Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK mudah menerobos rumah di Jalan Kranggan 12, Semarang, itu. Gerbangnya dua lapis. Dioperasikan sistem elektronik, pintu itu dibuka-tutup dengan remote control. Mulai teras hingga kamar belakang diawasi kamera pengintai, total 16 unit. Masih ditambah penjagaan ketat satuan pengamanan siang dan malam.
Toh, yang namanya perampok tetap saja bisa menjebol. Pada Rabu dua pekan lalu, Willy Chandra, pemilik rumah itu, disekap. Mulut dan hidungnya dilakban hingga tak bisa bernapas. Pria 34 tahun itu tewas sewaktu dibawa ke rumah sakit. ”Ketika ditemukan, wajahnya sudah seperti mumi,” kata Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Komisaris Besar Dewa Made Parsana.
Menggondol emas batangan dan perhiasan senilai Rp 25 miliar, gerombolan bandit enam orang itu juga menembak mati Anik Wijaya, 32 tahun, dan Wulandari, 20 tahun. Dengan kaki dan tangan terikat, mayat istri Willy dan pembantunya itu dibuang ke daerah Gunungpati, pinggiran Kota Semarang.
Dari keterangan sejumlah saksi, para bedebah masuk rumah Willy tanpa mendobrak pintu. Mereka menguntit Willy. Dalam perjalanan pulang ke rumahnya yang lain di Ungaran, sekitar 15 kilometer dari Semarang, Willy dihadang.
Waktu itu Willy melintas di Jalan Sisingamangaraja. Tak jauh dari kampus Akademi Kepolisian Semarang, seorang berseragam polisi menyetopnya. Willy diminta menunjukkan surat kendaraan dan surat izin mengemudi. Ketika menyerahkan surat-surat yang diminta itulah, pria pendiam itu ditodong pistol.
”Polisi” itu kemudian memberikan aba-aba agar lima kawannya keluar. Mereka mengepung Willy. Semua bergerak cepat masuk mobil. Seorang di antaranya mengambil alih kemudi. Willy dipaksa duduk di jok belakang dengan tangan diborgol. Innova H-8621-WD yang penuh penumpang itu memutar balik menuju Jalan Kranggan.
JAM menujukkan 22.00. Jalan Kranggan mulai lengang. Dua jam sebelumnya, lebih dari 40 toko emas serempak tutup. Pedagang kain juga pada pulang. Yang tersisa penjual nasi goreng, mi rebus, serta warung wedang kopi. Namun kawasan pecinan Semarang itu tetap bersinar oleh lampu papan nama toko, termasuk kepunyaan Willy, Toko Bintang Mas, Jalan Kranggan 9. Toko itu berseberangan dengan rumah Willy.
Sampai di depan rumah, Willy dipaksa memberikan kode kepada anggota satuan pengamanan yang memonitor layar kamera pengintai. Tak sampai satu menit, pintu gerbang besi pertama terbuka secara otomatis. Pintu pagar kedua, yang juga terbuat dari besi, seketika menganga. Mobil melesat masuk garasi yang cukup lapang.
Bak adegan film, salah satu perampok dengan gampang melumpuhkan anggota satuan pengamanan yang hendak menyambut majikannya keluar mobil. Tiga pembantu rumah tangga yang mencoba mendekat pun langsung tiarap setelah diancam hendak ditembak. Dalam sekejap, rumah seluas lapangan basket itu dikuasai para bandit.
Penjarahan dimulai dengan memecah seluruh kamera pengintai. Seorang di antaranya tampil cekatan mengambil hard disk di ruang kontrol kamera, dan memutus saluran pemancarnya. Hanya sebagian kecil rekaman kamera pengintai yang tersisa. Ketika polisi ”menyemprotkan”-nya ke layar monitor, gambarnya buram. Yang tampak hanya gerombolan dengan kepala tertutup dan mengenakan sarung tangan. ”Kami sulit mendapatkan ciri-ciri wajah dan sidik jarinya,” kata Made Parsana.
Sasaran utama para garong adalah brankas emas di kamar tengah, berukuran empat kali meja pingpong. Untuk menuju tempat ini, lima pintu harus dilalui. Dengan todongan pistol dan tangan diborgol, Willy dipaksa menyebutkan nomor sandi pintu. Terbukalah brankas berisi emas batangan dan rupa-rupa perhiasan.
Saking banyaknya, tak semua perhiasan bisa diangkut. Sebagian dibiarkan berserakan di kamar. Tak sedikit untaian kalung, gelang, cincin, permata, dan emas batangan ukuran kecil berceceran. Diperkirakan, jumlah yang digondol mencapai satu kuintal emas.
Perampok menyudahi aksinya dengan melakban mata, hidung, dan mulut Willy. Mereka juga mengikat tangan dan kaki para pembantu dan anggota satuan pengamanan di tempat berbeda. Adapun Anik Wijaya, Wulandari, dan tante Willy bernama Seng Eng Ing alias Iing dibawa kabur.
Kabar perampokan mulai tersiar setelah salah satu pembantu Willy melapaskan tali yang melilit kaki dan tangannya. Ia menelepon polisi, yang datang setengah jam kemudian. Warga sekitar juga geger. Seorang penduduk mengabarkan kawanan perampok tancap gas ke arah selatan Semarang. Polisi mengejarnya, tapi tak membuahkan hasil.
Esoknya, warga Sekaran, Gunungpati, gempar lantaran menemukan dua mayat di tepi jalan. Jenazah dikenali sebagai Anik Wijaya, yang tertembak di bagian kepala, dan Wulandari, yang tengkuknya tertembus peluru. Adapun Iing ditemukan di dalam mobil terkunci. Nenek 60 tahun itu sempat dirawat di rumah sakit di Semarang, sebelum diterbangkan ke salah satu hospital di Singapura.
Menurut Dewa Made Parsana, kejahatan ini nyaris sempurna. Belum ada jejak perampok yang dapat dikenali. ”Kami bekerja mulai dari titik nol,” kata Made. Rekaman kamera, katanya, cuma memperlihatkan salah satu pelaku bertubuh besar dan gemuk.
WILLY Chandra sudah sepuluh tahun berdagang emas. Ia mewarisi usaha ini dari ayahnya, Edi Chandra, 67 tahun. Edi merintis usaha dari berjualan arloji dari pasar ke pasar. Pada 1992, ia mencoba keberuntungan jadi pedagang emas, dan sukses. Ketika anaknya tertimpa musibah, Edi sedang berlibur ke Hong Kong.
Enam tahun silam, Willy mulai menjadi distributor perhiasan dan emas batangan. Ayah dua anak ini menemukan hokinya. Omzet penjualan membesar, jaringan meluas. Bangunan Toko Bintang Emas dipugar dan diperbesar. Ia pun membeli rumah khusus untuk gudang emas di Jalan Krangan 12.
”Kalau pelanggan datang, langsung masuk bersama mobilnya,” kata Mujiburrohman, tukang parkir di depan rumah Willy. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Emas dan Permata Indonesia Kota Semarang, Bambang Yuwono, Willy menyuplai emas hampir seluruh Jawa Tengah. ”Ia juga membangun jaringan sampai Bandung dan Surabaya.”
Jawa Tengah, tampaknya, memang sedang diincar para penyamun emas. Awal Mei lalu, dua toko perhiasan di Solo, yakni Toko Aladin dan Toko Kausar di Pasar Jongke, Laweyan, juga dijarah. Seorang pembeli, Ranum Utomo, 22 tahun, tewas tertembak pistol perampok. Warga Grogol, Kabupaten Sukoharjo, itu tertembak punggungnya ketika antre berbelanja.
Kejadian di siang bolong itu dilakukan dua penjahat bersepeda motor. Mereka berhenti tepat di depan Toko Aladin milik Haryanto, 35 tahun. Ia sempat melihat bagaimana komplotan itu mengeluarkan pistol dari balik jaket. Karena itu Haryanto segera kabur lewat pintu belakang. ”Feeling saya, ini perampok,” katanya.
Setelah melepas tembakan dan menewaskan seorang pembeli, perampok menjarah isi etalase. Sekitar enam kilogram emas lenyap digondol. Dari Toko Aladin, perampok mampir ke Toko Kausar. Mereka menguras isi etalase. Pemiliknya diam seperti patung, takut ditembak. ”Siang hari biasanya ada mobil patroli, kok ya enggak lewat,” Haryanto bercerita.
Sama seperti di Semarang, Kepala Kepolisian Kota Besar Surakarta, Komisaris Besar Ahmad Syukrani, juga belum berhasil mengidentifikasi para perampok. ”Kami enggak bisa menduga-duga,” katanya. Polisi Solo sudah melakukan penyisiran ke arah Purwodadi, Grobogan, dan Sragen. Polisi Semarang bahkan sudah minta bantuan Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Jawa Barat.
Elik Susanto, Rofiuddin (Semarang), Pito Agustin Radiana (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo