Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Semakin Brutal di Poso

Penyerangan terhadap remaja putri di Poso kembali terjadi. Enam orang telah ditahan namun belum satu pun dijadikan tersangka.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua remaja putri 17 tahun itu sedang ngobrol di teras rumah pada Selasa sore pekan lalu. Tiba-tiba saja, dua pria dengan mengendarai motor berhenti di depan rumah kos di Jalan Gatot Subroto, Lambogia, Poso Kota itu. Dor, dor.... Dua tembakan mengarah ke Siti. Temannya, Ivon, kaget dan spontan menutup wajahnya. Sia-sia, peluru ketiga merobek pipi kanan Ivon dan tembus ke pipi kirinya.

Masyarakat Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, gempar. Mereka belum lupa dengan tragedi sepekan sebelumnya. Saat itu, tiga remaja putri ditemukan meninggal dengan kepala terpisah dari tubuh di Dusun Bambu, Kelurahan Sayo, Poso Kota. Mereka adalah Ida Yarni Sambue (15 tahun), Theresia Morangke (15 tahun), dan Alfita Poliwo (19 tahun). Ketiganya siswi SMA Kristen Poso. Seorang lainnya, Noviana Malewa, 15 tahun, selamat dengan tubuh penuh luka dan leher tergores kelewang.

Kali ini Siti—lebih akrab dipanggil Yuli—dan Ivon yang menjadi korban. Yuli tidak tinggal di rumah itu. Dia tengah menengok sepupunya, Mirna, yang juga teman sekolah Ivon di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Poso. Yuli yang baru tamat SMA itu bermaksud menginap. Tetapi nasib nahas menyambarnya. Ia dan Ivon ditembak tanpa diketahui apa dosanya.

Untunglah Yuli dan Ivon masih punya tenaga. Setelah ditembak, keduanya berlari ke pos polisi terdekat dengan berlumuran darah. Selesai melapor, mereka langsung roboh tak sadarkan diri. Polisi segera mengejar pelaku yang katanya kabur ke arah Jalan Talasa, Lawanga, Poso Kota. Namun perburuan itu nihil.

Serangan berantai itu sontak menyebarkan hawa teror di Poso. Sepertinya, para pembunuh keji tengah gentayangan di kota yang pernah diamuk konflik horizontal itu untuk memangsa para remaja putri. Teror kian terasa ketika Topan, 17 tahun, menjadi korban pembacokan misterius, Jumat pekan lalu. Remaja putra ini digolok orang tak dikenal di Desa Sa’atu, Kecamatan Poso Pesisir. Lalu menjalarlah isu bahwa penyerangan terhadap dara-dara muda Poso akan berlanjut. ”Paling sedikit 100 pelajar putri akan dihabisi. Itu yang kami dengar,” ujar seorang warga Kelurahan Kayamanya, Poso Kota, kepada Tempo.

Orang pun teringat konflik bernuansa agama yang pernah memporak-porandakan kabupaten itu lima tahun lalu. Ketika itu paling tidak 577 jiwa melayang. Lebih dari 10 ribu rumah rusak, berikut masjid dan gereja. Perselisihan baru berakhir setelah pihak bertikai menandatangani kesepakatan Malino pada Desember 2001.

Sayangnya, polisi belum berhasil mengusut satu pelaku pun. Mungkin garagara itu, Kamis pekan lalu, AKBP Solah Hidayat dicopot dari jabatan Kapolres Kabupaten Poso dan diganti oleh AKBP Rudy Sufahriadi. ”Anda diharapkan mampu memulihkan kepercayaan terhadap kinerja kepolisian,” pesan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Komisaris Besar Oegroseno, saat melantik Rudy.

Sementara polisi masih saja gagal, justru tentara yang berhasil. Salah seorang yang diduga pelaku penembakan Ivon dan Siti ditangkap aparat Kodim Poso pekan lalu. San, orang yang dicurigai itu, diciduk di kediamannya di Jalan Talasa, Kelurahan Lawanga, Kecamatan Poso Kota, bersama barang bukti berupa sepeda motor bebek Jialing, jaket, dan enam butir peluru jenis Colt.

Penangkapan San berawal dari keterangan saksi mata yang mengenal motor dan jaket pelaku. ”Sekarang dia masih diperiksa, sebelum diserahkan ke polisi,” ujar Kepala Penerangan Korem Tadulako, Palu, Kapt (Inf) Iin Abdul Muksit. Rekan San yang diduga menjadi pelaku penembak masih buron.

Sebelumnya, Batalion Yonif 714 Sintuwu Maroso menangkap lima orang yang diduga menjadi pelaku pemenggalan tiga siswi SMA Kristen Poso. Mereka adalah Irfan Anjino Masero alias Rinto (23 tahun), Jamaluddin (25), Saleman Yunus alias Herman (18), Ridwan Masero alias Oeng, dan Toni Mawola (51 tahun).

Informasi mengenai Ridwan dan teman-temannya ini diperoleh dari Halim, seorang tunarungu yang tinggal di lorong Sawerigading, Sayo. Dengan cara menulis, Halim mengaku melihat Ridwan dan teman-temannya menenteng kepala manusia. Dia juga mengaku melihat Ridwan membuka topeng serta mengganti pakaian yang berlumuran darah. Ridwan mengancam akan memenggal kepala Halim bila ia buka rahasia. Itu sebabnya Halim mula-mula bungkam.

Berdasar cerita itu, anggota Yonif 714 menuju Sawerigading—satu kilometer dari tempat kejadian—tempat tinggal kelimanya. Aparat mengikuti ceceran darah yang telah mengering, melalui kebun-kebun warga.

Belakangan diketahui, tiga di antara mereka masih bujang, yakni Jamaluddin, Irfan (keduanya satpam di RSU Poso), dan Saleman, yang bekerja sebagai tukang ojek. Di antara ketiganya, Jamaluddin berpendidikan paling tinggi: tamatan SMA. Irfan tidak melanjutkan sekolah selepas SMP. Sedangkan Saleman hanya lulus SD.

Dua lainnya, Ridwan dan Toni, sudah berkeluarga. Toni, yang akrab disapa Papa Ullin, adalah satu-satunya yang beragama Kristen. Dia pensiunan tentara dari Corps Polisi Militer (CPM).

Sumber Tempo di RSU Poso mengatakan, ada hubungan keluarga di antara Jamaluddin, Irfan, Saleman, dan Ridwan. Sehari-hari, kelakuan keempat orang ini memang kurang terpuji. ”Mereka sering baterek (mengganggu secara tidak langsung) orang-orang yang tengah mengaji. Juga sering minum minuman keras,” ujarnya.

Meski demikian, beberapa warga Sawerigading yang ditemui Tempo ragu keempatnya berani memenggal kepala tiga siswi SLTA. Soalnya, mereka tidak terlibat dalam konflik Poso lima tahun lalu. ”Warga Poso yang tidak terlibat aktif pada masa konflik dulu adalah penakut,” ujar mereka.

Tapi sumber Tempo di Pemerintah Daerah Poso mengatakan, kelima orang itu punya ”alasan” kuat untuk membunuh. ”Mereka mendapat masing-masing Rp 50 juta,” ujarnya membocorkan hasil pemeriksaan tentara.

Panglima Komando Daerah Militer VII Wirabuana, Mayor Jenderal TNI Arief Budi Sampurno, tidak membantah atau mengiyakan. ”Menurut analisis saya, Poso sengaja dibuat seperti itu supaya ada yang dapat duit,” ujarnya.

Jika demikian, pertanyaan berikutnya adalah siapakah yang membayar mereka dan untuk apa. Tempo berusaha mengorek lebih jauh namun baik polisi maupun aparat TNI bungkam. Kepala Polda Sulawesi Tengah, Kombes Oegroseno, malah menegaskan polisi belum menetapkan satu tersangka pun, baik kasus pemenggalan kepala maupun kasus penembakan.

Adapun ibu kandung Yuli, Misrah Andow, punya cerita sendiri. Dia menduga anaknya ditembak lelaki patah hati. Sehari sebelum penyerangan terhadap Yuli dan Ivon, cerita Misrah, dua orang laki-laki gondrong, tegap, berkulit cokelat, datang ke rumah mereka. Keduanya ingin bertemu Yuli untuk mengenal lebih jauh. Misrah menjelaskan Yuli sedang tak ada dan menyarankan mereka meninggalkan pesan. Eh, keduanya marah. ”Mereka paksa saya agar memberi tahu di mana Yuli,” ujarnya. Dia curiga, jangan-jangan yang menembak anaknya adalah tamu misterius itu.

Tentu saja semua dugaan harus dibuktikan. Apa pun motifnya, masyarakat Poso berharap kasus ini terungkap. Jika tidak, daftar kegagalan kepolisian Poso akan bertambah panjang. Tokoh lembaga swadaya masyarakat di Palu, Arianto Sangadji, mencatat bahwa sejak 2001 telah terjadi 59 penembakan misterius di Poso yang menewaskan 40 orang. Tapi belum satu pun pelakunya tertangkap.

Lebih menyedihkan lagi, semua itu terjadi ketika aparat keamanan diperbanyak di Poso. Saat ini ada 3.000-an personel polisi dan tentara yang sengaja dihadirkan di Poso dalam operasi pengamanan Sintuwu Maroso lima tahun terakhir. Operasi ini menghabiskan anggaran sekitar Rp 2,5 miliar per bulan. ”Ini ironis,” ujar Arianto Sangadji, yang bersama tokoh Poso lain, Oktober lalu, mendesak pemerintah menghentikan operasi itu karena dinilai gagal.

Philipus Parera, Darlis Muhammad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus