Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mereka Moyang Orang Jambi

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak seperti Borobudur, candi-candi bata Muarajambi hampir tanpa relief. Tak ada cerita yang bisa disimak di dinding-dinding tumpukan bata itu. Namun, bukan berarti masyarakat pembangun Muarajambi adalah masyarakat yang tak melek baca-tulis.

Itu diyakini arkeolog senior Profesor Mundardjito. Buktinya, lempeng emas dari lantai dasar Candi Gumpung sudah berisi mantra Buddha yang ditulis dengan aksara kuno, diperkirakan berasal dari abad 9-10 Masehi. "Justru karena mereka sudah paham baca-tulis, mereka tak perlu lagi diberi pelajaran," katanya.

Bagaimana dengan penampilan mereka? Arkeolog Junus Satrio Atmodjo memperkirakan masyarakat Muarajambi berpenampilan tak ubahnya suku Kubu atau suku Anak Dalam di kaki Gunung Kerinci, hulu Sungai Batanghari. Yang laki-laki mengenakan kain sarung dan rompi tak berkancing. Sementara yang perempuan juga mengenakan kain sarung. Tanpa penutup dada. Catatan perjalanan dari negeri Cina di masa lalu pernah menulis gaya penduduk di Nusantara yang menggunakan sekadar cawat untuk menutup badan.

Tapi penampilan sederhana itu bukanlah cermin kemiskinan. Bukti ada banyak artefak emas dan perkakas rumah tangga impor dari Cina, Thailand, hingga Persia yang ditemukan menunjukkan tingkat status sosial mereka. Mereka tidak pula kekurangan tekstil, karena pada masa itu mereka sudah mengenal budaya tenun. Artinya, mereka berkecukupan. "Ini masalah iklim. Buat apa pakai baju tebal di udara tropis?" kata Junus.

Nah, meski mondar-mandi dengan kain sarung, masyarakatnya sudah memiliki spesialisasi pekerjaan. Ini ciri masyarakat kompleks yang sudah menetap. Ada orang yang tinggal di antara candi untuk mengurus candi dan melakukan ibadah, ada pula yang di luar kompleks.

Yang di luar berfungsi sebagai pemasok suplai makanan seperti nelayan dan peladang. Rumahnya sendiri di atas panggung, laiknya rumah-rumah di Sumatera. Ini demi mengakali banjir musiman yang membuat permukaan air Batanghari bisa naik hingga 5-6 meter. Sedangkan mereka yang di dalam tinggal tak jauh dari kompleks candi.

Menurut Nurhadi Rangkuti, kepala Balai Arkeologi Palembang, letak bangunan kuno yang berdekatan menandakan berlangsungnya mobilitas penduduk. Bagaimana tidak, jarak antara bangunan candi dan meunapo rata-rata kurang dari 300 meter. "Ditemukannya ribuan artefak di sekitar candi, berarti ada konsentrasi penduduk yang tinggal di situ," kata dia.

Meski memiliki kanal-kanal kuno, di Muarajambi belum ditemukan bukti adanya irigasi. Tak tampak pula hamparan sawah. Yang lebih banyak terlihat adalah tanaman tadah hujan. Ini berarti beras hanya sedikit. Tapi makanan berprotein tinggi sangat berlimpah seperti hewan ternak: sapi, ayam dan itik, serta ikan dari sungai. Buah-buahan juga banyak: ada durian, mangga, jeruk, kelapa, duku, manggis, bahkan sagu dan asam kandis. "Diet mereka menunjukkan mereka masyarakat yang sangat sehat," kata Junus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus