Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN 129 atlet, Indonesia akan tampil sebagai kontingen terkecil negara Asia Tenggara dalam Asian Games di Doha, mulai Jumat mendatang. Ibu kota negara yang terletak di perbatasan Asia Barat dan Timur Tengah itu akan dibanjiri sekitar sepuluh ribu atlet dari 45 negara. Mereka bertanding dalam Asian Games, yang kali ini memperebutkan sekitar 1.500 medali dari 46 cabang olahraga.
Indonesia akan bertarung di 20 cabang olahraga. Catatan prestasi Indonesia memang sedang jelek. Di ajang pekan olahraga Asia Tenggara (SEA Games) akhir tahun lalu, Indonesia hanya meraih peringkat kelima. Itu sebabnya Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) tak berani mematok target muluk-muluk. ”Minimal sama dengan perolehan di Asian Games Busan,” kata Agum Gumelar, Ketua Umum KONI.
Di Busan, Korea Selatan, empat tahun silam, Indonesia hanya mendulang empat dari 427 medali emas yang diperebutkan, dan jatuh di peringkat ke-14. Ini merupakan peringkat terburuk Indonesia sejak mengikuti Asian Games I di New Delhi, India, 1951.
Empat emas di Doha diharapkan datang dari boling, bulu tangkis, karate, dan layar. Bagaimana kans emas itu?
Boling
Sejak menyumbangkan emas pada SEA Games Manila 2005, para atlet boling tak tertahankan menjuarai berbagai turnamen tingkat Asia. Puncaknya, di Kejuaraan Boling Tenpin Asia di Jakarta, Agustus lalu, Ryan Lalisang dan Putty Insavilla Armein Cs mengumpulkan tiga emas, tiga perak, dan tiga perunggu, sekaligus menjadi juara umum.
Prestasi mereka membuat KONI berani menargetkan satu emas dari cabang ini. Padahal Ryan dan Putty sama-sama berpeluang besar menjadi juara. Ryan bahkan berambisi menyabet emas di nomor perorangan dan beregu. ”Saya yakin kami bisa mewujudkan itu,” katanya mantap.
Pasukan boling memiliki 12 atlet. Tapi, Putty dan Ryan memang selalu menjadi sorotan. Selain juara Asia, Putty, 25 tahun, merupakan finalis turnamen World Master di Kuwait, Juni lalu. Prestasi itu membuat Putty menggeser peboling Malaysia, Shalin Zulkifli, di puncak daftar peringkat Asia. Putty juga menyimpan target sendiri, yaitu merebut emas nomor trio.
Ryan, yang kini berada di peringkat ketiga Asia, mendapat kepercayaan tinggi setelah melewati prestasi dua pemain di atasnya pada Qubica AMF Bowling World Cup di Venezuela, tiga pekan silam. Dua peboling dengan peringkat lebih tinggi itu adalah Remy Ong dari Singapura dan Wu Siu Hong dari Hong Kong. Dua pemain ini juga ia tundukkan pada kejuaraan Asia di Jakarta, Agustus lalu.
Untuk memantapkan persiapan, para peboling itu tekun berlatih, termasuk di akhir pekan. ”Sabtu-Minggu tetap berlatih,” kata Ryan. Latihan berlangsung di lintasan boling Jaya Ancol, Jakarta Utara, di bawah pengawasan duet pelatih asing: Sid Allen dari Kanada dan Ruben Ghiragossian dari Venezuela.
Bulu tangkis
Prestasi olahraga tepok bulu angsa Indonesia belakangan ini merosot. Di Busan, hanya Taufik Hidayat yang berhasil merebut emas. Nomor beregu putra, yang menjadi langganan Indonesia sejak 1994, lepas setelah Indonesia menyerah dari tuan rumah di partai final.
Setelah tim Indonesia gagal total di Piala Thomas dan Uber, juga Kejuaraan Dunia 2006, KONI hanya membebani bulu tangkis dengan target satu emas. Kepala Sub-Bidang Pelatihan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, Lius Pongoh, mengatakan harapan itu tertumpu pada pasangan Nova Widianto/Lilyana Natsir. Pasangan juara dunia 2005 ini menempati peringkat pertama daftar ranking Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF).
Indonesia juga mengintip peluang di nomor ganda putra. Menurut Lius, pasangan Markis Kido/Hendra Setiawan berpeluang besar merebut emas. Markis/Hendra merupakan peringkat kelima IBF, tapi pada turnamen Cina Terbuka, Oktober lalu, pasangan ini mengempaskan peringkat satu dunia Fu Haifeng/Cay Yun. Tidak tanggung-tanggung, Markis/Hendra menang dua set langsung atas pasangan tuan rumah itu. ”Ini modal untuk tampil di Qatar,” kata Hendra.
Satu peluang emas lain ada di nomor tunggal putra melalui Taufik Hidayat. Sayang, menantu Agum Gumelar ini sering angin-anginan dan sulit diprediksi. ”Kita tetap berharap pada Taufik, tapi itu lebih bergantung pada tekadnya sendiri,” kata Lius. Taufik adalah pemegang emas Olimpiade 2004 dan juara dunia 2005. Namun, sepanjang 2006, ia tidak menunjukkan permainan terbaiknya. Ia kandas di putaran ketiga kejuaraan dunia di Madrid, Spanyol.
Karate
Cabang ini boleh dibilang paling percaya diri menghadapi Asian Games. Setelah menjadi juara umum SEA Games Filipina 2005 dengan mendulang lima medali emas, mereka langsung menggelar pemusatan latihan jangka panjang. ”Sekarang semua karateka dalam kondisi terbaik dan bertekad merebut emas,” kata Madju Darianto Hutapea, Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Federasi Olahraga Karate-do Indonesia (FORKI).
Latihan digelar di Ravenburg, Jerman, di bawah pengawasan Gunter Mohr, pemegang Dan 7 yang menangani tim Jerman pada periode 1980-2001. Mohr pula yang menangani para karateka Indonesia menjelang SEA Games Manila. Jerman menjadi pilihan karena negara ini merupakan pusat kekuatan karate dunia. Kota Ravensburg merupakan kamp yang menjadi tempat latihan para karateka dari berbagai penjuru dunia, termasuk Jepang dan Korea.
Delapan karateka yang dipersiapkan, terdiri dari lima putra dan tiga putri, optimistis merebut emas. KONI cuma menargetkan satu emas dari cabang ini. Menurut Madju, kemampuan para karateka hampir sama. Sulit menyebut siapa yang paling berpeluang merebut medali karena mereka bergantian menjadi juara di berbagai turnamen uji coba. ”Kami mengandalkan semua atlet yang dikirim,” katanya.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa Donny Darmawan di kelas 60 kilogram dan Umar Syarief di kelas 80 kilogram, yang baru pulih dari cedera, merupakan karateka yang paling diandalkan. Donny adalah peraih perunggu Kejuaraan Karate Dunia di Finlandia. Di turnamen prestisius itu, ia hanya kalah dari karateka Eropa. Sedangkan Umar adalah peraih emas SEA Games sekaligus juara dunia di ajang pemanasan Sommercamps, Jerman.
Di cabang olahraga ini, saingan berat diperkirakan datang dari negara pecahan Uni Soviet. Tak salah, kata Madju, bila latihan digelar di Jerman dan para atlet lebih banyak mengikuti turnamen pemanasan di Eropa. ”Karena gaya mereka (karateka dari negara pecahan Soviet) mirip karateka Eropa,” ujarnya.
Layar
Cabang layar tidak bisa dipisahkan dari nama Oka Sulaksana. Dalam delapan tahun terakhir, Oka memang tak tergantikan. Dia merebut emas pada Asian Games 1998 dan 2002. Kini, di usia 35 tahun, ia kembali dibebani target merebut emas di nomor andalannya: heavy mistral one man design. Adapun rekan satu timnya, I Gde Subagiasa, hanya ditargetkan masuk empat besar. ”Saat ini Oka masih yang terbaik di Asia,” kata Othniel Mamahit, manajer tim layar.
Meski bertabur prestasi, Oka menjalani latihan dengan sederhana. Ia berlatih sendiri di Sanur, Bali, dengan peralatan seadanya. Oka mengaku kesulitan membeli peralatan. Harga satu set papan selancar mencapai Rp 22 juta. Beruntung ada teman yang mau meminjamkan uang. Kalau sudah benar-benar kepepet, ia terpaksa meminjam uang ke bank. Begitu mendapat hadiah uang dari suatu turnamen, ia segera melunasi utang-utangnya.
Di perairan Doha nanti, Oka bakal menantang peselancar Hong Kong, Ho Chi Ho. Sepanjang tahun ini, keduanya bersaing ketat di tiap turnamen. Pada Singapura Terbuka Januari lalu, Oka keluar sebagai juara, dan Ho di peringkat kedua. Sedangkan di kejuaraan Hong Kong 2006 lalu, giliran Ho yang menjadi juara, dan Oka di tempat kedua. ”Mereka selalu bergantian merebut posisi pertama tiap race,” kata Othniel.
Adek Media Roza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo