Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praja Sapta Ardiantara duduk di atas kursi roda sambil menghadap sebuah laptop. Kepalanya bersarung benda mirip kerangka helm untuk merekam aktivitas elektrik saraf otak. Dunia medis jamak mengenalnya sebagai electroencephalogram. Dari ujung kerangka utama yang menyerupai headset, menjulur kabel kecil dengan ujung berbentuk bulat. Alat yang biasa disebut elektroda itu menempel di beberapa bagian kulit kepalanya.
Begitu laptop di hadapannya menyala, Sapta berkonsentrasi sejenak. Dia tersenyum dengan bibir tetap terkatup selama beberapa detik. Kursi roda itu tiba-tiba maju. Berjalan tiga meter, roda kursi berhenti seperti direm ketika Sapta menggerakkan rahang gigi belakangnya mirip ekspresi orang marah.
Sapta lalu menggerakkan kedua alisnya hingga keningnya berkerut selama beberapa detik. Kursi roda itu pun bergerak mundur. Gerak roda kembali berhenti ketika dia memainkan rahang gigi belakangnya. Dia kemudian mengatupkan ujung matanya sebelah kiri selama beberapa detik, roda kursinya pun membelok ke kiri. Ketika mengatupkan ujung mata kanan, roda kursi ikut membelok ke kanan. "Butuh banyak latihan agar bisa fokus," ujarnya di sela kegiatan memeragakan kursi roda Gamakuda (Gadjah Mada Kursi Roda) rancangan timnya pekan lalu.
Kursi roda ini dibuat oleh lima mahasiswa program studi elektronika dan instrumentasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas GaÂdjah Mada angkatan 2009. Mereka adalah Rangga Kurniawan, Praja Sapta Ardiantara, Hafizh Adi Nugroho, Muhammad Maftuhul Haq, dan Ahmad Muzakky.
Karya ini menyabet medali perak Pekan Ilmiah Nasional ke-26 di Universitas Mataram untuk Program Kreativitas Mahasiswa Karya Cipta pada 9-13 September lalu. Mereka mengusung proposal berjudul "Smart Wheelchair (SWC) Based on Brain Machine Interface: Prototipe Kursi Roda dengan Inovasi Gelombang Otak sebagai Sistem Kendali" di kompetisi antarmahasiswa se-Indonesia itu.
Rangga, koordinator tim perancang Gamakuda, mengatakan kursi roda itu dibuat dengan memadukan tiga perspektif sains, yaitu teknologi medis mengenai perekaman gelombang otak, teknologi mekanik mesin yang bisa bergerak otomatis atau robot, dan perspektif sosial sains untuk membantu kalangan disabel. Tujuannya membantu penyandang cacat yang sama sekali tak mampu bergerak atau tak memiliki tangan dan kaki tapi kondisi otaknya tetap normal. "Mirip kursi roda Hawking," ujarnya merujuk pada fisikawan Stephen Hawking, yang menderita amyotrophic lateral sclerosis sehingga hampir lumpuh total.
Teknologi dunia medis telah lama menemukan bahwa setiap gerak organ tubuh manusia selalu menimbulkan respons gelombang otak. Gelombang yang muncul dari aktivitas elektrik saraf otak ini biasa ditangkap dengan metode electroencephalogram (EEG). Caranya dengan menempelkan belasan lempeng besi kecil seukuran kerikil, yang biasa disebut elektroda, ke kulit kepala. EEG biasa dipakai di dunia medis untuk memantau aktivitas gelombang otak, yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar terapi pasien epilepsi, kanker, tumor, dan lainnya. "EEG kami olah dalam sistem komputer untuk diterjemahkan menjadi perintah gerak kursi roda," ujar Rangga.
Konsep dasar kerja teknologi Gamakuda ini memanfaatkan temuan dunia medis tersebut. Gerak kulit wajah yang ditahan selama beberapa detik memicu gelombang otak khusus di frekuensi beta. Gelombang ini ditangkap oleh belasan butir elektroda yang terpasang di kepala pengoperasi Gamakuda. Laptop berfungsi merekam gelombang otak yang ditangkap elektroda. Rekaman ini terkirim ke komputer melalui sambungan Bluetooth. Sebuah software sudah ditanam di laptop. Peranti lunak ini berfungsi mengolah gelombang otak dari lima jenis gerak mimik wajah sebagai sandi perintah. "Kami merancang software ini agar bisa menangkap gerak mimik wajah yang bertahan selama lebih dari lima detik. Jadi mimik wajah yang muncul tanpa sengaja tidak masuk kategori perintah," kata Rangga.
Sandi perintah yang diolah software lalu dikategorikan dalam simbol huruf A, B, C, D, dan E. Masing-masing memuat makna perintah roda maju, mundur, belok kanan, belok kiri, dan berhenti atau rem. Rangga mengatakan kode software ini kemudian ditransfer dari laptop ke komponen controller yang biasa dipakai sebagai otak mesin robot. "Controller lalu menerjemahkan perintah ini ke sistem mekanik mesin kursi roda," tutur Rangga.
Hafizh Nugroho, anggota tim lainnya, mengatakan timnya sedang memikirkan cara untuk mengembangkan teknologi kursi roda pintar berbiaya Rp 10,7 juta ini. Prinsip teknologinya sebenarnya hanya mencari aktivitas pemicu gelombang otak yang cukup jelas untuk dianalisis komputer menjadi perintah ke mesin. "Bisa pula diterapkan untuk perintah pada alat-alat elektronik atau mesin lainnya," ujarnya.
Kursi roda serupa dikembangkan Kelompok Keahlian Instrumentasi dan Kontrol Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung sejak 2011. Bedanya, gerakan kursi roda dibantu dengan sedikit gerakan tangan kanan atau kiri. Tim ini beranggotakan dosen, yaitu Suprijanto, Augie Widyotriatmo, dan Ayu Garetha, serta mahasiswa S-1 teknik kimia, yakni Ananta Adhi Wardhana, Affan Kaysa, dan Evan Clearesta. Gagasan riset tersebut datang dari Suprijanto di Laboratorium Instrumentasi Medik sepulang meraih gelar doktor di Belanda. "Riset yang mengukur aktivitas otak itu masih sedikit," katanya kepada Tempo.
Inovasi kursi roda kendali otak muncul bersamaan dengan berkembangnya teknologi brain computer interface (BCI), yaitu teknologi yang menghubungkan sinyal otak dengan sistem komputer. Adapun riset BCI sudah dimulai pada 1970-an oleh University of California Los Angeles, Amerika Serikat. Adapun teknologi EEG sudah ditemukan pada 1924 oleh Hans Berger. Riset kursi roda yang dikendalikan otak dimulai pada 1990-an. Contohnya adalah yang dikembangkan oleh Riken BSI-Toyota. Kolaborasi Toyota ini telah sukses mengembangkan sistem yang memproses sinyal dari otak dengan cepat, setiap 125 milidetik. Ini memungkinkan kursi roda bergerak tanpa mengalami penundaan. Toyota mengklaim kursi roda mereka 95 persen akurat.
Menurut Augie Widyotriatmo, tim ITB sedang menyempurnakan sistem robotik untuk mengurangi kelemahan jika pengendalian kursi roda sepenuhnya mengandalkan kemampuan otak. "Dengan akurasi 95 persen, pengguna kursi itu pasti harus sangat berkonsentrasi," katanya.
Affan Kaysa mengatakan tak mudah memusatkan pikiran penuh untuk menjalankan kursi roda. "Capek secara mental dan fisik. Lebih susah menggerakkan daripada menghentikan kursi itu," ujarnya. Sepanjang gerak kursi, otak harus terus memberi perintah. Selain masalah konsentrasi, pengiriman sinyal otak ke kursi roda masih bisa terganggu listrik tegangan tinggi dan aplikasi ponsel.
Sebelum bisa menggerakkan kursi roda, Affan harus melatih otak untuk memberi perintah maju serta belok kiri dan kanan. Hasil pembelajaran itu kemudian direkam secara matematis dalam aplikasi data sebagai jaringan saraf tiruan. Data itu menggambarkan pola sinyal perintah otak untuk membuat kursi berjalan lurus dan belok—yang sementara ini baru diset rodanya bisa berputar hingga 45 derajat. Pola sinyal otak pengguna itu kemudian disimpan di komputer kursi roda.
Pakar robotika dari Universitas Indonesia, Abdul Muis, mengatakan prinsip kerja EEG mendeteksi pancaran gelombang dari neuron di otak. Tiap gelombang memiliki karakteristik, seperti frekuensi dan periode tertentu, yang bisa menjadi pola. "Misalnya dari berusaha berpikir ke kiri, bagian otak tertentu bekerja lebih keras, sehingga memancarkan energi gelombang tertentu lebih tinggi dibanding gelombang lain," ujarnya.
Prinsip itu, kata Muis, bisa diterjemahkan ke kursi roda karena gerakan kursi roda yang simpel: maju, mundur, kanan, kiri, bergerak cepat dan sedang. "Itu sesuatu yang simpel, cuma Âbeberapa kombinasi, paling 10 kombinasi," ujar Âdosen teknik elektro Universitas Indonesia ini. Dengan menggunakan banyak sensor, hasilnya juga semakin bagus. "Tapi itu juga bergantung pada pengolahannya, bagaimaÂna algoritma mereka menerjemahkan itu."
Nantinya, kata dia, kursi roda bisa melakukan apa yang dibayangkan oleh penggunanya, bukan hanya berbelok kanan-kiri, maju, dan mundur. "Saat ini belum. Untuk sampai ke sana butuh banyak percobaan," ujar Muis.
Erwin Zachri, Addi Mawahibun Idhom, Anwar Siswadi
Gamakuda (Gadjah Mada Kursi Roda)
Tujuannya membantu penyandang cacat yang sama sekali tak mampu bergerak atau tak memiliki tangan dan kaki tapi kondisi otaknya tetap normal.
Cara kerja Gamakuda:
1. Gerak kulit wajah yang ditahan beberapa detik memicu gelombang khusus di otak.
2. Gelombang itu ditangkap oleh belasan elektroda yang terpasang di kepala pengguna Gamakuda.
3. Gelombang dikirim ke laptop melalui sambungan Bluetooth.
4. Peranti lunak di laptop mengolah gelombang otak menjadi sandi-sandi perintah.
5. Sandi-sandi perintah ditransfer ke controller.
6. Controller menerjemahkan perintah ke sistem mekanik kursi roda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo