BORIS Becker sudah habis-habisan. Ribuan penonton di Gedung Olimpiade 1972 di Muenchen, Jerman Barat juga sudah capek memberikan dukungan buat tuan rumah. Tapi, Piala Davis - lambang supremasi tenis beregu putra dunia yang diselenggarakan setahun sekali -- akhirnya tetap jatuh ke tangan Swedia. Duel selama tiga hari antara petenis tangguh kedua negara yang bertemu dalam final Piala Davis yang ke-85 itu akhirnya dimenangkan oleh tim tamu dengan angka 3-2. Yakni, setelah pada partai penentuan, 22 Desember lalu, andalan baru Swedia Stefan Edberg, 22, yang baru tiga pekan silam menjuarai Kejuaraan Australia Terbuka, menggulingkan Michae] Westphal, petenis Jerman Barat yang menduduki peringkat ke-51 dunia. Kekalahan Westphal, tak urung, disambut para penonton Jerman dengan desah kecewa. Maklum, setelah ditumbangkan tim AS pada 1970, ini yang kedua kalinya tim mereka kandas di final. Sakitnya, kekalahan telak 0- 5, lima belas tahun lalu, terjadi di kandang lawan (Cleveland, Ohio), tapi kekalahan negeri yang memang belum sekali pun berhasil merebut Piala Davis kali ini terjadi di rumah sendiri. Dan kekalahan itu terjadi justru di saat nama Jerman Barat masyhur karena memiliki Boris Becker, 18, petenis yang Juli 1985 mengukir sejarah baru ketika tampil sebagal juara termuda tunggal putra turnamen Wimbledon. Apa boleh buat, bersama penonton, Becker harus berlapang dada melihat luapan kegembiraan yang spontan meledak di kubu Swedia setelah kemenangan Edberg. Tim ini memang pantas bergembira. Sebab, kemenangan kali ini berarti mengukuhkan posisi mereka sebagai negeri yang berhasil tiga kali jadi kampiun Piala Davis (1975, 1984, dan 1985). Dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini Swedia menjadi negeri kedua paling sering menyimpan Piala Davis, setelah Amerika Serikat (empat kali). Hanya berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, Swedia dalam sepuluh tahun terakhir ini memang jadi bahan pembicaraan karena kemampuan mereka "memproduksi" jago-jago tenis. Mula-mula dengan kemunculan Bjorn Borg, yang pada 1974 langsung menjuarai turnamen Prancis Terbuka. Borg masih menjuarai turnamen ini tahun berikutnya dan bahkan pada tahun yang sama ikut memperkuat tim ketika negerinya pertama kali merebut Piala Davis - sebelum dia kemudian merajalela selama lima tahun berturut-turut, sejak 1976, sebagai pemegang mahkota turnamen tenis paling bergengsi di Eropa Wimbledon. Dia masih bergigi pada awal 1980 ketiga rekannya Mats Wilander mulai tampil. Wilander resmi disebut pengganti Borg, ketika berhasil menjuarai Prancis Terbuka 1982 Setahun kemudian, pemain ini merebut pula gelar lain: juara tunggal Australia Terbuka Gelar ini bisa dipertahankannya pada 1984. Bersamaan dengan terangnya bintang Wilander, pamor Swedia sebagai produsen Jago tenis dunia bertambah naik. Sebab, di samping Wilander agak berbarengan berturut-turut muncul beberapa petenis muda lain yang potensial. Di antaranya Joakim Nystrom, Hendrik Sunsdtrom, Anders Jarryd, Kent Carlsson, dan satu yang kini mulai jadi idola: Stefan Edberg. Sekarang Swedia sudah menempatkan empat petenis mereka dalam 12 besar dunia dan tujuh lainnya di daftar 30 besar dunia. Dan selain masih muda-muda - rata-rata para pemain itu berusia di bawah 23 tahun ketangguhan mereka bisa dibilang berimbang. Mengapa Swedia bisa mencetak begitu banyak pemain tangguh dalam satu dasawarsa terakhir ini? "Ada banyak alasan. Tapi secara mendasar, saya kira, ada empat faktor penunjang yang membuat kami bisa mencapai hasil itu," kata Thomas Hallberg, Sekretraris Jenderal Asosiasi Tenis Swedia, kepada koresponden majalah Tennis World. Yaitu, peranan klub, organisasi tenis yang kuat, fasilitas lapangan, dan ikut sertanya bekas juara tenis yang sudah mengundurkan diri, Bjorn Borg, dalam pembinaan. Hallberg mengatakan, unsur utama yang dianggapnya paling berperan dari kisah sukses itu adalah usaha keras dari klub-klub tenis di negeri itu. Pada 1984 saja, katanya, tercatat 948 klub yang terorganisasikan secara rapi di seluruh Swedia. Di klub-klub itulah berlatih sekitar 125.000 pemain (sekitar 51.000 di antaranya pemain yunior). Mereka ini dilatih oleh para pelatih berpengalaman. Lewat tangan pelatih inilah petenis berbakat digembleng. TENIS memang sudah begitu digandrungi di Swedia, sehingga tak hanya di klub, melainkan di luar itu secara perorangan pun banyak orang yang ikut mengangkat raket. Tahun lalu saja, sedikitnya tercatat lebih dari sejuta orang (10%) yang bermain tenis di negeri itu. Tersebar di 23 provinsi mereka inilah yang setiap tahun jadi sumber pemain berbakat. Dan Asosiasi tenis Swedia memiliki sedikitnya 10 pemandu bakat yang memenuhi persyaratan yang setiap saat siap menjaring mereka. Para pemandu bakat inilah yang kemudian menarik pemain-pemain berbakat guna diarahkan, antara lain dengan bantuan Bjorn Borg, menjadi seorang petenis tangguh profesional. Untuk itu, sebelumnya, mereka harus menandatangani perjanjian dengan Asosiasi Tenis Swedia, agar kelak tetap bermain di Piala Davis atau kejuaraan resmi lainnya atas nama Swedia. Rapinya pembinaan di klub dan aktifnya asosiasi tenis mereka itulah rahasia keberhasilan Swedia. Marah Sakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini