Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam soal berhasil melumpuhkan biang teroris bom di Indonesia, agak terlambat masih lebih baik daripada tidak pernah bisa sama sekali. Doktor Azahari bin Husin, buruan paling berbahaya yang bertahun-tahun lolos dari pengejaran, akhirnya tewas dalam silang tembak ketika disergap polisi pada Rabu sore, 9 November, di Batu, Jawa Timur. Hasil ini melegakan hati, dan penghargaan setimpal pantas diterima oleh polisi yang mengerjakannya dengan tekun selama ini.
Dr Azahari, warga Malaysia, dianggap sebagai musuh masyarakat nomor satu di Indonesia sejak identitasnya terungkap setelah sebagian besar pelaku peristiwa bom Bali di Legian Oktober 2002 tertangkap. Dari Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Imron, diketahui bahwa doktor statistika dosen sebuah universitas di Kuala Lumpur ini adalah otak yang merakit bom untuk rangkaian teror oleh kelompok ini. Dia diburu, ruang geraknya dipersempit dan pernah nyaris tertangkap di Bandung, tapi selalu lolos dan mengulangi lagi pengeboman, setahun sekali.
Memang luar biasa, entah nekat atau tekad yang menggerakkan kelompok teroris yang dipimpin Dr Azahari ini. Aksi teror kelompok yang tak pernah memperkenalkan diri ini seakan-akan tidak ada jeranya. Pengeboman dilakukan dengan siklus teratur. Sesudah bom Bali pertama pada Oktober 2002, lalu di Hotel JW Marriott Jakarta pada Agustus 2003, kemudian bom Kuningan di depan Kedutaan Australia, Jakarta, September 2004, terakhir bom Bali kedua di Jimbaran, Oktober 2005. Sebelumnya ada bom Natal 2000 di Jakarta dan bom Atrium Senen, Jakarta, 2001. Dari ciri-cirinya, terlihat tanda tangan Azahari pada setiap bom yang diledakkan.
Mitos tentang kehebatan Azahari pun mulai terbangun, antara lain bahwa dia sulit ditemukan, apalagi ditangkap. Di lain pihak ada yang memandang rendah kemampuan profesional badan intelijen dan polisi Indonesia dalam melacak pemimpin kelompok teroris yang bolak-balik mengebom tiada hentinya itu. Karena itu, ketika Detasemen 88 Polri menyergap dan menewaskan dua teroris pekan lalu, mula-mula ada yang kurang mempercayai bahwa salah satunya adalah Doktor Azahari yang licin itu. Dengan pemeriksaan sidik jari, polisi yakin bahwa tidak salah lagi memang Azahari yang terbunuh peluru polisi itu.
Tewasnya Azahari tentu banyak artinya dalam menghentikan gerakan teror bom selanjutnya. Namun itu belum menjamin bahwa riwayat kelompok teror bom ini sudah tamat. Pengalaman menunjukkan bahwa biasanya bom kembali meledak setahun kemudian. Apalagi pasangan Azahari yang sama pentingnya dalam kepemimpinan kelompok ini, Noor Din Moh. Top, juga warga Malaysia, sempat lolos ketika dikejar polisi di daerah Semarang. Mungkin untuk sementara mereka akan tiarap, menghilang dari permukaan. Intensitas pengejaran polisi justru harus maksimum pada masa itu, agar sisa kelompok ini tak sempat melakukan konsolidasi.
Alasan untuk khawatir aksi teror bom berulang masih cukup banyak. Bukan saja Noor Din Moh. Top yang belum tertangkap, tapi juga tokoh yang tak kurang berbahaya, Dulmatin, masih belum jelas di mana adanya. Polisi menemukan 30 rangkaian bom siap pakai di persembunyian Azahari, tapi apakah itu adalah seluruh persediaan yang dipunyai, belum bisa dipastikan. Demikian juga dengan anggota yang terlatih dan siap meledakkan bom bunuh diri, diperkirakan masih ada puluhan orang.
Masih banyak hal yang gelap mengenai organisasi dan cara beroperasi kelompok teroris ini. Rahasia sumber dana, pasokan bahan peledak, metode rekrutmen dan lokasi latihan, kaitannya dengan kelompok sejenis di luar negeri, belum semuanya terpecahkan. Azahari sendiri diketahui pernah dilatih di Filipina Selatan dan di Kandahar, Afganistan. Dulmatin juga disinyalir bergerak di Filipina Selatan akhir-akhir ini. Sebenarnya akan lebih menguntungkan jika Azahari dapat tertangkap hidup, sehingga bisa jadi sumber informasi bagi polisi.
Gambaran yang tepat tentang motif dan tujuan kelompok teror ini perlu untuk menuntaskan penumpasannya. Mereka sendiri tak pernah mengumumkan apa maksud teror dan siapa musuhnya. Lingkup sasarannya bisa ditujukan terhadap pemerintah Indonesia, bisa juga yang dibayangkan sebagai perjuangan melawan penindasan terhadap Islam secara global. Sekarang yang penting ialah agar polisi berusaha memburu Noor Din Moh. Top dan menangkapnya hidup-hidup. Ini akan jadi kunci untuk menumpas jaringan teroris sampai ke akarnya.
Apa yang dicapai Polri dengan penyelesaian terhadap Azahari punya segi keistimewaan tersendiri. Ternyata bermodal ketekunan, tanpa Undang-Undang Antiterorisme yang diperketat pun Polri bisa berhasil. Apalagi jika organisasi, dana, dan teknologi yang dipakai lebih ditingkatkan. Inilah yang harus diusahakan sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo