Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sepiring Kambing Hitam

Perupa Hari Budiono menafsir buku Kambing Hitam yang ditulis Sindhunata ke dalam karya lukis. Lugas dan mengentak.

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di piring itu terhidang me-nu yang ganjil. Se-orang pe-rempuan Tionghoa dengan pa-kaian tradisional duduk me-megang pisau dan garpu. Ia si-ap menyantap sajian di hadapannya: sepotong kepala kambing.

Kambing di atas meja ma-kan itu tampak belum lama di-po-tong-—dengan mata yang terbuka dan bulu-bulu hitam yang lebat. Perempuan itu tersenyum kecut.- Matanya menatap suguhan tak la-zim tapi tampak tak asing itu. Ia seperti hendak berkata, ”Makan ini lagi, ini lagi.”

Perupa Hari Budiono menggam-bar-kan potret mino-ritas kaum Tionghoa yang kerap menja-di kambing hitam da-lam sejarah keke-rasan di Indonesia melalui lukisan berjudul Putri Cina itu. Dengan teknik cat minyak di atas kanvas 190 x 240 senti-meter, ia segera saja bisa melentingkan ingatan pemir-sa lu-kisannya kepada epi-sode gelap ke-rusuh-an Mei 1998, ketika perempu-an-perempuan Tionghoa dirampok, di-lucuti, dan diperkosa. Sebuah periode keji yang tak mungkin lari dari benak ini.

Lima belas lukisan Hari yang dipajang di Bentara Budaya Jakarta pa-da 9–13 Mei—juga di Galeri Orasis Su-rabaya mulai 22 Mei—itu dipamerkan untuk me-ngenang sewindu kekerasan yang terjadi bersamaan dengan peralihan kekuasaan pada Mei 1998. Se-puluh lukisan di antaranya meng-gam-barkan pelbagai drama yang di-alami putri Cina.

Pada Cucak Rowo 2 (145 x 145 cm), lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Yo-g-ya-karta pada 1985 itu menggambar seorang lelaki yang membusungkan dada. Tangan ka-nannya memegang sangkar bu-rung, sementara tangan kirinya meng-genggam boneka putri Ci-na. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.

Pada lukisan ini, selain terinspirasi- oleh peristiwa kerusuhan Mei, Hari me-ngatakan, ”Saya juga terilhami teks lagu Cucak Rowo yang menurut saya penuh kekerasan.” Cucak Rowo adalah lagu yang sering dinyanyikan dalam pentas-pentas dangdut atau musik campursari.

Hari juga melukis dua anjing b-uldog yang mengenakan topeng. Dua an-jing itu siap bertempur dengan la-tar belakang kelir pewayangan de-ngan tokoh- Semar dan Togog saling ber-hadap-an. Hari memberinya judul Semar Togog (200 x 300 cm).

Topeng kedua anjing itu tampak le-bih seram dari wajah anjing sebenar-nya. Gigi taring mereka menonjol, sementara seorang putri Cina duduk ter-jepit di antara kedua-nya. Lukisan ini hendak menga-takan, ketika dua kekuatan ber-ta-rung, maka resultante dari per-tempuran itu adalah jatuhnya korban.

Hari menyuguhkan rangkaian lukisan realis bertema kekerasan setelah ia berdiskusi dengan Sin-dhunata, penulis buku Kambing- Hitam yang diluncurkan bersa-ma-an dengan pameran itu. Di buku itu, Sindhunata memaparkan kajian pemikiran filosof Prancis Rene Girard seputar kekerasan.

Dalam salah satu hi-potesisnya, Girard mengungkapkan bah-wa kekerasan dapat menular. Mahasis-wa yang mengalami- kekerasan aparat ke-aman-an, misalnya, akan membalasnya dengan kekerasan da-lam cara yang lain: aksi perusakan, pembakaran, penyandera-an atau penjarahan.

Menularnya aksi ke-kerasan itu, dalam teori Girard, tak pe-lak, menghasilkan- kor-ban. Dan sang korban sewaktuwaktu bisa dipersalahkan se-bagai biang keladi segala sebab. Pada po-sisi ini sang korban menjadi kambing hitam.

Menurut Girard, kam-bing hi-tam biasanya dicomot dari sa-tu ke-lompok minoritas atau re-ligiosi-tas tertentu yang t-e-lah ber-tahun-tahun (ba-h-kan ber-abad-abad) berada d-alam st-ig-ma sebagai korban. Sin-dhu-n-ata menyebut komu-nitas Tionghoa untuk kasus Indonesia.

Kekerasan terhadap kelom-pok ini, tulis Sindhunata, te-lah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Pada 1740, misalnya, ada 10 ribu orang Tionghoa dibantai.- Sete-ngah abad lalu, tepatnya pada 1947, juga tercatat ratusan orang dihabisi tanpa sebab yang jelas dalam peristiwa yang dikenal sebagai ”Tjamboek Berdoeri” di Ma-lang, Jawa Timur.

Pelbagai kekerasan pada kaum Tionghoa itu, seperti tergambar dalam lukisan-lukisan Hari yang lugas dan vokal, berlangsung bagai ”santapan sehari-hari”. Ia terhidang sebagai me-nu langganan di meja makan pada setiap pagi.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus