Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Medina Warda Aulia tetap asyik menyeruput es cokelat dari bungkus plastik saat melayani tantangan Tempo bermain catur di rumahnya di Babelan, Bekasi, Selasa pekan lalu. Raut muka gadis 16 tahun ini tenang, bahkan tak terlihat mengerutkan kening tanda berpikir keras.
Pada langkah ke-17, ia menggeser menteri putihnya ke posisi D7. Di depan perwira ini ada bidak raja hitam. Skak mat! Laga tak imbang itu berakhir hanya dalam sembilan menit. Medina tersenyum tipis. Dan Tempo tersenyum kecut!
Tapi, memang, apa yang bisa dilakukan Tempo jika sang lawan bukanlah remaja biasa? Perkenalkan: inilah Medina, gadis ajaib yang baru saja menyabet gelar Āwoman grandmaster (WGM) pada 23 September lalu. Pencapaian itu menjadikan Medina sebagai WGM termuda di Indonesia, mematahkan rekor yang sebelumnya dipegang Irene Kharisma Sukandar. Medina memetik gelar prestisius tersebut saat usianya baru 16 tahun 2 bulan 16 hari. Sedangkan Irene mencapainya pada umur 16 tahun 7 bulan 18 hari.
Medina memastikan WGM-nya itu setelah mengalahkan FIDE Master Lanita Stetsko dari Belarus pada babak kesepuluh Kejuaraan Catur Junior Dunia di Kocaeli, Turki, tiga pekan lalu. Di ujung turnamen, Medina sukses mengumpulkan 7 poin dari 10 babak.
Merujuk pada Direct Titles yang dikeluarkan Federasi Catur Dunia (FIDE), seorang pemain berhak atas norma grandmaster jika mengumpulkan 7 poin dalam turnamen yang diikuti para pecatur dengan rating 2.251-2.289. Ini adalah norma grandmaster ketiga yang diraih Medina. Dua norma sebelumnya ia rebut tahun lalu dalam Kejuaraan Catur Wanita di Singapura dan Kejuaraan Catur Internasional di Satka, ĀRusia.
Dengan tiga norma grandmaster di kantong, Medina berhak menyandang gelar WGM. Sebab, syarat lainnya, seperti melawan minimal empat orang bergelar WGM dalam satu turnamen, telah ia lakoni. Di Turki, dari sepuluh lawan yang dihaĀdapi Medina, lima bergelar WGM. Dari lima pertarungan melawan WGM itu, Medina meraup dua kemenangan, menderita dua kali kalah, dan sekali remis.
Salah satu WGM yang ditekuk Medina adalah Alina Kashlinskaya, unggulan pertama asal Rusia. Medina berhasil melumpuhkannya hanya dalam 24 langkah! Padahal rating Alina 2.435, jauh lebih tinggi ketimbang Medina, yang baru 2.301. ĀRating 2.301 ini sekaligus menggenapi syarat lain untuk layak memegang gelar WGM, karena pecatur harus memiliki Ārating minimal 2.300 untuk titel tersebut.
Dengan gelar tersebut, Medina kini berada di kelompok elite pecatur dunia. Di Indonesia, hanya ada dua orang yang memiliki gelar ini, yakni Medina dan Irene. Sedangkan di dunia, merujuk pada daftar yang dirilis FIDE (Mei 2013), hanya ada 279 wanita yang mampu menyandang Āgelar tersebut.
Kristianus Liem, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PB Percasi sekaligus Kepala Sekolah Catur Utut Adianto, mengatakan kunci sukses Medina tak lain karena gadis kelahiran 7 Juli 1997 itu sangat jenius.
Menurut Liem, Medina mampu menganalisis taktik lawan dengan cepat sekaligus membaca kerangka permainan. "Dia mampu memahami posisinya akan seperti apa dalam setiap langkah," kata Liem. "Dia bisa memprediksi sepuluh langkah ke depan!"
Mampu melakukan perkiraan langkah memang menjadi syarat mutlak pecatur dunia. Entahlah, barangkali terselip sejenis perkiraan pula di benak ayahnya, Nur Muchlisin, ketika mulai mengajari Medina langkah-langkah catur saat usia sang putri baru 9 tahun (kelas IV SD).
Nur Muchlisin memang penggila catur. Saat masih bersekolah di SMA Muhammadiyah Jakarta Barat, ia pernah menjadi juara satu lomba catur se-DKI Jakarta. Ia mengenalkan catur kepada putri keduanya itu sembari berlatih juga. "Ayah biasanya membaca buku catur dulu, kemudian mempraktekkannya ke saya," kata Medina.
Setelah memahami langkah catur, Medina sering diadu dengan teman-teman Muchlisin, yang kerap berkumpul saban Sabtu malam di rumahnya. "Tak jarang sampai pukul tiga pagi," tutur Medina. Toh, dia sangat menikmati berbagai pertarungan itu. "Soalnya, kalau menang dikasih Rp 20 ribu oleh Ayah," katanya tersenyum. "Jumlah segitu lumayan banyak untuk jajan di sekolah."
Karena Medina sering menang, apa boleh buat, Nur Muchlisin harus menyiapkan banyak bonus. Pria yang sehari-hari mengelola kontrakan dan jual-beli kendaraan ini kemudian mendaftarkan Medina ke Kejuaraan Daerah Catur DKI Jakarta, Mei 2006. Tak diduga, Medina mampu menyabet gelar juara I. "Padahal dia baru belajar catur tiga bulan," kata Muchlisin. "Dari situ saya menyadari bakatnya sangat besar."
Tampil kinclong di kejuaraan daerah membuat Medina diincar Sekolah Catur Utut Adianto. Mereka menghubungi Medina dan memintanya bergabung. Tawaran itu langsung disambar. "Gratis," ujar Medina.
Di sekolah catur inilah bakat Medina digosok. Setiap hari, sepulang sekolah, dia ngacir ke sekolah catur mendalami olahraga otak di atas papan hitam-putih itu. "Biasanya latihannya enam jam sehari," kata Medina.
Pada Juni 2007, ia dikirim ke Thailand untuk mengikuti lomba ASEAN Youth Club. Medina, yang turun di kelompok umur 10 tahun, sukses menjadi juara kedua. Dua bulan kemudian, ia meraih gelar juara pertama di kejuaraan nasional.
Langkah Medina terus berlanjut. Pada 2008, ia memboyong trofi di Kejuaraan Dunia Antarpelajar di Singapura. Setahun berikutnya, ia menjadi juara pertama kejuaraan dunia di Yunani. "Saat di Yunani itu saya sedang kena demam berdarah," ujar Medina.
Tapi tak semuanya berlangsung mulus. Ia sempat mengalami masa-masa sulit pada periode 2009-2010. "Itu tahap saat saya beralih dari junior ke senior," kata Medina. "Saya kurang pengalaman sehingga sempat kalah terus."
Setahun berikutnya, setelah ia mampu beradaptasi, persoalan lain menghadangnya: kejenuhan! Maklum, sejak berkenalan dengan catur pada 2006, ia tak pernah lepas dari bidak catur. "Pernah pas tanding saya mendadak blank," ujarnya.
Pada saat semacam itulah Medina tak bisa dipaksa bertanding. Sebab, "Kalau sudah bad mood, mainnya jadi jelek," katanya. Untuk mengusir jenuh, ia membaca komik detektif Conan dan berpelesir bersama teman-temannya.
Perlahan Medina memang menemukan cara mengatasi hambatan. Menghadapi durasi pertarungan yang kadang mencapai enam jam, misalnya, Medina punya resep bagi dirinya. "Sebelum bertanding, saya harus tidur minimal delapan jam," ujarnya.
Itu tip umum saja sebenarnya. Yang khas Medina adalah ini: sebelum bertanding, ia makan ikan teri. Entah kenapa, ia merasa nyaman dengan lauk tersebut. Jangan heran, setiap kali ia bertanding di luar negeri, akan selalu ada bungkusan ikan teri terselip di tasnya. "Itu bekel saya karena makanan di Eropa tidak enak," katanya.
Dengan ikan teri inilah Medina akan terus melanglang dunia menjajaki batas kemampuan permainannya. Kristianus Liem memuji ketekunan Medina menyeriusi catur, meski cabang ini tak seheboh sepak bola atau bulu tangkis. Catur adalah dunia yang sepi publisitas. Tapi, "Medina menikmati kesunyian di papan catur ini," katanya.
Sebuah kesunyian yang bahkan dialami Medina dalam arti harfiah. Saat ia pulang dari Turki pada 27 September lalu, misalnya, tak ada sambutan meriah untuknya. Padahal ia pulang dengan gelar yang sangat bergengsi: woman grandmaster! "Gelar itu dahsyat, ya?" kata ibunda Medina, Siti Eka Nurhayati. "Tapi kok sepi-sepi aja?"
Nur Muchlisin mengatakan sampai saat ini pemerintah bahkan belum memberikan ucapan selamat. Sebuah salam hanya disampaikan Ketua Umum PB Percasi Hashim Djojohadikusumo. Bahkan pengusaha besar itu, kata Muchlisin, sempat berjanji menggelar syukuran. Tapi, sampai kisah ini ditulis, hal itu belum terwujud.
Dan Medina bagai tak terpengaruh respons yang minim itu. Setidaknya, dengan tetap menyeruput es cokelatnya, ia begitu santai mengalahkan Tempo bermain catur....
Dwi Riyanto Agustiar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo