SUDAH berulang kali Komisi Tinju Indonesia (KTI) mengadakan penataran wasit dan hakim tinju. Tapi, hasilnya ternyata belum begitu memuaskan. Terbukti, wadah yang menaungi tinju bayaran Indonesia itu sampai sekarang masih saja tetap direpotkan oleh pelbagai kasus petinju yang dirugikan oleh hakim atau wasit yang tak becus memimpin pertandingan. Contoh paling baru, dan tak ayal sempat merepotkan pengurus KTI yang dipimpin oleh Sesdalopbang Solihin G.P. itu, adalah kasus pertandingan perebutan gelar juara kelas welter ringan antara Piet Gomies, 34, dan penantangnya, Supriyo, 25. Sebab, gara-gara pertandingan ini - yang baru Minggu malam dua pekan lalu diulang di Malang dengan hasil seri -- KTI membuat sejarah baru. Untuk pe-rtama kalinya, mereka mengeluarkan surat keputusan yang membatalkan dan sekaligus mencopot gelar juara yang sudah dimenangkan secara sah oleh seorang petinju. Petinju itu Supriyo dari Sasana Sawunggaling Surabaya. Ia adalah penantang utama Plet, sang Juara, dari Sasana Satria Kinayungan Jakarta. Pada pertandingan perebutan gelar pertama, 5 Januari lalu di Jambi, Supriyo sesungguhnya sudah dinyatakan menang dengan angka oleh wasit. Bahkan disaksikan ribuan penonton, malam itu anak Lamongan, Jawa Timur, ini menerima sabuk juara yang dipasangkan oleh ketua I KTI Mohammad Anwar. Supriyo, waktu itu, dinyatakan menang oleh hakim Jaffar dari Jakarta (116-115) dan hakim merangkap wasit Rustam dari Surabaya (117-115). Hanya oleh hakim Soedarsono dari Jakarta iadikalahkan (113-120). Sorak sorai menyambut keputusan wasit. Kubu Supriyo bersukaria. Dan juara baru ini, begitu sampai di rumahnya di daerah Tandes, Surabaya, bahkan sempat membuat kenduri untuk merayakan kemenangan tersebut. Tapi, kegembiraan Supriyo tak berlangsung lama. Lewat SK yang ditandatangani langsung oleh ketua umum KTI Solihin G.P., pada 23 Januari lalu, gelar Supriyo setelah 18 hari disandangnya itu dinyatakan batal. Piet, dengan demikian, tetap dinyatakan sebagai pemegang gelar dan harus mempertahankan gelarnya lagi setelah 60 hari. "Keputusan itu diambil karena, setelah kami melakukan penelitian, ternyata ada kesalahan salah seorang hakim ketika melakukan penghitungan," kata Mohammad Anwar. Ia mengatakan, hakim itu adalah Jaffar. Kesalahan itu, menurut pengakuan Jaffar kepada KTI, terjadi pada ronde ke-10. Hasil ronde ini, adalah 7 buat Supriyo dan 10 buat Piet. "Tapi yang dituliskannya 9 dikurangi 2 buat Supriyo dan 10 buat Piet," ucap Mohammad Anwar. Angka minus 2 diberikan Jaffar dengan alasan, Supriyo sempat terpukul jatuh. Oleh Inspektur Pertandingan LeonJohannes, angka di ronde ini, tetap ditafsirkan: 9 buat Supriyo dan 10 buat Piet. Sebab, menurut dia, angka itu angka hukuman yang seharusnya hanya dicantumkan Jika wasit memang memberi aba-aba: ada hukuman. "Tapi, saya tahu dan saya lihat juga hukuman itu tak dijatuhkan wasit. Makanya, saya tak menghitung angka hukuman itu," kata Leon Johannes. Akibatnya fatal buat Jaffar, yang merasa memenangkan Piet," kata Jaffar, 52. "Kalau angka dua hukuman itu dihitung, skor terakhir akan menjadi 114 buat Supriyo dan 115 buat Piet." Dan karena itu, dia kemudian melaporkan kasus itu kepada KTI. Komisi tinju inilah yang kemudian, setelah melakukan beberapa kali sidang, membatalkan keseluruhan hasil pertandingan itu. "Keputusan kami ambil berdasarkan ketentuan yang diatur pasal 65 tata tertib pertandingan tinju yang sudah dikeluarkan KTI," kata Anwar lagi. Tapi, ini yang dibantah oleh Setiadi Laksono, manajer Sawunggaling Surabaya. Tampak masih masygul dengan keputusan KTI, tokoh tinju Jawa Timur ini menuduh keputusan itu dibuat semata-mata "karena ada permainan orang-orang kuat di Jakarta". Buktinya, jelas lewat pencopotan gelar. "Sebab, sebenarnya meskipun telah terjadi kesalahan hitung oleh hakim, gelar sebenarnya tak perlu dicopot. Yang perlu diadakan hanya pertandingan ulang saja," kata Setiadi. Pendapat ini ditentang Herman Sarens Sudiro, bos Satria Kinayungan. "Keputusan KTI tepat. Keputusan itu dikeluarkan berdasarkan ketentuan yang berlaku," ucap Herman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini