Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gagal Lagi Di Jenewa

Sidang darurat OPEC di Jenewa berakhir tanpa kesepakatan, masalah diferensial di luar dugaan dibawa masuk oleh sheik yaki yamani. gagal mencapai konsensus untuk membagi kuota nasional. (eb)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEDA pendapat antara para anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) nampaknya semakin melebar. Kalau di Wina 20 Desember lalu, ke-13 menteri minyak itu gagal mencapai konsensus untuk membagi-bagi jatah nasional yang seluruhnya berjumlah 18,5 juta barrel sehari, pekan lalu pun hal yang sama berulang lagi. Dalam sidang darurat di Jenewa (23-24 Januari), bukan saja masalah pembagian jatah nasional yang mereka pertengkarkan, tapi juga tentang harga diferensial yang dipasang oleh kelompok Afrika Utara-seperti Nigeria dan Libya -- yang oleh Arab Saudi dianggap terlalu rendah. Yahaya Dikko, ketua delegasi Nigeria yang kini menjadi presiden OPEC, dalam keterangan persnya di akhir sidang itu antara lain menerangkan, tak menduga sebelumnya Sheik Zaki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi itu, akan membawa-bawa soal diferensial ke dalam sidang di Jenewa. Yahaya Dikko sendiri memang hadir dalam sidang organisasi negara-negara Teluk (Gulf) di Bahrain, sepekan sebelum berlangsungnya sidang di Jenewa. Selain Dikko, hadir pula Menteri Subroto dari Indonesia, Qasim Ahmad Taqi dari Irak dan Menteri Perminyakan Libya. Di Bahrain itu pula mereka melontarkan pernyataan bersama agar OPEC segera bersidang dan mencapai kata sepakat dalam pembagian kue nasional, menaatinya, dan tidak lagi memberikan potongan-potongan harga seperti dilakukan oleh Nigeria, Libya dan Iran, misalnya. Tapi ternyata di Jenewa, Menteri Yamani beranggapan lain. Dia rupanya tak melihat konsensus produksi itu akan berjalan kalau kelompok Afrika Utara masih saja memberikan diferensial serendah US$1,5 per barrel di aus harga patokan yang US$34 untuk jenis minyaknya yang berkualitas tinggi (sweet crude). Paling tidak menurut Arab Saudi, diferensial itu harus berkisar antara US$ 2,5 sampai 3,5 per barrel tergantung dari jenis minyak yang diekspor. Mana Said Al-Otaiba dari Uni Emirat Arab, yang juga adalah ketua monitoring harga minyak OPEC, mendukung pendapat abangnya, dan berkata: "Adalah mustahil untuk membicarakan pengaturan produksi tanpa memasukkan faktor diferensial." Harga diferensial adalah rumusan harga untuk setiap jenis minyak OPEC, berdasarkan perbedaan mutu, dan lokasi geografis ke tempat-tempat pemasaran. Mengingat minyak Nigeria itu kurang lebih sekualitas dengan jenis North Sea Crude yang dihasilkan Inggris, dan tempat pemasaran anggota OPEC itu terutama adalah Eropa, adalah sulit bagi Nigeria untuk tidak memainkan diferensialnya kalau mau bersaing dengan minyak Inggris itu. Humberto Calderon Berti dari Venezuela melontarkan pendapat yang kurang lebih sama dengan kelompok Afrika. "Kalau saja OPEC tak menyimpang dari jatah produksi masing-masing, kita tak akan mengalami persoalan dengan diferensial," katanya. Sidang di Jenewa agaknya berbeda dengan sidang di Wina dalam satu hal: Kalau di ibukota Austria itu yang menjadi biang masalah adalah Iran yang ngotot mempertahankan produksi minyak mereka sebanyak 3,2 juta barrel sehari, maka kali ini pertentangan, atau katakanlah beda pendapat, sudah menajam antara kelompok negara-negara Teluk (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Qatar) dengan kelompok Afrika Utara, menyangkut diferensial tadi. Tentang pembagian kuota produksi pun tak seluruhnya disetujui para anggota. Adalah di Jenewa, yang oleh Yahaya Dikko disebut sebagai pertemuan informal itu, sebagian besar anggota OPEC bersepakat untuk mengembalikan produksi total mereka menjadi 17,5 juta barrel. Dalam keterangan pers yang cukup panjang, Ketua OPEC Yahaya Dikko tak lupa membacakan jatah produksi masing-masing anggota. Antara lain Arab Saudi mendapat 4,7 juta barrel, Iran 2,5 juta barrel, Irak 1,35 juta barrel, Nigeria 1,35 juta barrel, Venezuela 1,5 juta barrel dan Indonesia tetap mendapat 1,3 juta barrel. Tapi rupanya ada yang mengangkat tangan tidak setuju: Menteri Calderon Berti. "Venezuela bisa menerima kuota minimal antara 1,7-1,8 juta barrel sehari," katanya. Dan Indonesia? Dalam keterangannya kepada wartawan Sabam Siagian dari. Sinar Harapan, Menteri Pertambangan dan Energi Subroto mengatakan, Indonesia akan tetap menjalankan produksinya seperti sekarang: sekitar 1,3 juta barrel sehari. Ia menghimbau agar beberapa anggota OPEC bisa menahan diri untuk menaati penjatahan produksi, tanpa melakukan potongan harga. Beberapa ketua delegasi secara terpisah telah melangsungkan konperensi pers sesaat sebelum meninggalkan Hotel Inter-continental Jenewa, tempat berlangsungnya sidang. Perhatian paling besar, tentu saja, adalah ketika Sheik Yamani tampil di depan mikrofon. Menjawab pertanyaan, kapan kiranya OPEC akan berunding lagi, Yamani yang dikabarkan banyak senyum, menjawab: "Yang diperlukan bukan lagi berunding, tapi bertindak (action)". Aksi apa lagi yang akan dilakukan Sheik Yamani, baik kita tunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus