Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan aspal di depan Stadion Utama Senayan, Jakarta, masih basah setelah terguyur hujan. Jimris Gunawan dan Ahmad Faisal, dua atlet kempo nasional, tak hirau dengan kondisi itu. Keduanya saling berhadapan untuk berlatih tanding, Selasa pekan lalu.
Lihatlah aksi mereka. Memakai dogi (baju kempo) dengan obi (sabuk) warna hitam, keduanya bersiap-siap. Tangan masing-masing direkatkan di depan dada, tanda sebuah salam. Sesudahnya mereka memasang kuda-kuda, dan pertarungan pun dimulai.
Sambil berteriak, Jimris tiba-tiba melancarkan serangan dengan kepalan tangan kanan ke arah pelipis lawan. Ahmad dengan cepat menangkis serangan itu dan langsung membalas. Seraya memekik pula, ia menarik sikut Jimris dan membantingnya ke tanah, lalu mengarahkan pukulan ke arah ulu hati lawan yang sudah terkapar.
Gerakan yang dipertunjukkan atlet kempo asal DKI Jakarta itu dikenal sebagai teknik Uwa uke nage. Jurus itu merupakan satu dari enam teknik yang mereka mainkan saat mengikuti Kejuaraan Dunia Kempo di Sun Dome Fukui, Jepang, 9-10 Oktober lalu. Pasangan itu berhasil menyabet medali perak untuk nomor Embu Putra Dan I.
Medali itu merupakan satu dari enam medali yang diperoleh tim kempo Indonesia. Pada kejuaraan yang diikuti 32 negara anggota World Shorinji Kempo Organization (WSKO) itu, tim Merah Putih yang dipimpin manajernya, Ferryanto A. Martoredjo, menduduki peringkat kedua dengan perolehan medali: dua emas, tiga perak, dan satu perunggu. Posisi juara pertama direbut tuan rumah, Jepang, yang memperoleh setidaknya sembilan medali emas.
Keberhasilan menduduki posisi runnerup ini merupakan prestasi ketiga kalinya bagi kenshi—sebutan untuk atlet kempo—Indonesia di kejuaraan dunia. Sebelumnya, 1997, di Tokyo, Jepang, mereka menempati posisi yang sama dengan perolehan tiga medali emas dan satu perunggu. Kemudian empat tahun lalu di Prancis, lagilagi mereka merebut juara kedua dengan satu medali emas dan tiga perunggu.
Hasrat untuk merebut tempat pertama bukan tak ada. Namun, Ketua Bidang Pembinaan Pengurus Besar Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia (PB Perkemi), Henry Soselisa, mengakui sulit menjadi nomor satu. Soalnya, Jepang, yang merupakan dedengkot bela diri itu, menguasai hampir semua nomor pertandingan. ”Jam terbang kita juga kurang,” katanya. Dengan demikian, perolehan medali di Fukui kemarin sudah bagus, karena pada awalnya tak ada target harus mendapat medali dalam jumlah tertentu.
Satu medali emas yang direbut Indonesia disumbangkan atlet kempo asal Lampung, pasangan Mas Udi dan Rilando Arriyangga, di nomor Embu Putra Kyu Kenshi. Sebuah medali emas lainnya direbut kenshi asal Sumatera Barat, pasangan Derry Fitri-Nofrialdi Tancin di nomor Embu Campuran Kyu Kenshi.
Selain pasangan Jimris-Ahmad, peraih medali perak adalah atlet asal Jambi, Liliek Tri Hizrahwaty dan Ise Saera, di nomor Embu Putri Dan I, serta pasangan asal Nusa Tenggara Timur, Ronald Mueri dan Nurhayati Alil, di nomor Embu Campuran Dan I. Medali perunggu diperoleh pasangan asal DKI Jakarta, Octaviani Simatupang dan Rimaniar Dwita di nomor Embu Putri Kyu Kenshi.
Pasangan Dery Fitri dan Nofrialdi Tancin merasa bangga bisa merebut emas. ”Saya senang sekali karena ini juga menyangkut harga diri,” kata Derry. Selama ini pamor olahraga bela diri kempo di Indonesia memang kurang mengkilap. Bahkan keberangkatan ke Fukui kemarin pun hampir batal. Semula para kenshi akan berangkat dengan biaya dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Daerah Sumatera Barat. Namun, sampai mendekati hari keberangkatan, dana yang dijanjikan tak kunjung cair.
Kontingen Kempo akhirnya tetap berangkat setelah KONI Sumatera Barat membuat perjanjian dengan PB Perkemi bahwa mereka akan membayar dana itu. Garagara nyaris batal berangkat, mental Nofrialdi sempat jatuh. ”Soalnya kita sudah berlatih keras,” ujar anak pasangan Syamsir dan Nurleli itu.
Derry dan Nofrialdi sudah berlatih sejak masih di daerah asal nun di Sumatera Barat. Gemblengan dilanjutkan di Jakarta. Selama dua pekan mereka menjalani latihan intensif di dojo (tempat latihan) PB Perkemi, Pondok Gede, Jakarta.
Mereka dan tujuh pasang atlet lainnya berlatih fisik dan teknik selama delapan setengah jam setiap hari. Pagi hari, mulai pukul 05.30 sampai 07.00, mereka digenjot latihan fisik, antara lain dengan lari sprint dan latihan otot kaki. Kemudian dilanjutkan latihan teknik sejak pukul 08.00 hingga 12.00. Sorenya, kemampuan teknik kembali diasah dari pukul 15.30 sampai 18.00.
Begitu ada kepastian mereka bisa berangkat, semangat kembali bangkit. Tekad untuk menang terpancang kuat. ”Kita bertekad mengalahkan Jepang,” kata Derry, anak pasangan Jafar dan Sofia itu. Keinginan itu tercapai. Target selanjutnya langsung dipatok. Pasangan yang dibentuk sejak tiga tahun lalu itu ingin ikut berlaga di ajang Sea Games di Manila, Filipina, tahun depan. ”Seandainya kempo masuk Sea Games, kami ingin masuk dalam tim inti,” kata Nofrialdi.
Lain lagi dengan pasangan Jimris dan Ahmad. Pada kejuaraan dunia lalu, mereka tak menargetkan medali emas sehingga keberhasilan menyabet medali perak sudah membuat pasangan yang dibentuk sejak enam tahun lalu itu merasa senang. ”Kita bisa menjadi nomor dua dari puluhan peserta,” kata Ahmad, putra pasangan almarhum S. Maseng dan Aisyah itu.
Prestasi itu sudah lumayan lantaran kejuaraan kemarin merupakan ajang dunia pertama bagi mereka. Di sana mereka sempat pula menemui kendala akibat udara yang dingin dan lantai yang licin. Kemantapan kuda-kuda dan kegesitan gerakan jadi agak terganggu. ”Mungkin itu yang mengurangi penilaian,” ujar Ahmad.
Kejuaraan dunia memang mempertandingkan nomor-nomor Embu, yaitu pertandingan yang menilai kerapian teknik peserta dalam waktu tertentu. Dalam pertandingan, sepasang atlet diharuskan menampilkan minimal enam rangkaian teknik. ”Tiap tingkatan boleh memilih enam dari 10 teknik yang disiapkan,” kata Henry.
Pasangan Octaviani Simatupang dan Rimaniar Dwita yang main di nomor pertandingan Embu Putri Kyu Kenshi, misalnya, bisa memilih enam teknik dari 10 teknik yang ada di Kumi Embu (rangkaian teknik) IV. Saat itu mereka memainkan teknik Harai uke geri ren han ko (serangan ke arah rusuk), Kote maki gaeshi (sergapan terhadap pergelangan tangan), Tsubame gaeshi ren han ko (teknik burung walet), Maki gote (kuncian pergelangan tangan), Mawashi geri sambo uke nami gaeshi ren han ko (serangan melingkar dengan tendangan kaki), dan Furi ten ni ren han ko (serangan melingkar dengan tangan).
Semua teknik diperagakan layaknya perkelahian sebenarnya kendati tetap dalam teknik kempo. ”Ini sangat berbahaya karena pukulan langsung ke sasaran,” kata Indra Kartasasmita, Ketua Dewan Guru PB Perkemi. Pihak yang bertahan harus bisa mengelak dan menangkis. Jika tidak tepat sasaran, maka nilai akan berkurang.
Begitu juga jika rangkaian teknik itu dimainkan tidak tepat waktu, yang bersangkutan dikenai pengurangan nilai. Enam teknik itu harus dimainkan dalam waktu dua menit. ”Kurang atau lebih 10 detik saja kena denda,” kata Henry. Dendanya berupa pengurangan nilai 1,5 poin dari setiap wasit yang ada.
Lima wasit disiapkan di setiap pertandingan. Mereka menilai kerapian teknik yang dimainkan. Mulai dari kuda-kuda, bagaimana memukul, membanting, menangkis, sampai mematikan lawan. Dalam kempo ada lima persyaratan yang harus dipenuhi pada setiap pertandingan. Persyaratan itu adalah niat, jarak, kecepatan, sudut serang, dan titik kelemahan.
Niat berarti atlet siap dari segi mental dan fisik. Atlet juga harus dalam jarak jangkau serangan yang jitu, kira-kira sebatas lengan masing-masing. Atlet juga mesti memiliki kecepatan serangan ke arah titik kelemahan lawan, contohnya mata, ulu hati, rusuk, dan ratusan titik lemah lainnya di tubuh lawan. Selain itu, memukul dengan sudut serang 15 derajat agar pukulan yang dihasilkan telak merobohkan lawan. ”Kalau lima syarat terpenuhi, sangat sempurna,” kata Henry.
Sayangnya, kemungkinan para atlet cabang olahraga bela diri ini untuk berlaga di perhelatan multievent masih terlalu tipis. Bahkan ajang pertandingan olahraga negara-negara Asia Tenggara seperti Sea Games saja belum menampilkannya. ”Masih diperjuangkan ke sana,” kata Rudi Manopo, Sekretaris Jenderal PB Perkemi. Untuk mengikuti ajang itu, sebuah cabang olahraga mesti memiliki federasi se-Asia Tenggara lebih dulu. ”Ini masih dalam pembentukan,” kata Indra.
Untuk memasukkan cabang olahraga itu ke olimpiade, syaratnya tentu lebih berat lagi. Padahal, seandainya dipertandingkan di sana, peluang untuk mendulang emas bukannya tak ada. ”Saya yakin cabang ini bisa menyumbangkan emas,” ujar Derry dengan penuh keyakinan.
Lis Yuliawati, Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo