DI sebuah rumah sederhana tapi penuh buku, di kawasan Sukaluyu, Bandung, Kamis sore dua pekan lalu. Kanti, 7, membaca buku berbahasa Inggris sambil berbaring di lantai ruang tamu. Adiknya, Ipu, 5 1/2, juga asyik dengan bukunya sendiri. Sikap anak anak itu begitu bebas, tak terganggu dengan adanya Didi Sunardi, wartawan TEMPO yang sedang mewawancarai ayah mereka di ruang itu juga. Sekali-sekali, Kanti atau Ipu berteriak menanyakan sesuatu yang tak mereka ketahui kepada ayahnya. Dan Aldy Anwar, 49, dengan suaranya yang kecil, pelan, tapi Jelas menerangkan soal yang ditanyakan. Sepintas keluarga ini tak bedanya dengan keluarga-keluarga kelas menengah Indonesia yang lain. Tapi, tahukah Anda bahwa Kanti dan Ipu sama sekali belum pernah duduk di bangku sekolah? Dan yang mereka baca adalah buku-buku yang mestinya baru dipahami murid SMA? Itulah, ketika mereka tampil dalam seminar "Perlindungan Hak-Hak Anak" - di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 10 Desember lalu - jadi pusat perhatian. Kedua anak itu lancar menjawab pertanyaan hadirin, bahkan mengesankan seorang yang sudah biasa dengan diskusi. Kanti menolak seorang hadirin yang memintanya menceritakan salah satu dongeng Andersen - kisah-kisah yang umumnya disukai anak-anak di seluruh dunia. Cewek kecil ini malahan menawarkan untuk berkisah tentang komet saja. Di tengah kritik terhadap mutu sekolah, Aldy Anwar, anak bungsu seorang dokter, menawarkan alternatif yang lain: mendidik sendiri anak-anaknya. Dan ini tampaknya sudah direncanakannya, ketika ia menikah dengan Beryl C. Syamwil, 34, sarjana Seni Rupa ITB, pada 1978. Pada ulang tahun pertama Kanti, satu-satunya hadiah adalah sebuah "buku berkulit tebal dengan kertas yang tak mudah robek," tutur Aldy. Tentu saja. Bagi Kanti waktu itu, yang bicara pun baru sepatah dua patah kata, mestinya buku itu sama saja dengan mainan yang lain yang tak ada "isi"-nya. Tapi inilah strategi pertama Aldy, untuk mengenalkan anaknya dengan dunia ilmu. Tahap kedua, si bapak mengenalkan nama huruf. Dalam waktu tiga bulan, Kanti sudah bisa mengenali dan mengucapkan seluruh abjad. Sejak itulah, sejak mengenal semua huruf, minat baca anak-anaknya dibinanya. "Praktis, kedua anak saya sudah lancar membaca sebelum umur tiga tahun," kata Aldy, yang masuk Jurusan Fisika Nuklir ITB pada 1956. Lalu, apa yang dibaca Kanti dan Ipu ? Jauh berbeda dengan sekolah formal, di rumah Aldy tak ada keharusan untuk membaca buku tertentu. "Yang saya bina hasrat, keterampilan, kegemaran, dan keteraturan belajar mereka," kata bapak yang urung menyandang gelar sarjana karena begitu saja meninggalkan skripsinya itu. Bagi orang yang memilih bekerja secara freelance ini, pilihan materi pelajaran menjadi tidak penting dibandingkan dengan hasrat belajar itu sendiri. Tapi tentu saja ia, yang menjadi peneliti tenaga radiasi matahari di ITB pada 1961-1980, tidak ngawur. Aldy punya klasifikasi dalam membimbing belajar Kanti dan Ipu. Misalnya, ada pelajaran wajib, antara lain bahasa Indonesia, Inggris, daerah, mengarang, agama Islam, dan matematika. Lalu ada yang pilihan: membaca sastra, pengetahuan lingkungan, dan sejarah. Jenis ketiga lebih mirip permainan yang memerlukan daya kreasi, misalnya mencari kata-kata yang buntutnya "pung". Atau bermain sandiwara, melukis, membaca cerita. Jadi lebih kurang Aldy pun menerapkan suatu sistem. Adapun soal waktu belajar, tentu saja tak seketat jam sekolah. Bahkan rasanya Aldy setuju dengan iklan Coca-Cola yang terkenal itu: di mana saja, kapan saja. Maka, jangan kaget, bila dalam sebuah seminar tentang pemanfaatan tenaga matahari, umpamanya, Aldy hadir membawa kedua anaknya. Anak-anak itu diberinya buku, kertas, dan bolpoin, dibiarkannya membaca, menulis, atau menggambar. Pokoknya, terserah maunya apa anak-anak itu, termasuk mendengarkan seminar, bila berminat. Inilah rahasianya mengapa dalam seminar di Jakarta itu, Kanti dan Ipu tampaknya tak canggung sedikit pun. Juga, sering kali bapak dan kedua anak ini asyik di toko buku, berjam-jam membaca tanpa merasa terganggu dengan pengunJung toko yang lain. Bagi Aldy yang tak terikat kerja rutin apa pun ini - "Saya sekeluarga cukup dengan Rp 100.000 per bulan." katanya - banyak sekali sarana di masyarakat yang bisa digunakan untuk memperkenalkan dasar ilmu pengetahuan kepada anak. Ia memang bukan sekadar memindahkan sekolah ke rumah. Tapi jangan salah terka Aldy sama sekali tidak apriori anti sekolah. Ia memang punya kritik terhadap sekolah, yang di mata Aldy adalah tempat "segala sesuatunya diperhatikan secara sentral." Beryl, ibu Kanti dan Ipu, pernah datang ke Proyek Perintis Sekolah Pembangunan IKIP Bandung, kalau-kalau anaknya bisa mendapatkan prioritas. "Ternyata, tidak bisa, karena laporan perkembangan anak lewat rapor harus teratur," tutur desainer interior itu. Padahal, sekolah itu, yang menggunakan modul, terhitung maju. Sikap Aldy terhadap pendidikan mengingatkan orang kepada H. Agus Salim almarhum, yang juga tak menyekolahkan anak-anaknya. Memang, yang terutama ditentang Agus Salim bukan metode sekolah, tapi karena sistem Belandanya. Namun, metode awal yang diterapkan kedua orang berlainan zaman ini boleh dibilang mirip. Yakni belajar mengenal huruf, kemudian memupuk minat baca. Anak-anak Agus Salim diajar dulu membaca, kemudian kepada mereka diberikan buku-buku - kata Violet Hanafiah, anak ketiganya, beberapa waktu lalu. Yang tampaknya perlu diperhatikan yakni, sekolah di rumah tak harus berarti mengasingkan anak-anak dari pergaulan. Agus Salim tak hanya mengurung anaknya di rumah mereka dimasukkan juga ke kepanduan. Di kepanduan itulah anak-anak itu tahu bahwa pengetahuan mereka dibandingkan dengan anak sekolahan tak berbeda - justru mereka menjadi tempat bertanya. Dalam hal itu, belum jelas lingkungan yang akan digunakan Aldy buat mengetes pengetahuan anak-anaknya. Memang, Kanti dan Ipu bukannya sama sekali terasing dari kompetisi dengan anak-anak sebaya mereka. Pada usia empat tahun, Kanti telah memenangkan lomba membaca sajak di RW-nya. "la membaca sajak Chairil Anwar dengan bagus," tutur ibunya. Dan tak jarang anak-anak itu juga mendapat nomor dalam lomba melukis - maklum ibunya 'kan sarjana seni rupa. Tapi bagi Menteri P & K Fuad Hassan yang tampaknya agak tak setuju dengan hanya pendidikan di rumah ini - anak-anak itu mestinya kurang menerima yang disebutnya sebagai "proses sosialisasi". Yaitu "anak bisa menerima watak temannya yang berbeda-beda, nakal, bandel dan ngotot, belajar menerima dan memberi, antara lain". Untunglah, menurut para tetangga di Sukaluyu itu, meski kedua anak Aldy jarang bergaul, mereka tidak susah bercanda dengan anak-anak sebaya bila ada kesempatan. Malahan sering ditanya ini-itu oleh anak-anak tetangga, dan tak jarang pula anak-anak tetangga itu meminjam buku dari Kanti dan Ipu. AGAKNYA memang diperlukan pilihan lain daripada sekolah yang kini ada, yang memang hanya semetode itu. Bukan cuma Aldy, tapi juga Said Kelana, bapak para pemain band The Big Kids, lebih suka tak mengirimkan anaknya ke sekolah. Said juga melihat sekolah tak memberikan pilihan yang baik. "Dengan waktu belajar hanya empat jam sementara ada sekian mata pelajaran harus dipelajarkan, tentu sulit dipahami anak-anak," kata Said suatu ketika. Maka ia pun mengundang guru ke rumah, tapi sistem mengajarnya Saidlah yang menentukan. Yakni, anak-anaknya diharuskan belajar satu bidang tertentu sampai menguasai dasarnya, sebelum pindah ke bidang yang lain. Misalnya, dalam satu bulan terus-menerus anak-anak dibimbing guru matematika. Baru setelah itu, ganti pelajaran bahasa Inggris, juga dalam waktu yang cukup. Dibandingkan dengan Said, Aldy memang sudah jauh melangkah. Bahkan ia sudah merencanakan pada usia 15 anak-anaknya sudah harus punya pilihan sendiri, sudah harus berdiri sendiri. Inilah memang, sebuah eksperimen besar yang mudah-mudahan tak minta korban. Sebuah upaya "mengubah iklim, memberikan alternatif yang lain dari yang sudah ada," kata Aldy. Hasilnya memang masih harus ditunggu. Untuk sementara, lihat saja bagaimana Kanti berekspresi, ketika ada tamu di rumahnya yang merokok. Ia ambil kertas, lalu menulis dalam huruf balok: "Dilarang merokok di ruangan ini". Bambang Bujono Laporan Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini