OLAHRAGA terjun payung Indonesia kembali meminta korban. Di hari nahas itu, Jumat pekan lalu, udara di atas pantai Alo, Dili, Timor Timur sangat cerah. Langit biru tak berawan seakan jadi saksi tewasnya Tristian Wirawan, 25 tahun penerjun dari klub Aves Bandung. Tragedi itu terjadi justru pada acara demonstrasi terjun payung dalam kaitan peresmian Pengurus Daerah Federasi Aero Sport Indonesia (Pengda FASI) Provinsi Timor Timur. Musibah itu berlangsung sangat cepat, sekitar 20 detik. Tubuh Inong, panggilan akrab Tristian, meluncur dengan posisi kepala di bawah, langsung terjerembab di laut dengan kedalaman cuma satu meter. Ayahnya, penerjun kawakan Trisnoyuwono, yang ikut terjun dan keluar dari pesawat lebih awal, tak mengira bahwa yang meluncur itu anak kandungnya sendiri. Ketinggian terjun saat itu sekitar 5 ribu kaki. "Biasanya kalau ada saya, Kopassus, Paskhas TNI AU, atau Marinir yang keluar pesawat terlebih dahulu, itu menandakan keadaan udara aman. Kok, kali ini ada musibah, ironisnya itu menimpa anak saya," kata Trisnoyuwono, dengan mata berkaca-kaca. Inong adalah penerjun pertama yang tewas pada tahun ini. Olahraga yang punya risiko kematian tinggi ini hampir setiap tahun meminta korban. Tahun lalu, 7 penerjun Indonesia jadi korban. Inong, putra ketiga Trisnoyuwono, mengenal olahraga ini sejak 1987. Kehadirannya di pantai Alo itu merupakan lompatan ke-33. Menurut ayahnya, yang juga pelatihnya, "Anak itu biasanya terjun bagus sekali." Sang ayah, yang wartawan Pikiran Rakyat, Bandung, sudah merencanakan untuk mengirim Inong berlatih di Australia selama 4 bulan, April mendatang. Lalu, di mana letak kesalahan yang menyebabkan malapetaka itu? Kabarnya, Inong kurang pengalaman dalam menghadapi situasi kritis. Menurut Indra R. Sulamet, penerjun kawakan dari 1.6.5 Sky Divers, dalam tata cara terjun payung bebas banyak syarat yang harus dipenuhi oleh penerjun. Di Indonesia sendiri, katanya, memang belum ada aturan yang jelas, tapi minimal harus terjun 100 kali. "Apalagi di Dili, lokasi penerjunan dekat laut, untuk itu diperlukan keahlian tambahan baik dan segi teori maupun keamanannya," ujar Indra. Pihak Aves membantah jika dikatakan Inong belum berpengalaman. Menurut Hardi Soesilo, Ketua Umum Klub Aves Bandung, Inong sudah menyelesaikan tahap pendidikan dasar dengan baik dan itu dibuktikannya dengan melakukan 5 sampai 10 kali terjun bebas, sebagai syarat untuk lolos pendidikan dasar. Bahkan dia sempat mengikuti pendidikan di pusdiklat terjun payung PB FASI, di Palembang. Dengan bekal pengalaman mengikuti demonstrasl, pertandingan, maupun selama latihan, Inong dianggap sudah layak terjun bebas sendiri. Menurut sumber TEMPO, dari segi peralatan teknis sebenarnya tidak ada persoalan. Tinggal faktor human error. Melihat urut-urutan peristiwa, Inong terlambat dalam mengambil keputusan. Ia melakukan spin hingga ketinggian 3.500 kaki. Ini yang aneh. Sebab, gerakan spin itu membuat tali parasut berpilin dan menyebabkan payung utama tidak bisa mengembang. Seharusnya, pada ketinggian 4.000 kaki, Inong sudah membuka payung cadangan, tapi hal itu tidak dilakukannya. "Jadi, dalam hal ini kesalahan karena kelalaian manusianya lebih besar," ujar sumber TEMPO. Jika urutan kejadian benar seperti itu, Hardi Soesilo sependapat. "Biasanya berbagai kecelakaan terjun disebabkan karena penerjun terlambat dalam mengambil keputusan," kata Hardi. Apalagi kecepatan tubuh jatuh ke bumi mencapai 180 mil/jam. Namun, apa yang terjadi, kini masih diteliti tim PB FASI. Apakah kesalahan teknis atau human error, "itu sedang kita selidiki, jangan divonis dulu," ujar Kolonel Soeparno, Kadispen TNI-AU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini