Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ke Banjarnegara Mencoba Predator

Banjarnegara, jawa tengah, diserang wabah penyakit malaria. cara baru untuk memberantas bibit nyamuk, yaitu dengan sistem predator. ddt tak mempan lagi. malaria mewabah dengan cepat di berbagai tempat.(ksh)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Ke Banjarnegara Mencoba Predator
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEMENTARA penyakit malaria tetap menjadi ancaman di Indonesia, DDT menjadi tak mempan lagi sebagai obat semprot pembunuh nyamuk. Karena itu, sesuai dengan anjuran organisasi kesehatan dunia, WHO, sejak pekan lalu dimulai pemberantasan nyamuk malaria dengan sistem predator. Cara baru itu untuk pertama kali dilaksanakan di beberapa daerah di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Daerah ini dipilih karena sejak Oktober lalu penyakit malaria mewabah dengan cepat di berbagai tempat. Dinas kesehatan setempat mencatat, dari hampir satu juta penduduk Banjarnegara, sekitar 4.250 orang positif menderita malaria. Dan angka itu diperkirakan bertambah terus. "Sehingga, kami kewalahan menghadapinya," kata Broto Hadiprabowo, kepala Sub-Unit P3M Dinas Kesehatan Banjarnegara. Bahkan penelitian Direktorat Jenderal P3M Departemen Kesehatan, sejak 1972 hingga awal 1983, memperlihatkan bahwa penyakit yang bersumber dari nyamuk anopheles itu sudah berjangkit lagi di 19 provinsi, termasuk Jawa Tengah. Sistem predator mengandalkan ikan kepala timah, atau ikan pancak yang biasa dlpelihara di sawah-sawah, tambak, atau tempat berair lain yang dicurigai biasa menjadi sarang nyamuk malaria. Ikan-ikan inilah yang kelak diharapkan membasmi jentik-jentik nyamuk malaria. Metode ini, yang sebenarnya ditemukan bersamaan waktunya dengan penemuan DDT, kini agaknya akan dikembangkan dengan contoh proyek di Banjarnegara. Sekitar sejuta bibit ikan itu sudah disiapkan untuk ditebarkan ke berbagai pelosok Banjarnegara. Menurut Broto, langkah itu diambil karena kebosanan rakyat pada DDT, dar karena ada petunjuk bahya jentik-jentik anopheles acconites bibit nyamuk malaria yang ada di daerahnya, kini sudah kebal terhadap DDT. Penduduk, kata Broto, sudah mencap DDT "hanya mengotori dinding rumah, berbau, dan mendatangkan kutu busuk." Yang terakhir ini mungkin karena DDT membunuh serangga pemakan kutu busuk. Sistem predator terpilih, agaknya, karena dia merupakan alternatif pengganti DDT dalam memberantas nyamuk mlaria yang lebih murah. Terutama jika dibandingkan dengan cara penyemprotan dengan zat kimia lain: fenitrotion. Cairan ini memang jauh lebih ampuh ketimbang DDT, tapi mahal. Untuk menyemprot satu rumah, misalnya, diperlukan sekilo fenitrotion yang berharga Rp 5.000, sementara dengan DDT cukup Rp 600. Dengan DDT pun, secara massal Dinas Kesehatan Banjarnegara hanya diberi jatah meiakukan penyemprotan dua kali setahun. Penyemprotan ini sulit dlbayangkan bisa efektif menyusup ke sarang-sarang nyamuk yang sudah menebar ke hampir 18 kecamatan yang ada di Banjarnegara. Ditambah sikap penduduk yang tak begitu peduli, bisa dibayangkan nyamuk malaria yang aktivitasnya tinggi pada malam hari itu bebas berpesta-pora menyuntlkkan parasit plasmodium ke tubuh penduduk Banjarnegara yang, menurut sebuah penelitian, suka bergadang untuk menjaga sawah mereka. Para penduduk tadi mungkin baru sadar ketika tubuh mereka mulai "demam menggigil" akibat serangan parasit yang ditinggalkan sang nyamuk di limpa mereka. Ini semua tak hanya membawa akibat bertambahnya penderita malaria, tapi juga membawa perubahan pada sifat dan perilaku nyamuk di sana. Hasil penelitian Tim Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, antara lain mencatat bahwa perubahan itu terjadi: dari semula hanya pengisap darah binatang (zoophtic) menjadi anya mengisap darah manusia (anthropophilic). "Darah binatang (sapi, kerbau, kuda, dan lain-lain) tak mereka sukai lagi, karena nyamuk itu terbiasa mengisap darah manusia," kata Sugeng Yuwono, sekretaris Tim Parasitologi FK UGM. Menurut dia, perubahan itu terjadi lebih-lebih karena populasi ternak memang sedikit di Banjarnegara. Satu desa, katanya, paling banyak mempunyai tiga ekor sapi atau kerbau. Hewan tadi dipelihara pemiliknya di kandang - di samping atau di belakang rumah - dan jarang dilepas. Keadaan ini tentulah membatasi nyamuk-nyamuk memilih sasaran. Dengan kata lain, ke mana pun mereka berputar mencari mangsa, sasaran yang ada tetap manusia. Sering "bergaul dengan manusia", menurut hasil penelitia Sugeng dkk, lebih lanjut, menyebabkan penciuman nyamuk itu - seperti juga manusia - peka pada DDT. Sedikit saja cairan itu tersemprot, mereka langsung bisa membaui dan kontan terbang menghindar. Lebih runyam karena penyemprotan pun biasanya diadakan seadanya: tidak rutin dan tidak merata. Akhirnya, segala-galanya lengkap nyamuk kebal dan beruhah perilaku, serta penduduk enggan membasmi sarang malaria karena benci DDT. Rata-rata bertemperatur 20-26 derajat Celcius, kabupaten ini menurut Broto memang daerah ideal buat nyamuk malaria. Di sana banyak paya dan cekungan tanah berisi air yang terlindung bukit. Pada 1977 daerah ini tercatat sebagai basis malaria tertinggi di Indonesia: 200.000 lebih penduduk mengidap malaria. Pemberantasan dan pegobatan yang gencar menurunkan angka itu pada tahun berikutnya. Tapi tahun 1980, Banjarnegara kembali tampil sebagai pemegang rekor. Dengan operasi pemberantasan yang lebih gencar, angka yang sempat hampir mencapai 40.000 itu menurun lagi. Kini keadaan tampak beralik sepert posisi pada tahun 1977. Hanya saja keadaan dana sekarang agak teratas sehingga mau tak mau penyemprotan fenitrotion yang ampuh belum bisa dipakai. Gantinya, dicoba cara prodater. Apakah cara ini bisa efektif? "Masih terlalu dini dikemukakan sekarang," ucap Broto. Yang tak dini, mungkin, angka kematian akibat malaria itu. Menurut WHO, tahun lalu 200 juta penduduk dunia yagn diserang penyakit ini. Di Indonesia, angka terbaru belum diumumkan. Tapi ancaman sudah membayang dari kasus di Banjarnegara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus