TARMIDI Suhardjo tidak mampu membendung emosinya. Matanya merah terbelalak. Tangannya mengepal. Ketika wartawan merubungnya selepas sidang pemilihan ketua DPRD DKI Jakarta, Senin pekan lalu, ia menjerit histeris. "Jangan tanya saya. Kekalahan ini bukan tanggung jawab saya…!" katanya. Peluh meleleh di jidatnya. Kilasan blitz kamera wartawan menunjukkan betapa wajah itu penuh kemelut.
Bisa dipahami kalau Tarmidi senewen. Mestinya dialah tokoh yang akan memimpin DPRD DKI Jakarta lima tahun ke depan. Dengan beking dukungan 30 kursi PDI Perjuangan, partai tempatnya berasal, di atas kertas, ia sudah menang. Apalagi lawannya tidak seimbang. Partai Persatuan Pembangunan, yang menjagokan Djafar Badjeber, dan Partai Amanat Nasional, dengan calon H.M. Suwardi, hanya punya kekuatan masing-masing 13 kursi, sementara Edy Waluyo dari TNI punya 9 kursi.
Tapi keajaiban memang bisa datang kapan saja, juga Senin pekan lalu itu. Pemungutan suara memberikan hasil lain. Tarmidi malah ringsek dengan 9 suara. Ia ditelikung Mayjen Edy Waluyo dari Fraksi TNI, yang mendapat 40 suara. Sementara itu, Djafar Badjeber dari PPP mendapat 30 suara dan H.M. Suwardi dari PAN cuma mendapat angin kosong.
Tarmidi ditusuk dari belakang? Berita itulah yang beredar. Dari 30 kursi partai banteng ketaton itu, 20 di antaranya telah loncat pagar ke markas TNI. Sedangkan TNI, yang cuma punya 9 prajurit di DPRD, justru disokong oleh Golkar (8 suara), Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Bhinneka Tunggal Ika, dan Partai Persatuan (3 suara). Sementara itu, runner-up Djafar Badjeber mendapat 13 kursi dari PAN, 13 dari PPP sendiri, 4 dari Partai Keadilan, dan 2 dari Partai Bulan Bintang. Total, ia mendapat 30 suara setelah dipotong 2 suara rusak.
Anehnya, perintah loncat pagar kader banteng itu ternyata datang dari markas PDI Perjuangan sendiri—melalui Ketua Dewan Pengurus Daerah PDIP DKI Roy B. Janis. Mulanya, pada pukul 12.10 WIB, semua anggota pasukan PDIP solid mendukung Tarmidi. Tapi, pada pukul 13.15 WIB, instruksi dari Roy datang melalui Maringan Pangaribuan—pengurus DPD PDIP DKI—yang datang dari meja ke meja. Isinya: alihkan semua suara ke TNI. "Siapa yang tidak panik mendengar seruan itu?" kata Tarmidi. Belakangan, Roy menjelaskan bahwa itu adalah keputusan Megawati, yang katanya "untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar."
Keputusan Megawati? Itulah yang membuat banyak pendukung PDI Perjuangan geram. Bukan apa-apa, pengalihan suara ke tentara itu seperti menyangkal sejarah PDIP dan Megawati sendiri. Tiga tahun lalu, dalam peristiwa 27 Juli, massa setia Mega diremukkan tentara saat bertahan habis-habisan di kantor pusat partai—kala itu masih bernama PDI—di Jalan Diponegoro. Sekarang mereka malah menyokong pasukan baju hijau itu. Sungguh sebuah kontradiksi yang sulit dipahami.
Tapi ada yang melihat sisi lain dari gelagat aneh ini. Seorang sumber TEMPO yang dekat dengan Tarmidi menyebutkan, rangkulan banteng dengan pasukan baju hijau itu adalah bagian dari upaya Mega untuk "berdagang" dengan TNI: mereka rela melepas DPRD DKI, tapi mengharapkan dukungan Wiranto kepada Mega dalam sidang umum mendatang. "PDIP sedang mengambil hati TNI. Istilah Jawanya, taktik golek (mencari) warna untuk menjadi mitra PDIP," kata sumber itu lagi.
Merasa tak habis pikir, Tarmidi langsung mengontak Mega untuk konfirmasi. Dua kali ia mengirim utusan ke rumah Mega di Kebagusan. Jawaban yang diperolehnya: positif. Keputusan itu memang dibuat Mega. Saat ia datang sendiri, si Ibu tetap menjawab sama. Putri Bung Karno itu menegaskan bahwa ia harus menjalankan amanat kongres PDIP di Bali yang menginginkan Mega menjadi presiden. "Target kongres Bali kan menjadikan Mega sebagai presiden, bukan Tarmidi menjadi ketua DPRD," kata Mega bercanda, seperti dikutip sumber tadi.
Tapi mengapa Mega harus merangkul TNI? Di sinilah blundernya. Mega, kabarnya, sangat khawatir dengan menguatnya poros tengah yang akan menjagokan Gus Dur. Dalam konteks ambruknya Tarmidi, sasaran keputusan itu—selain untuk politik dagang sapi dengan militer—adalah untuk menggeboskan calon dari poros tengah. Daripada bengong sendiri tanpa sokongan siapa pun, Mega mengambil inisiatif merangkul tentara. Kabarnya, ia belakangan rajin bertemu dengan Panglima TNI Jenderal Wiranto. "Bermitra dengan poros tengah tidak mungkin. Nyatanya, mereka justru menjegal saya," kata Mega, seperti dikutip sumber itu.
Bahwa poros tengah menguat untuk mengegolkan Djafar Badjeber, itu memang telah menjadi rahasia umum. Tarmidi mengaku sudah berusaha melobi "kaukus" pimpinan Amien Rais itu sebelum hari pemilihan. Sabtu malam, Tarmidi bertemu dengan utusan dari PAN. Tapi utusan itu bertahan akan memilih H.M. Suwardi. Hal yang sama terjadi pada PPP, yang beristikamah mendukung Djafar Badjeber. Tapi, Minggu malam, delegasi poros tengah bertemu di Restoran Pulau Dua, Senayan. Dalam rapat itu, disepakati bahwa suara poros tengah akan dilarikan ke Djafar. Walhasil, Djafar menguat dengan 30 suara tadi.
Tapi, betulkah skenario golek warna dari PDIP tersebut? Salah satu pemimpin PDIP, Tarto Sudiro, membenarkan bahwa dikorbankannya Tarmidi adalah kehendak Mega. Tapi ia tak yakin bahwa pernah ada pembicaraan khusus tentang strategi itu. Artinya, ini adalah murni keputusan Mega. Soal "politik tongkat komando" Mega ini dibenarkan seorang sumber TEMPO yang dekat dengan Kebagusan. Bahkan, keputusan sepihak Mega itu sempat membuat beberapa pengurus DPP mencak-mencak, "Terutama mereka yang tidak suka dengan Roy B. Janis," kata sang sumber.
Bagi banyak orang, fenomena loncat pagar ini menggambarkan kegamangan pasukan Megawati. "Saya melihat PDIP tidak percaya diri," kata Djafar Badjeber. Kalau saja Mega mau maju, bukan lantas ia bakal ambrol di sidang umum MPR karena tidak berangkulan dengan TNI—yang berkekuatan 38 kursi. Apalagi biaya sosial yang harus dibayar partai pemenang pemilu (dengan 153 kursi) ini lumayan besar. Lantaran meminang TNI, partai Mega bisa dicap antireformasi.
Tapi nasi, sebagian, memang telah menjadi bubur. Kasak-kusuk para wakil rakyat DKI menyebutkan, inilah geladi resik Mega menuju sidang umum nanti. Toh, Tarmidi sudah nrimo dengan nasib yang ditimpakan kepadanya. Politisi karir yang hanya berpendidikan SMA itu cukup senang dengan jabatan wakil ketua DPRD. "Lumayanlah. Kantornya bagus. Ada kasurnya segala," katanya pelan. Ekspresi lebih terbuka diungkapkan para pendukung banteng bibir putih ini. Mereka menggelar sindiran di teras Kebagusan: sebuah kursi merah dililit segepok uang kertas bergambar wajah Soeharto.
Arif Zulkifli, Hani Pudjiarti, Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini