Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jotosan untuk tinju

Akibat KO rupanya parah. dokter-dokter AS minta tinju dilarang. paling sedikit bahayanya dikurangi. caranya?

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJUARAAN Tinju Presiden Cup (24-29 Januari) di Jakarta bagaikan kena tonjok. Seminggu menjelang pertandingan yang diikuti puluhan petinju dari berbagai negara itu, koran-koran Jakarta melancarkan kampanye tentang bahaya tinju. Diberitakan redaktur Journal of American Medical Association, berkala yang diterbitkan Persatuan Dokter Amerika Serikat, menganjurkan "olah raga keji" tinju supaya dilarang. Anjuran itu didasarkan pada penelitian akibat tinju terhadap 40 petinju profesional. Sebanyak 15% dari mereka tidak hanya menunjukkan akibat berupa otak yang cedera. Tetapi juga gila, hilang ingatan, susah biara, gemetar dan bertingkah laku aneh. "Tinju, sebagai pukulan mundur yang membuat manusia tak berbudaya, seharusnya tidak diterima oleh masyarakat berbudaya di mana pun. Buat saya tinju kurang nilai olah raganya dibandingkan dengan sabung ayam," tulis Dr. George Lundberg, redaktur berkala tadi. Ini adalah sikap paling keras yang pernah dikeluarkan terhadap olah raga yang amat digemari di AS. Namun Persatuan Dokter AS sendiri belum meminta tinju dilarang. Karena, seperti dikatakan Kepala Tim Kesehatan Kejuaraan Tinju Presiden Cup, dr. Ruwido, "melarang orang bertinju sama susahnya seperti melarang orang merokok. Orang tahu kebiasaan itu tidak sehat, tapi mereka tetap saja merokok, katanya. Namun Persatuan Dokter AS punya resep untuk menghindari akibat fatal di ring tinju. Misalnya dengan melaksanalan pemeriksaan kesehatan yang teliti. Begitu juga seluruh penyakit dan kecelakaan yang pernah diderita seorang petinju dicatat -- supaya komisi tinju bisa menentukan fit tidaknya seorang petinju. Organisasi dokter itu juga menganjurkan agar gelanggang tinju dilengkapi dengan peralatan pertolongan pertama. Misalnya, di sudut ring harus tersedia alat pembantu pernapasan. Dan dokter diberikan wewenang penuh untuk menghentikan pertarungan. Beberapa dokter yang menyaksikan kematian petinju Korea Selatan, Kim Duk Koo, di tangan juara kelas welter ringan Ray Mancini pertengahan November di Las Vegas, menganjurkan agar waktu tiap ronde diperpendek. Waktu itu, pada ronde ke-13 Kim berdiri saja tanpa membalas belasan pukulan keras yang menghantam muka dan kepalanya. Tetapi pada ronde berikut dia kelihatan sudah lunglai. Mancini melontarkan hook kiri yang lemah, diikuti pukulan tangan kanan yang amat keras. Hook kiri lagi. Dan sekali lagi pukulan kanan yang penuh, mendarat di rahang, mengirim petinju Korea itu ke kanvas. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Kim 5 hari hidup dengan napas buatan. Akhirnya meninggal. "Saya kira pertandingan tidak boleh lebih dari 10 ronde," kata Dr. Edwin Cambell, direktur medis Komisi Atletik di negara bagian New York. Dia juga menganjurkan agar masa instirahat antar ronde diperpanjang, supaya si petinju bisa pulih. Dan dokter dapat kesempatan memeriksa kondisi si petinju. Cambell juga menganjurkan panjang ronde tidak 3 menit, tapi dikurangi menjadi 2 menit saja. Dokter ini barangkali bisa heran, kalau mengetahui, dalam kejuaraan Sarung Tinju Emas di Jakarta beberapa tahun yang lalu, satu ronde malahan diperpanjang menjadi 4 menit. Edan. Ada pula yang menganjurkan agar bobot sarung tinju yang sekarang 8 ons, seperti dipakai para petinju pro kini, ditambah. Kalau saja bobot sarung itu 1 kg, kerasnya pukulan yang bisa mencapai 500 kg, dengan sarung biasa, bisa dikurangi separuh. Ditambah pula dengan alat penutup kepala, maka korban di ring tinju akan bisa berkurang. Ini kelihatannya penting. Karena sejak 1945 sampai dengan Kim Duk Koo tercatat 353 yang mati karena jotosan. Barangkali jumlah ini juga termasuk Aceng Jim yang mati di Bandung tahun 1979. Akibat pukulan knock-out memang mengerikan. Otak berputar tujuh keliling. Persis seperti kuning telur yang berguncang kalau telur dihentakkan. Pada kasus Kim, yang coba ditolong dengan operasi, ditemukan sebuah pembuluh darah pecah. Darahnya menggumpal setengah cangkir: Mendesak otak. Gencetan itu menyebabkan sel-sel otak rusak. Tidak sama dengan sel tubuh yang lain, sel otak yang rusak itu tidak mungkin pulih kembali. Kemampuan bertinju yang luar biasa tidak menjamin. Muhammad Ali yang hanya sekali KO dalam karirnya yang panjang, juga tak kebal. Ferdie Pacheco, bekas dokter pribadi sang juara, dalam sebuah tulisannya menyebutkan Ali menderita karena olah raga keras ini. "Bicaranya menjadi lambat, kata-katanya seperti ditelan dan pertumbuhan mentalnya lambat," katanya. Dalam dua pertandingannya yang terakhir, katanya, Ali kehilangan koordinasi antara mata dan tangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus