Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Gemilang Para Jago Tua

Macan-macan tua unjuk gigi di Kejuaraan Dunia Bridge Senior Bowl. Prestasi diraih dengan dana terbatas.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana di dalam sekretariat Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi) di kompleks Stadion Bung Karno tampak ramai tapi hening. Sekitar 20 laki-laki berada di sebuah ruangan, tapi mereka duduk takzim tak saling bicara. Duduk terpisah dan berkelompok di lima meja yang berbeda—setiap meja berisi empat orang—mereka asyik mengamati kartu yang ada di tangan masing-masing. ”Di sini tidak pernah sepi. Selalu ada yang datang untuk latihan,” kata Bert Toar Polii, Sekretaris Gabsi.

Ruangan itu biasanya digunakan pemain nasional untuk berlatih. Jika tidak ada kegiatan tim nasional, para pemain klub memanfaatkan tempat itu untuk mengasah kemampuan mereka, seperti yang dilakukan pada Rabu pekan lalu. Mereka berasal dari klub di Jakarta seperti Pattimura Bridge Club, Arangan Bridge Club, Garuda Bridge Club, dan Combination Bridge Club.

Tim nasional sendiri sedang diliburkan setelah bertarung ketat di Estoril, Portugal, dalam Kejuaraan Dunia Bridge Senior Bowl 2005. Di ajang ini Indonesia merebut perak setelah kalah dari tim Amerika Serikat dengan skor 213-190 IMP (international match point) pada partai final.

Posisi runner-up menambah koleksi prestasi Indonesia di ajang bridge internasional. Prestasi yang sama pernah diraih Indonesia dalam Olimpiade Bridge 1996 di Yunani dan World Bridge Championship di Kanada. Di ajang IOC Grand Prix di Laussane, Swiss, tahun 2000, Indonesia meraih posisi paling bergengsi dengan menduduki tempat pertama.

Kejuaraan Dunia Bridge Senior Bowl baru tiga kali digelar. Tim Amerika mendominasi dengan terus-menerus merebut gelar juara di tiga kali kejuaraan itu. Sedangkan Indonesia baru mengikuti dua kali kejuaraan ini, yaitu tahun 2003 dan 2005. Dalam kejuaraan pertama di Paris tahun 2000, Indonesia belum turut ambil bagian. Dalam ajang kedua pada 2003 di Monte Carlo, Indonesia hanya meraih peringkat keempat.

Kejuaraan Senior Bowl diikuti 22 negara dari total 117 negara anggota World Bridge Federation (WBF). Ke-22 negara itu lolos seleksi zona sebelum bertolak ke Estoril. Tim Indonesia yang diperkuat pasangan Henky Lasut-Freddy Eddy Manoppo dan Denny Jacob Sacul-Munawar Sawirudin serta pemain cadangan Amiruddin Yusuf-Arwin Budirahardja berhasil lolos dari zona Asia Pasifik.

Kegemilangan Indonesia di kejuaraan dunia ini sudah terlihat sejak babak penyisihan. Pada ronde ke-12 babak penyisihan, tim Indonesia sempat mendominasi perolehan nilai dengan mengumpulkan 230 VP (victory point). Disusul Belanda dengan 224 VP dan AS-1 dengan 218 VP. Amerika Serikat mengirimkan dua tim, yaitu AS-1 dan AS-2.

Pada akhir babak penyisihan, AS-1 yang diperkuat pasangan Rose Meltzer-Alan Sontag, Lew Standby-Peter Weichel, dan Roger Bates-Garey Hayden, berhasil menggeser posisi Indonesia dengan nilai 394 VP. Indonesia sendiri berada di posisi kedua dengan 378 VP, disusul AS-2 363 VP dan Denmark 360 VP. Keempat tim tadi lolos ke perempat final bersama Portugal (355 VP), Prancis (354 VP), Belanda (352 VP), dan Israel (336 VP).

Di perempat final yang menggunakan sistem gugur, Indonesia menang telak atas tim tuan rumah Portugal dengan angka 320-201 IMP. Sedangkan AS-1 mengalahkan Prancis 217-131 IMP, Denmark mengalahkan Israel 303-191 IMP, dan Belanda menundukkan AS-2 dengan kedudukan 205-187 IMP.

Di semifinal Indonesia berhadapan dengan Denmark dan AS-1 melawan Belanda. Meskipun sampai segmen kelima Indonesia memimpin perolehan nilai dengan skor 138,5-129 IMP, Henky Lasut dan kawan-kawan harus berjuang keras menahan gempuran tim Denmark yang diperkuat pasangan Jens Auken-Kristen Steen Moller, Peter Lund-Steen Moller, dan Flemming Dahl-Georg Norris

Di tengah pertarungan sempat terjadi insiden. Telepon genggam di saku celana Eddy Manoppo tiba-tiba berdering. Deringnya hanya sekali dan tidak terlalu keras. Namun suaranya terdengar bagaikan petir di siang bolong. ”Ada aturan yang melarang pemain membawa handphone,” kata Henky Lasut.

Jika peraturan itu dilanggar pemain, tim yang diperkuat pemain tadi akan dikenai sanksi pengurangan nilai 6 poin. Tentu saja Eddy menjadi gugup dan salah tingkah menghadapi situasi itu. Apalagi semua mata tertuju ke arahnya. ”Saya benar-benar lalai. Lupa mematikan handphone,” ujar Eddy.

Pengawas pertandingan langsung mendekati meja mereka dan mengurangi nilai tim Indonesia yang saat itu sudah unggul 19 poin. Untunglah, hukuman itu terjadi di segmen terakhir, sehingga tim lawan tidak sempat mengejar. Indonesia mengakhiri pertarungan itu dengan skor 168,5-156 IMP. ”Ini di luar dugaan. Awalnya saya mengira kami hanya sampai semifinal,” kata Eddy Manoppo.

Eddy sendiri menganggap kejutan di Estoril itu sebagai hadiah ulang tahun baginya. Dua hari setelah meraih medali perak, ia merayakan ulang tahunnya yang ke-60. ”Ini hampir sama ketika tim Indonesia menjadi juara IOC Grand Prix di Swiss. Ketika itu bertepatan dengan hari ulang tahun saya,” katanya mengenang peristiwa lima tahun lalu.

Henky Lasut cukup puas dengan hasil yang mereka peroleh. Prestasi ini sekaligus memperbaiki hasil yang mereka peroleh dalam kejuaraan yang sama dua tahun lalu. ”Ini prestasi yang bergengsi. Apalagi kami kalah dari juara bertahan AS dan mereka tidak menang dengan mudah,” ujarnya.

Bahkan, menurut Henky, tim Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk mengalahkan AS-1. Sejak segmen pertama hingga kelima, mereka mampu mengimbangi perlawanan tim Amerika itu. ”Sayang, kami kehilangan 19 IMP di papan kesepuluh,” katanya. Tim AS-1 akhirnya unggul 213-190 IMP.

Manajer tim Indonesia Anton Suleiman tidak kalah bangga dengan perolehan timnya itu. Apalagi mereka berangkat dengan modal nekat karena dana minim. ”Kendati dengan dana terbatas, kami bisa mengharumkan nama bangsa,” katanya.

Untuk mengikuti kejuaraan di Portugal itu, Gabsi menetapkan anggaran sekitar Rp 1 miliar. Dana yang terbatas membuat Anton harus hati-hati menggunakannya untuk keperluan rombongan. Misalnya saja, mereka mencari penginapan sendiri yang harganya lebih murah dari harga hotel yang direkomendasikan panitia. ”Kami tinggal di hotel yang semalam tarifnya 65 euro,” ujarnya. Toh, kendati murah, tempatnya bagus dan dekat dengan lokasi pertandingan. Sedangkan jika tinggal di hotel yang disarankan panitia, harganya bisa dua kali lipat.

Selain masalah akomodasi, pemain Indonesia sebenarnya punya masalah dengan makanan. Pemain tak terbiasa dengan makanan Eropa. Karena itu mereka membawa bekal makanan dari Tanah Air. Misalnya saja rendang, mi instan, sambal instan, dan beberapa makanan yang bisa bertahan lama. Bahkan mereka membawa bekal beras dan penanak nasi listrik.

Untung, setelah dua hari di sana, Duta Besar Indonesia untuk Portugal Francisco Xavier Lopes da Cruz mengulurkan tangan. ”Setiap hari ada kurir yang diminta mengantar makanan untuk kami. Masakan khas Indonesia,” kata Henky sambil tertawa.

Suseno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus