Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Naik Gaji di Bulan Suci

Sutiyoso menaikkan upah anggota DPRD. Benarkah agar wakil rakyat itu tak merepotkan lagi?

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota DPRD Jakarta boleh bungah. Sebab, mulai awal November ini, mereka akan membawa pulang penghasilan lebih besar ketimbang sebelumnya. Ini bukan lantaran mereka mendapat tunjangan hari raya (THR) Lebaran semata, tapi juga karena Gubernur Sutiyoso telah menetapkan kenaikan gaji kurang-lebih 50 persen bagi para wakil rakyat daerah Jakarta itu.

Keputusan kenaikan upah atau gaji tersebut tertuang dalam peraturan gubernur yang ditandatangani pada 30 September lalu dan berlaku efektif mulai November, yang dibayarkan tepat pada awal bulan ini nanti. Menurut Ketua DPRD DKI, Ade Surapriatna, kenaikan upah tersebut merupakan hal yang wajar. ”Hanya sebagai penyesuaian harga,” ujarnya kalem.

Menurut salah seorang anggota Dewan, sebelumnya mereka menerima gaji sekitar Rp 35 juta per bulan, yang nantinya harus dipotong pajak, iuran partai, serta kebutuhan rutin lainnya. Namun, sejak diberlakukan peraturan baru tersebut, sebagai wakil rakyat kini mereka bisa mengantongi Rp 50 juta per bulan, bergantung pada tingkat kerajinan para anggota Dewan itu sendiri. Tentu saja juga sebelum dipotong pajak, iuran, dan sebagainya tadi.

Kebijakan baru Gubernur menaikkan gaji ketika masyarakat sedang dalam kesulitan ekonomi—akibat kenaikan harga bahan bakar minyak—menimbulkan banyak gunjingan tak sedap dan sinisme. Seorang sumber di Dewan menduga, kebijakan itu merupakan taktik untuk mengambil hati anggota Dewan agar beberapa agenda pemerintah dapat berjalan lancar tanpa gangguan.

Meski barangkali sebuah kebetulan, toh kenyataan bahwa Dewan menyetujui anggaran belanja tambahan (ABT) untuk APBD 2005 sepekan setelah kebijakan kenaikan gaji itu diteken pada akhir September membuat kecurigaan tersebut mendapat alasan.

Tentu saja Bang Yos—begitu panggilan akrab Gubernur Sutiyoso—membantah tuduhan bahwa kenaikan gaji itu terkait dengan urusan ketok-mengetok palu anggaran. Sebab, menurut dia, Peraturan Gubernur Nomor 114 tentang Kenaikan Gaji itu sudah dibahas sejak dua bulan silam. ”Dengan menaikkan itu, mereka tidak macam-macam lagi,” katanya kepada Tempo pekan lalu.

Macam-macam? Dia buru-buru meluruskan bahwa yang dimaksud adalah agar para anggota Dewan tak lagi main proyek atau menjadi calo anggaran seperti yang terjadi di DPR. Apalagi, menurut Sutiyoso, tak ada yang salah jika terjadi revisi pada PP No. 24 itu, karena disusun menurut kemampuan daerah.

Sutiyoso mengingatkan, kenaikan itu hanyalah kebijakan susulan setelah pemerintah memberikan subsidi langsung kepada rakyat berupa SPP gratis, subsidi guru dan PNS, serta kesehatan.

Selamat Nurdin dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menganggap kenaikan itu wajar dan jauh dari unsur kongkalikong. Menurut dia, kenaikan itu sudah didiskusikan dengan asosiasi pemerintah daerah, asosiasi Dewan, dan mengacu pada pendapatan anggota DPRD periode yang lalu.

Meski begitu, pimpinan PKS di Jakarta mencoba bersikap lebih hati-hati. Trisaksana mengatakan kebijakan itu diterima bila didasarkan pada prinsip keadilan, yakni pemerataan bagi masyarakat yang mengalami kesulitan hidup akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Dia berjanji PKS akan mengembalikan kenaikan tunjangan itu kepada masyarakat dalam bentuk berbagai kepedulian.

Dari Fraksi PDI Perjuangan, Maringan Pangaribuan mengatakan selama ini anggota Dewan itu bak kuli kontrak, padahal posisinya setara dengan gubernur. Karena itu, baginya kenaikan itu wajar saja. Pangaribuan menolak tudingan Gubernur tentang anggota Dewan yang main proyek. Menurut dia, DPRD tak lagi berkuasa seperti dulu. ”Justru eksekutif yang banyak main proyek. Dulu kami bisa campuri sehingga mereka yang menawar-nawarkan, sekarang tidak bisa lagi,” katanya.

Suara penolakan terhadap kebijakan kenaikan gaji anggota DPRD itu datang dari lembaga swadaya masyarakat. Dua pekan lalu Konsorsium Rakyat Miskin Kota mengeluarkan kecaman bahwa kebijakan itu tak berpihak pada rakyat. Ahmad Solihin, seorang buruh di Pelabuhan Tanjung Priok, menilai pada bulan puasa ini semestinya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang adil bagi rakyat miskin seperti dirinya.

Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus