Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Otik-Oteng Mengobok Bumi

Para arkeolog, bermodalkan kaki telanjang, besi behel, hingga alat GPS, memugar situs Muarajambi. Pernah pula salah pugar.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setumpuk uang kertas pernah mampir di atas meja mereka 20 tahun lalu. Tak cuma uang, tapi juga sebuah kunci mobil Honda Accord. Pada era 1980-an, gengsi mengendarai mobil ini mungkin setara dengan mengemudikan Toyota Lexus pada 2006 ini.

Tujuan sang pemberi uang dan mobil itu satu: menghentikan upaya arkeolog Mundardjito dan muridnya, Junus Satrio Atmodjo, yang tengah memugar situs percandian di Muarajambi. Ada perusahaan kayu yang merasa usahanya terancam oleh kehadiran arkeolog itu. Usaha untuk "membeli" idealisme pun dilakukan. Berapa total jumlah uang suap itu? Keduanya hanya tertawa. "Langsung dikembalikan, tak sempat dihitung," kata Junus.

Mengobrol di tepi kolam kuno Telagorajo pertengahan September lalu, Mundardjito duduk santai tak ubahnya di pekarangan rumah sendiri. Lebih dari 20 tahun berlalu saat ia dan ahli purbakala asal Indonesia lainnya pertama kali melangkah di kompleks peribadatan kuno itu. Pak Otik-begitu ia biasa dipanggil-adalah profesor doktor di bidang arkeologi. Pada 1995, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia menahbiskannya sebagai guru besar.

Pengalamannya berderet-deret. Ia terlibat dalam pelestarian Candi Borobudur, Prambanan, Trowulan, Banten Lama, Palembang, Muara Takus, Muarajambi, dan lainnya. Di luar negeri ia meneliti sejumlah temuan kuno di Yunani, Myanmar, Vietnam, Sri Lanka, dan Kamboja. Kini Pak Otik sudah pensiun. Namun ratusan murid masih menunggunya di kampus, untuk kuliah maupun bimbingan tugas akhir.

Esoknya, Pak Otik mengajak berjalan-jalan mengelilingi situs. Dengan sepatu karet yang usang, langkahnya ringan menapaki jalan tanah dari Candi Kedaton menuju Candi Gumpung. Jaraknya empat setengah kilometer. Sesekali tangannya menunjuk ke meunapo (gundukan tanah yang diduga berisi bangunan candi) yang tersembunyi di sela-sela dedaunan. "Itu, satu lagi ngumpet," katanya.

Pak Otik senang menunjukkan berbagai sudut Muarajambi. Baginya, tempat itu adalah laboratorium purbakala yang tak ada habisnya menyumbang ilmu. Puluhan kali ia membawa muridnya ke Muarajambi. Kalau ketemu bata, para muridnya pasti berteriak girang.

Salah satu murid Pak Otik kemudian serius "menggarap" Muarajambi. Di tangan Junus, pemugaran dilakukan secara terpadu. Selama delapan tahun (1990-1997), Pak Oteng-panggilan akrab Junus-membuka reruntuhan candi yang tersembunyi di hutan duku dan durian di Muarajambi menjadi kompleks situs seperti sekarang.

Bekas aktivis Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia ini memimpin tugas pemotretan, penggambaran, penataan, konservasi, pemugaran, sosialisasi, hingga manajemen situs dengan satu tujuan: agar bisa dinikmati lebih banyak orang. Saat itu ia menjadi Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala untuk wilayah Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Usianya 33 tahun. Sempat menjadi Direktur Purbakala dan Permuseuman dan Kepala Balai Arkeologi Jambi, kini ia Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Pemotretan bukan pekerjaan mudah. Terutama ketika seluruh kawasan masih tertutup vegetasi hutan tropis yang hanya beberapa ratus meter di tepi sungai. Fotografer pertama adalah Parno, orang yang sudah punya pengalaman memotret Candi Borobudur. Menumpang pesawat capung, Parno memotret Muarajambi sambil berputar-putar di sekeliling kawasan. Pusing, tentu. "Sebentar memotret, sebentar muntah-muntah," cerita Pak Otik.

Pak Oteng sebenarnya bukan yang pertama datang. Muhammad Yamin, penulis teks Sumpah Pemuda, pernah meminta para ahli purbakala Indonesia datang pada 1954. Mereka yakin Muarajambi berhubungan dengan Sriwijaya, tapi tak mengeksplorasi lebih jauh.

Sempat terhenti dua dasawarsa, tim baru datang lagi pada 1975. Seluruh lokasi masih berupa hutan sekunder yang berisi pohon duku dan durian. Lingkar pohonnya ada yang sampai 2-3 meter. Gunting pun menjadi senjata ampuh untuk menggunting pacet gendut pengisap darah yang menempel di kaki. "Ini kebun rakyat, baru ditebas kalau sudah dekat panen," ucap Pak Oteng.

Pekerjaan berat dilakukan setidaknya selama dua tahun hanya untuk membuka hutan, menemukan trek jalan setapak baru, mencatat segala sesuatunya, dan memberi pengertian kepada masyarakat agar mendukung pemugaran. Syukurlah, sampai sekarang tak ada tentangan berat dari penduduk lokal, yang hampir semuanya muslim. "Kami keturunan Raja Jambi," kata seorang penduduk.

Pada 1978, pemugaran terhadap bangunan candi baru dilakukan. Candi Gumpung, terletak di muka jalan masuk menuju kompleks, menjadi proyek pertama. Tapi justru di situ terjadi kecelakaan. Karena tak seorang pun punya pengalaman memugar candi berbahan dasar bata di Sumatera sebelumnya, sejumlah kesalahan dasar terjadi akibat salah koordinasi dan kurangnya kontrol antar-instansi Dinas Purbakala dan Departemen Pekerjaan Umum.

Misalnya, gambar prototipe bangunan candi yang dimiripkan dengan bangunan candi di Jawa. Pemeretelan bata tak sesuai dengan urutan. Pecahnya ribuan artefak keramik kuno-berusia ribuan tahun-akibat pacul pekerja yang membersihkan lahan bagai menggali got di pekarangan. Dan yang paling parah, pengisian ruang sebelah dalam candi dengan beton. "Masih trial and error," kata dia. Tak pelak, setiap kali pandangannya menumbuk Candi Gumpung, Pak Oteng merasa bersalah.

"Dosa" itu kemudian ditebusnya dengan Candi Tinggi, yang pagarnya hanya berjarak 200 meter dari Gumpung. Melibatkan lebih dari seratus warga desa, candi yang ukurannya lebih kecil dari tetangganya ini dapat dipugar dengan lebih taat azaz arkeologi. Reruntuhan dari Candi Tinggi sendiri lebih utuh sehingga dari fondasi hingga tepi atas bata dapat direkonstruksi ulang. Longoklah ke dalam lubang di tubuh bangunan yang tersisa. Berjarak sekitar 30 sentimeter dari bata luar, terdapat bangunan bata lagi di dalamnya. Artinya, bagai bangunan tumbuh, Candi Tinggi pernah "dibungkus" atau diubah setidaknya satu kali. Persis seperti Candi Kalasan, Jawa Timur.

"Saya ikut menyusun batanya," kata Zubaidi, bangga. Pria 42 tahun ini penduduk Desa Muarajambi yang terlibat pemugaran sejak tamat sekolah menengah pertama pada 1981. Bekerja dari pukul 07.30 hingga pukul 16.00 sore, mereka membawa bekal makan siang dari rumah. Akhir 1970-an, upahnya Rp 400 per hari. Baru pada 1980-an, jumlah ini merangkak naik hingga Rp 1.500.

Zubaidi, bersama Salam, kakaknya yang lebih dulu terlibat dalam pemugaran, adalah ahli waris terdekat dari bangunan bata berusia seribu tahun ini. Melalui mereka, Pak Oteng meminta dukungan warga lokal untuk melindungi seluruh kompleks. "Untuk kepentingan kito 'lah, ini raja-raja kita sebelum Islam datang," ujarnya.

Banyak cara yang dilakukan para arkeolog untuk merekonstruksi peradaban yang berlangsung ribuan tahun lalu. Tapi mereka tak hendak menjadikan ketiadaan dana dan sarana sebagai hambatan. Bagai hukum alam, kreativitas justru muncul dalam kondisi yang papa.

Saat melakukan survei, Pak Oteng tak lupa membawa dua buah besi behel di tangan. Pelan-pelan ia berjalan. Jika besi itu saling bersilang-akibat daya magnet-itu berarti ada struktur bangunan di bawah permukaan. Cara lain bisa dilakukan dengan mengetuk-ngetuk permukaan tanah dan menyimak baik-baik bunyinya. "Kalau ada struktur, bunyinya beda," katanya. Tak ubahnya gaya orang Indian di film koboi saat mendeteksi derap lari kuda dari kejauhan.

Cara lain adalah dengan mengamati ketebalan rumput di permukaan. Bila salah satu sisi tampak menebal atau menipis secara simetris, ada kemungkinan struktur kedua permukaan berbeda. Yang lucu bila lokasinya di rawa-rawa, seperti halnya sejumlah situs lainnya di tepi Batanghari. Tak jarang arkeolog menenggelamkan tubuh di rawa dengan berpegangan pada perahu, sementara dengan kaki telanjang berusaha meraba dan menggapai temuan yang ada di dasar rawa. "Itu ngobokologi namanya," Pak Oteng tertawa keras.

Baru pada 2003 foto satelit dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional menunjukkan bukti tak terbantahkan tentang kemegahan situs secara keseluruhan. Dengan sistem navigasi berbasis satelit (global positioning system), jumlah meunapo yang ada bisa dicatat dengan teliti. Dari perhitungan terakhir, jumlahnya mencapai 83 buah. Yang telah bisa dipugar baru 14 bangunan.

Artinya, masih banyak ladang pengetahuan yang bisa digali. Dan lebih banyak lagi "detektif masa lalu" yang mesti datang menyelidiki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus