Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari makin larut di kawasan Pa-da-larang, Jawa Barat, akhir bulan lalu. Sebuah sedan berwar-na kuning merayap lambat, men-de-kati gerbang tol. Dalam hitung-an detik, mobil sport dengan dua tempat duduk itu lenyap menembus pekatnya malam.
Tak sampai setengah jam kemudian, Honda S2000 yang jumlahnya di Indonesia tak lebih banyak dari jumlah jari di tangan itu telah meluncur di jalan tol dalam kota, Jakarta. ”Ini mimpi saya sejak- usia 16 tahun. Baru sekarang bisa terwujud,” kata Hamka Hamzah, lelaki muda yang mengemudikan jet darat itu.
Hamka bukanlah seorang eksekutif atau anak pejabat tinggi. Anak 22 tahun- itu adalah salah satu pemain sepak bola yang dimiliki klub Ibu Kota, Persi-ja. Dengan bayaran Rp 800 juta untuk sa-tu- musim kompetisi, hidup Hamka ber-ubah drastis.
Jangan bandingkan Hamka dengan Ro-naldinho, bintang yang baru saja mem-bawa El Barca merebut Piala Liga Champions, yang meraup Rp 253 miliar- setahun. Gaya hidupnya pun belum se-aduhai Ronaldo, yang biasa bepergian de-ngan pesawat jet pribadi, atau Roberto- Carlos yang ke mana-mana diiringi sejumlah pengawal.
Namun, untuk ukuran pemain sepak bola di Indonesia, penghasilan sebesar itu sudah cukup membawa Hamka menikmati hidup bergelimang suka. Yang jelas, kini ia bukan lagi seorang pemimpi yang hanya bisa berangan-angan se-perti lima tahun silam saat masih nebeng di rumah pamannya di Surabaya.
Sepak bola telah mengubah hidup Hamka, yang ditinggal pergi sang ayah saat masih anak-anak. Hamka, yang sejak sekolah dasar telah meninggalkan Ma-kassar, tempat ia lahir, kini mulai menapaki hidup bak selebriti.
Di asrama pemain Persija, Ragunan, Ja-karta Selatan, setiap hari ada saja rom-bongan gadis yang datang. Mereka meminta tanda tangan, memberi hadiah, atau sekadar bertemu dan bersalaman de-ngan Hamka. Ada pula yang hanya- puas melihat jendela kamar pemain mu-da itu dari luar asrama.
Usai berlatih selama dua jam di pagi hari, Hamka kembali ke kamar. Biasa-nya ia meminta dipijat oleh Usman, pemijat khusus pemain. Menjelang siang, pemain belakang andal ini mengun-jungi- kekasihnya yang tinggal di sebuah apar-temen di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Bak kebanyakan pesepak bola terkenal di Eropa, Hamka juga memiliki kekasih seorang model—kendati belum ngetop. Marissa Lufke, nama gadis itu, warga negara Jerman yang masih memiliki darah Indonesia dari garis ibu.
Dengan sedan Honda S2000 seharga setengah miliar rupiah itu, Hamka melesat dan menarik perhatian pengguna- ja-lan lainnya di tengah kemacetan Ja-kar-ta-, untuk menemui sang kekasih. -Bo-san ber-cengkerama dan menghabiskan- wak-tu di apartemen, pasangan itu biasa-nya pergi ke bioskop. ”Kami suka menon-ton film aksi,” kata pemilik tinggi tubuh 180 sentimeter ini. Untuk kenyamanan, ia memilih studio premiere dengan tiket masuk sekitar Rp 100 ribu per orang.
Kembali ke asrama, Hamka dan teman-teman satu timnya berlatih di sore hari hingga menjelang malam. Dari tribun penonton, Marissa tak lepas meng-awasi gerak-gerik kekasih hatinya itu di lapangan hijau.
Bila malam tiba, saatnya melepas penat. Klub diskotek Vertigo di Plaza Se-mang-gi, atau Dragonfly di Plaza BIP, Gatot Subroto, menjadi tujuan favorit- -pa-sangan ini. Di klub Vertigo itulah Ham-zah pertama kali bertemu Marissa-, dua bulan silam. ”Saya dikenalkan se-orang teman,” katanya.
Kebiasaan mengunjungi klub malam memang menjadi bagian hidup Hamka-. Namun, hal itu hanya bisa ia lakukan ji-ka tak ada latihan keesokan paginya. Toh, tetap saja Hamka dicap sebagai pemain yang lekat dengan ”dugem”, dunia gemerlap. Cap ini pula yang membuat di-rinya tidak dipanggil pelatih tim nasional Peter Withe untuk memperkuat Indonesia di SEA Games Filipina 2005 lalu. ”Mungkin karena saya dianggap na-kal dan tidak disiplin,” kata Hamka, -pekan lalu.
Apa pun anggapan Withe, Hamka te-tap merupakan salah satu palang pintu- terbaik di Indonesia. Pada penghujung- musim 2005, ia menjadi rebutan setidak-nya enam klub papan atas. Persija ngo-tot- memperpanjang kontraknya, PSM Makassar berusaha mengambil keuntung-an sebagai tim kota kelahiran Ham-ka. Persib Bandung, PSMS Medan, Pe-li-ta Jaya, dan Per-sik Kediri tak mau ke-tinggalan menawarkan kon-trak yang meng-giurkan, Rp 1 miliar. Tapi, dengan- pertimbangan kekuatan tim, Hamka memilih bertahan di Jakarta.
Dengan bayaran ratus-an juta, belum termasuk- berbagai bonus dan bayaran iklan, Hamka disebut-sebut sebagai pemain belakang termahal di Liga Indonesia, sekaligus termahal kedua di Persija Jakarta setelah kapten tim Ismed Sofyan.
Uang sebanyak itu mem-buat Hamka- bisa membeli mimpi-mim-pinya di masa lalu. Ki-ni, ia biasa berbelanja- ke Singa-pura atau Kua-la Lumpur, Malaysia. ”Ka-lau ada libur satu-dua hari, saya main ke Bali,” kata penggemar musik Kenny G. ini.
Pemain yang ikut membawa Per-sik- -Ke-diri menjadi juara Liga Indonesia 2003 ini mengaku menyim-pan mimpi- -ba-ru, yaitu bermain un-tuk salah satu klub Jerman. ”Untuk klub divisi II, saya kira saya masih sanggup,” ujar penggemar- nasi goreng ini.
Rencana merumput di Jerman itu terkait dengan cita-citanya bersama sang ke-kasih. Hamka, yang dua tahun lalu ter-sandung masalah hukum karena ditu-duh menganiaya istrinya, Feby Akil, be-rencana menikahi Marissa dan menetap di Jerman. Namun, sebelum itu ia ber-tekad membawa Persija menjuarai Liga dan Copa.
Ihwal gaya hidupnya yang menjadi so-rotan, Hamka tak mau ambil pusing.- Mengendarai mobil mewah dengan kecepatan hingga 200 kilometer- per jam, melepas penat di klub malam, atau mam-pir di kafe-kafe, menurut dia, ha-nya cara yang ia jalani untuk menikmati hidup.
Gaya hidup Hamka- bertolak bela-kang- dengan ki-per- ka-wak-an Hendro Karti-ko. Pilihan utama untuk posisi- penjaga gawang tim nasio-nal ini le-bih suka menghabiskan wak-tu di dalam kamar, dan hanya sese-kali ke-luar asrama. ”Saya juga per-nah pergi ke klub ma-lam, tapi masa-masa itu sudah berlalu,” kata pria kelahiran Banyuwangi 33 tahun silam ini.
Seusai latih-an Ra-bu pagi pekan la-lu, mi-sal-nya, Hendro kem-ba-li ke ka-marnya dan langsung ti-dur. Siang ha-ri, ia hanya turun ke lo-bi as-ra-ma un-tuk me-nyantap ma-kan siang, dan lang-sung kembali ke ka-mar. Sete-lah se-je-nak me-non-ton berita dan membaca buku-buku agama, Hendro kembali istirahat agar tubuhnya fit saat latih-an sore hari.
Televisi, buku, dan play station menjadi pengisi waktu Hendro di kamar. Se-sekali ia keluar- untuk sekadar me-ngobrol de-ngan- para pemain lain. Ka-rena ja-rang meninggalkan asrama, Hendro me-rasa tidak memerlukan mobil. Kalaupun terpaksa bepergian, kiper berkepala pe-lontos ini memilih menumpang taksi. ”Saya keluar hanya membeli keperluan se-hari-hari atau membeli buku,” kata pe-main yang pernah mengecap gelar juara Liga Indonesia dengan dua klub berbeda, PSM Makassar dan Persebaya, itu.
Sebagai pemain terbaik di posisinya,- Hendro dikabarkan meneken kontrak senilai Rp 600 juta per musim ketika pindah dari Persebaya ke Persija, awal mu-sim 2005. Dengan pendapatan sebesar itu, Hendro bisa memenuhi impian-nya membuatkan rumah bagi kedua orang tuanya di Surabaya.
Selain itu, Hendro juga membangun ru-mah di tanah kelahirannya dan sebuah rumah lagi di Malang yang kini didiami istrinya, Erik Erika. Lantaran tinggal jauh dari istrinya, Hendro lebih senang berada di kamar sambil mene-lepon atau saling berkirim pesan singkat dengan sang istri. Jika ada libur latihan, ia langsung terbang menemui Erik.
Belakangan ini, waktu luang Hendro- lebih banyak diisi de-ngan membaca bu-ku-buku agama. Semakin banyak- membaca, Hendro me-ngaku lebih tenang dan bisa menekan emosi-nya saat tam-pil di lapang-an. Beberapa musim lalu, Hendro memang dikenal sebagai pemain tem-pe-ramental dan kerap terlibat adu mulut dengan wasit.
Satu hal yang sama dari Hamka dan Hendro adalah ke-dua-nya- gemar menabung. Itu me-reka lakukan agar tak pu-sing memi-kirkan masa de-pan se-telah gan-tung -se-patu. ”Saya mena-bung, juga in-ves-tasi kecil-kecil-an,” kata Hendro, yang lebih su-ka mengen-darai se-peda mo-tor saat ting-gal di Surabaya. Ham-ka- mengatakan me-na-bung untuk modal usa-ha kelak. Ketika tangan dan ka-ki nanti tak sigap lagi, me-reka tahu tak ada lagi ratusan juta yang datang mengalir.
Adek Media Roza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo