau tempat berair
lain yang dicurigai biasa menjadi sarang nyamuk malaria.
Ikan-ikan inilah yang kelak diharapkan membasmi jentik-jentik
nyamuk malaria.
Metode ini, yang sebenarnya ditemukan bersamaan waktunya dengan
penemuan DDT, kini agaknya akan dikembangkan dengan contoh
proyek di Banjarnegara. Sekitar sejuta bibit ikan itu sudah
disiapkan untuk ditebarkan ke berbagai pelosok Banjarnegara.
Menurut Broto, langkah itu diambil karena kebosanan rakyat pada
DDT, dar karena ada petunjuk bahya jentik-jentik anopheles
acconites bibit nyamuk malaria yang ada di daerahnya, kini sudah
kebal terhadap DDT. Penduduk, kata Broto, sudah mencap DDT
"hanya mengotori dinding rumah, berbau, dan mendatangkan kutu
busuk." Yang terakhir ini mungkin karena DDT membunuh serangga
pemakan kutu busuk.
Sistem predator terpilih, agaknya, karena dia merupakan
alternatif pengganti DDT dalam memberantas nyamuk mlaria yang
lebih murah. Terutama jika dibandingkan dengan cara penyemprotan
dengan zat kimia lain: fenitrotion. Cairan ini memang jauh lebih
ampuh ketimbang DDT, tapi mahal.
Untuk menyemprot satu rumah, misalnya, diperlukan sekilo
fenitrotion yang berharga Rp 5.000, sementara dengan DDT cukup
Rp 600. Dengan DDT pun, secara massal Dinas Kesehatan
Banjarnegara hanya diberi jatah meiakukan penyemprotan dua kali
setahun. Penyemprotan ini sulit dlbayangkan bisa efektif
menyusup ke sarang-sarang nyamuk yang sudah menebar ke hampir 18
kecamatan yang ada di Banjarnegara.
Ditambah sikap penduduk yang tak begitu peduli, bisa dibayangkan
nyamuk malaria yang aktivitasnya tinggi pada malam hari itu
bebas berpesta-pora menyuntlkkan parasit plasmodium ke tubuh
penduduk Banjarnegara yang, menurut sebuah penelitian, suka
bergadang untuk menjaga sawah mereka. Para penduduk tadi mungkin
baru sadar ketika tubuh mereka mulai "demam menggigil" akibat
serangan parasit yang ditinggalkan sang nyamuk di limpa mereka.
Ini semua tak hanya membawa akibat bertambahnya penderita
malaria, tapi juga membawa perubahan pada sifat dan perilaku
nyamuk di sana. Hasil penelitian Tim Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, antara lain
mencatat bahwa perubahan itu terjadi: dari semula hanya pengisap
darah binatang (zoophtic) menjadi anya mengisap darah manusia
(anthropophilic). "Darah binatang (sapi, kerbau, kuda, dan
lain-lain) tak mereka sukai lagi, karena nyamuk itu terbiasa
mengisap darah manusia," kata Sugeng Yuwono, sekretaris Tim
Parasitologi FK UGM.
Menurut dia, perubahan itu terjadi lebih-lebih karena populasi
ternak memang sedikit di Banjarnegara. Satu desa, katanya,
paling banyak mempunyai tiga ekor sapi atau kerbau. Hewan tadi
dipelihara pemiliknya di kandang - di samping atau di belakang
rumah - dan jarang dilepas. Keadaan ini tentulah membatasi
nyamuk-nyamuk memilih sasaran. Dengan kata lain, ke mana pun
mereka berputar mencari mangsa, sasaran yang ada tetap manusia.
Sering "bergaul dengan manusia", menurut hasil penelitia Sugeng
dkk, lebih lanjut, menyebabkan penciuman nyamuk itu -
seperti juga manusia - peka pada DDT. Sedikit saja cairan itu
tersemprot, mereka langsung bisa membaui dan kontan terbang
menghindar. Lebih runyam karena penyemprotan pun biasanya
diadakan seadanya: tidak rutin dan tidak merata.
Akhirnya, segala-galanya lengkap nyamuk kebal dan beruhah
perilaku, serta penduduk enggan membasmi sarang malaria
karena benci DDT.
Rata-rata bertemperatur 20-26 derajat Celcius, kabupaten ini
menurut Broto memang daerah ideal buat nyamuk malaria. Di sana
banyak paya dan cekungan tanah berisi air yang terlindung
bukit. Pada 1977 daerah ini tercatat sebagai basis malaria
tertinggi di Indonesia: 200.000 lebih penduduk mengidap
malaria.
Pemberantasan dan pegobatan yang gencar menurunkan angka itu
pada tahun berikutnya. Tapi tahun 1980, Banjarnegara kembali
tampil sebagai pemegang rekor. Dengan operasi pemberantasan
yang lebih gencar, angka yang sempat hampir mencapai 40.000
itu menurun lagi.
Kini keadaan tampak beralik sepert posisi pada tahun 1977.
Hanya saja keadaan dana sekarang agak teratas sehingga mau
tak mau penyemprotan fenitrotion yang ampuh belum bisa
dipakai. Gantinya, dicoba cara prodater. Apakah cara ini
bisa efektif? "Masih terlalu dini dikemukakan sekarang," ucap
Broto.
Yang tak dini, mungkin, angka kematian akibat malaria itu.
Menurut WHO, tahun lalu 200 juta penduduk dunia yagn
diserang penyakit ini. Di Indonesia, angka terbaru belum
diumumkan. Tapi ancaman sudah membayang dari kasus di
Banjarnegara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini