Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdullah Sonata seharusnya bakal memetik kebahagiaan pada akhir Juli silam. Waktu itu, istri tercintanya hendak melahirkan anak mereka di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Sonata sudah siaga menungguinya. Namun, saat itu pulalah polisi mendekati dan langsung meringkusnya. Alih-alih bakal menggendong bayinya, Sonata justru digelandang ke ruang tahanan Polda Metro Jaya.
Tuduhan yang ditimpakan kepadanya lumayan bikin giris. Pemuda 27 tahun itu dituduh menyembunyikan informasi mengenai Noordin M. Top dan menyimpan dua pucuk senjata api. Noordin M. Top dan Dr Azahari adalah dua tersangka nomor wahid pelbagai kasus pengeboman di Tanah Air.
Belum cukup. Sonata juga dituding melakukan pengiriman para pemuda ke Filipina untuk pelatihan militer atas pesanan Umar Patek alias Daud. Nama terakhir ini, bersama Dul Matin, adalah buron kelas kakap dalam kasus Bom Bali I. ”Sonata memang mengakui telah mengirimkan orang-orangnya berlatih militer ke Filipina,” kata Muanas dari Tim Pengacara Muslim. Sonata sendiri, dia melanjutkan, tak pernah menyetujui aksi bom bunuh diri.
Siapakah Sonata sebenarnya—sehingga namanya kini menyeruak ke permukaan di tengah upaya polisi mengungkap petaka Bom Bali II? Polisi membawa warga Cipayung, Jakarta Timur, itu ke Bali untuk mengenali tiga pelaku bom bunuh diri yang beraksi pada awal Oktober lalu. Tak jelas apakah ini untuk menguji dugaan bahwa pelaku pengeboman adalah teroris generasi baru seperti sudah dilansir sebelumnya. Hanya saja Muanas memastikan bahwa Sonata menyatakan tak mengenal tiga orang tersebut.
Tak mudah tampaknya bagi aparat untuk mengaitkan Sonata dengan kelompok yang disebut Jamaah Islamiyah (JI). Dari berkas pemeriksaan, terlihat satu-satunya yang menghubungkan keduanya hanyalah dua nama, yakni Umar Patek dan Dul Matin. Kedua ”veteran” Bom Bali I yang kini berada di Filipina itu pernah meminta Sonata mengirim pemuda guna dilatih kemiliteran di sana. Kepada dua orang itu pula Sonata mengirimkan sejumlah uang dan handycam.
Sonata juga diketahui pernah berhubungan dengan Noordin M. Top, tapi tak lama. Ia memilih segera memutuskan hubungan sebab Sonata tak setuju dengan aksi bom bunuh diri yang selama ini dirancang Noordin dan Azahari. ”Pemutusan hubungan itu dilakukan sebelum Bom Kuningan terjadi,” kata Muanas.
Menurut kalangan eks aktivis JI yang ditemui Tempo, Sonata memang tak pernah jadi anggota kelompok itu. Namun, dalam berbagai operasi, Sonata diketahui menjalin hubungan dengan orang-orang eks JI. ”Hubungan itu berdasarkan kontak pribadi, namun tidak secara organisatoris,” katanya.
Dia menerangkan, sendi-sendi organisasi memang sudah runtuh begitu Amir JI Abdullah Sungkar meninggal dunia. Apalagi setelah itu terjadi penangkapan besar-besaran aktivis JI. Pada saat itulah muncul kelompok-kelompok kecil yang dibangun melalui hubungan antarindividu. ”Ini yang saya maksud mujahidin freelance,” kata sumber tersebut pekan lalu. Kelompok Sonata masuk dalam kategori ini.
Sonata tampaknya figur yang berpengaruh di kalangan mujahid takterikat itu. Terbukti dalam kisaran lima tahun dia sudah berhasil membangun kelompok sendiri. Jalur yang dia gunakan adalah dengan merekrut anak muda yang pernah menceburkan diri dalam konflik horizontal di Ambon dan Poso.
Dalam dokumen pemeriksaan terungkap bahwa kebanyakan anak muda itu dikirim ke wilayah konflik oleh sebuah organisasi penanggulangan krisis yang berbasis di Solo, Jawa Tengah. Sonata adalah perwakilan organisasi tersebut yang beroperasi di Ambon. Sepanjang 1999 hingga 2004, dia bolak-balik Jakarta-Solo-Ambon untuk melakukan kegiatan sosial-kemanusiaan di sana. Ia aktif di organisasi itu menyambut ajakan tokoh yang dikenal sebagai Aris Munandar (Abu Miqdat).
Di sepanjang era itulah dia berhasil merekrut, antara lain, Muhammad Yusuf Faiz, Purnama Putra (Ipung), Iqbal Husiani (Ramli), dan Dhany Candra (Yusuf). Dengan beberapa dari mereka, Sonata sudah menjalin pertemanan sejak sebelum era konflik di Ambon. Ramli, misalnya, sudah didekatinya sejak ia memberikan pengajian di sebuah masjid kawasan Cipayung pada 2001.
Beberapa nama lain, seperti Ipung, dikenalnya di Solo ketika dia mengunjungi kantor organisasi yang dipimpin Aris Munandar pada 1999. Dengan Aris yang jebolan UGM dia semakin dekat terutama ketika berangkat ke Ambon pada 2002. Ipung sendiri bergabung dengan Aris Munandar sejak 1999 dengan mengikuti pengajiannya setiap Kamis. Hal serupa terjadi pada Faiz yang dikenalnya sejak 2002 di Solo. Mereka juga semakin dekat ketika menggelar kegiatan kemanusiaan di Ambon pada 2002
Adapun Dhany Chandra sudah dikenalnya sejak di Ambon pada 1999. Saat itu Dhany ke Ambon atas perintah Aris Munandar dengan membawa bantuan sosial dan kemanusiaan. Sebelumnya, Dhany sudah belajar ilmu agama pada Aris sejak 1999.
Dalam berkas pemeriksaan disebutkan bahwa kebijakan resmi organisasi adalah melakukan kegiatan kemanusiaan dengan membantu kaum muslimin Ambon. Apabila ada yang menceburkan diri langsung ikut dalam pertempuran, hal itu di luar garis organisasi.
Garis di luar organisasi itulah tampaknya yang kemudian dilakoni Sonata dengan memerintahkan anggotanya berlatih militer. Ipung dimintanya berlatih di Pulau Buru dengan instruktur Zubair (nama samaran Dr Azahari) dan Aiman (Noordin M. Top). Sedangkan Ramli diperintahkan berlatih di Pulau Seram. Salah satu materi pelatihan adalah membuat rangkaian bom.
Ketika periode Ambon berakhir, kontak antarpersonel tersebut masih terjalin, meski organisasi yang dipimpin Aris sudah bubar pada 2002. Sejak itu pula keberadaan Aris tak diketahui sama sekali. Konfirmasi kepadanya tak bisa dilakukan. Walau demikian, Sonata tetap menjadi figur yang disegani dalam kelompok ini. Berbagai kegiatan melibatkan dirinya pada posisi yang menentukan, misalnya ketika ia memerintahkan Ramli melakukan pembunuhan terhadap aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla, pada 2004. Ulil dijadikan target setelah muncul fatwa mati dari ulama Jawa Barat. Aksi tersebut kemudian mereka batalkan (lihat tempo 17-23 Oktober 2005).
Sonata juga mengirim beberapa pemuda ke Filipina untuk pelatihan militer dan bergabung pada Moro Islamic Liberation Front (MILF), gerakan bersenjata menentang pemerintah Filipina di Mindanao Selatan. Berkaitan dengan program inilah Faiz kemudian tertangkap di Zamboanga, Desember 2004. Sebenarnya, ini kedatangan Faiz yang kedua, karena pada 2003 ia sudah pernah bergabung dengan MILF bersama 15 orang lainnya asal Indonesia—dua di antaranya adalah Umar Patek dan Dul Matin.
Kepada polisi, Sonata mengaku mengirimkan 10 kader ke Filipina atas permintaan Umar Patek. Pengakuan itu diungkapkan asisten juru bicara Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Saut Usman Nasution, kepada wartawan, dua bulan silam.
Kelompok Sonata kemudian benar-benar rubuh ketika polisi mengendus aksi mereka pada Desember 2004. Ketika itu polisi berhasil menangkap Dhany Chandra yang menyimpan empat bom rakitan di kediamannya di Wonogiri. Bom tersebut dirakit oleh Ramli dan diantarkan ke Wonogiri oleh Faiz dan Ipung. Dalam berkas pemeriksaan Ipung terungkap bahwa bom selanjutnya akan diserahkan kepada Sonata. Namun, mereka tak tahu waktu dan tempat peledakan. Sejak itulah satu per satu anggota kelompok Sonata ”dipetik” aparat keamanan.
Sumber Tempo di kepolisian menyebutkan, kasus ini langsung ditangani Mabes Polri, namun mereka ditahan di Polda Metro Jaya. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Pol. Aryanto Boedihardjo menolak menjawab ketika dimintai penjelasan perihal kemajuan kasus Sonata. ”Ini bukan kasus yang murni ditangani Mabes Polri,” katanya kepada Mawar Kusuma dari Tempo.
Hampir dipastikan belum ada titik terang yang menunjukkan kaitan kelompok Sonata dengan Bom Bali II. Apalagi, Kapolda Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Chaerul Rasjid, menyatakan bahwa sesuai dengan data intelijen, pelaku Bom Bali II adalah para mantan pecandu narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Tak jelas apakah Chaerul serius dengan kisahnya ini atau hanya upaya untuk mengalihkan perhatian publik. Katanya, ”Data ini akan kita tajamkan.” Ia juga menegaskan bahwa rekrutmen dilakukan di luar Jawa Tengah, ”Meski pembinaannya dilakukan di Jateng.”
Tulus Wijanarko, Maria Ulfa, Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang)
Kenapa Disebut Mujahid Freelance?
Mujahid freelance adalah sebutan yang diberikan mantan aktivis Jamaah Islamiyah terhadap kelompok-kelompok kecil yang tidak terlalu ketat struktur organisasinya.
Kelompok kecil tersebut dibangun melalui hubungan personal setelah penangkapan besar-besaran terhadap tokoh Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok kecil itu juga berhubungan dengan kelompok atau individu lain, tetapi tidak mengikat. Salah satu kelompok yang cukup disegani adalah yang dipimpin Abdullah Sonata.
Kelompok semacam ini muncul karena mereka berpendapat bahwa Jamaah tidak diperlukan, dan berjihad tidak perlu ikut Jamaah. ”Siapa pun yang ingin berjihad dapat bergabung bersama,” kata sumber Tempo dari kalangan eks JI. Kelompok ini tidak menyetujui aksi bom bunuh diri. Kini kelompok Abdullah Sonata (total ada 13) sudah diringkus polisi sejak Juli 2005. Sonata dituduh melakukan pengiriman orang ke Filipina untuk pelatihan militer. Selain itu, kelompok ini juga dituduh menyembunyikan informasi mengenai Noordin M. Top, serta menyimpan bom rakitan.
Siapa Mereka? Inilah empat orang di antara belasan lainnya yang memiliki hubungan dengan Abdullah Sonata.
Abdullah Sonata (27 tahun)
- Tamatan STM dan mengajar di sebuah TPA di Jakarta Timur (1999).
- Ikut berjihad di Ambon (1999-2003).
- Pengurus sebuah organisasi penanggulangan krisis (2000-2003).
- Mengajar pengajian di Cipayung, Jakarta Timur (2003)
Sonata ditahan polisi karena dituding mengirimkan sejumlah pemuda ke Filipina untuk berlatih militer. Pengiriman itu berdasar pesanan Umar Patek, buron bom Bali I.
Purnama Putra alias Usman alias Ipung (24 tahun)
- Jebolan UGM.
- Berangkat ke Ambon (2000).
- Atas perintah Sonata belajar kemiliteran di Pulau Buru, termasuk merakit bom standar
Mengaku pernah 12 kali bertemu Noordin M. Top, termasuk dua kali sebelum peledakan bom di Kuningan. Pada Desember 2004 menitipkan empat kotak rangkaian bom kepada Dhany Chandra. Menurut rencana, rangkaian bom itu akan diserahkan ke Sonata.
Iqbal Husaini alias Ramly (24 tahun)
- Bekerja berpindah-pindah di berbagai tempat (1999-2000).
- Bekerja di sebuah aorganisasi penanggulangan krisis (2001).
- Berangkat ke Filipina membawa titipan uang dan kamera genggam untuk diserahkan ke Umar Patek dan Dulmatin.
- Mendapat perintah dari Sonata untuk menindaklanjuti fatwa mati yang ditimpakan kepada aktivis JIL, Ulil Abshar Abdalla (2004), tapi misi tidak diteruskan.
Mengenal Sonata pertama kali pada 2000 ketika mengikuti pengajian di sebuah masjid di Cipayung. Sonata adalah pemberi kajian dalam kesempatan itu. Setahun kemudian mereka berangkat bersama ke Ambon. Lalu dikirim ke Pulau Seram Barat, Maluku, untuk mengikuti latihan kemiliteran, mulai dari bongkar pasang senjata M-16 sampai merakit bom dengan bahan KCLO3, sulfur, TNT, dan detonator. Lalu dia merangkai empat bom (2004) atas permintaan Ipung.
M. Saifudin alias Muhammad Yusuf Faiz
- Bergabung dengan MILF bersama Umar Patek, Dulmatin, dan lainnya (2003).
- Setelah peledakan bom Kuningan pernah bertemu dua kali dengan Noordin M. Top di Pemalang dan Karanganyar (2004). Saat itu dia diminta mencarikan tempat persembunyian dan juga merekrut orang lewat dakwah
Faiz ditangkap pemerintah Filipina pada 12 Desember 2004 di Zamboanga ketika baru turun dari kapal. Ia ke Filipina diperintah oleh Sonata dengan membawa uang US$ 21 ribu guna diserahkan ke Dulmatin. Uang tersebut dimaksudkan untuk membeli senjata.
Diolah dari berbagai sunber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo