Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengkaji budaya alon-alon

Robert Levine dari California State University, AS, mengadakan penelitian tentang kesadaran waktu oleh masyarakat Jepang, Indonesia, dst. Indonesia jadi juru kunci. (ilt)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Indonesia lamban ? Profesor Robert Levine dari Amerika mengujinya dengan kecepatan pegawai kantor pos Indonesia melayani pembeli prangko. Suatu hari, profesor itu antre di sebuah kantor pos kecil di sekitar Solo. Begitu tiba gilirannya, pegawai kantor pos, yang mengetahui bahwa sang pembeli orang Amerika, serta merta bersukacita dan membuka perbincangan tentang keponakannya yang sedang belajar di AS. Akibatnya, acara sang profesor berantakan. Toh, menurut Levine, guru besar psikologi dari California State University itu, pegawai kantor pos Indonesia belumlah yang paling lamban di antara enam negeri yang ditelitinya Jepang, AS, Inggris, Italia, Taiwan, dan Indonesia. Rekor juru kunci dipegang Italia, dengan kecepatan 47 detik untuk penjualan sehelai prangko. Yang paling sigap adalah Jepang, dengan kecepatan 25 detik. Indonesia berada di urutan kelima, setelah Taiwan. Levine tertarik mempelajari "kesadaran waktu", terutama setelah menjadi guru besar tamu pada fakultas psikoloi di sebuah universitas di Niteroi, Brazil. "Dinegeri ini, jam karet bertahan secara konsisten," katanya dalam tulisan bersama Ellen Wolf, di majalah Psychology Today, bulan mi. Bahkan ada indikasi, jam karet disyaratkan bagi seorang yang memiliki kedudukan penting di masyarakat. Perspektif waktu, menurut survei yang dilakukan majalah tersebut, berpengaruh luas terhadap proses psikologis. Mulai dari motivasi, emosi dan spontanitas, sampai pada keslapan menempuh risiko, kreativitas, dan penyelesaian soal. Setiap negeri, ternyata, mempunyai gagasan berbeda tentang waktu dan ketepatan. Dan di tengah komunikasi modern, dengan kontak antarmanusia yang makin luas dan cepat, perbedaan budaya waktu ini mulai dirasakan sebagai kendala. Mula-mula, bersama dua asisten, Levine membuat studi perbandingan kesadaran waktu antara para mahasiswa Niteroi dan Fresno, California. Kemudian, ia terpikat melebarkan studi ini dengan sampel Tokyo dan Sendai aepang), Taipei dan Tainan (Taiwan), Roma dan Florence (Italia), London dan Bristol (Inggris), New York dan Rochester (AS), serta Jakarta dan Solo. Ia memilih tiga indikator basis: akurasi jam pada bank, kecepatan laju pejalan kaki, dan waktu rata-rata yang dibutuhkan pegawai pos melayani pembeli sehelai prangko. Di tiap kota tadi, Levine, dan asistennya, Kathy Bartlett, menguji 15 jam, mengamati 100 pejalan kaki, dan antrean di sejumlah kantor pos. Selisih waktu pada 30 jam di dua kota Jepang hanya berkisar setengah menit. Inilah yang paling akurat di antara sampel penelitian itu. Yang paling molor ternyata Indonesia, dengan selisih tiga menit. AS menempati urutan kedua, diikuti Taiwan, Inggris, dan Italia. Akan halnya pejalan kaki, Levine hanya mengamati orang yang berjalan sendirian, di tengah jam sibuk, pada cuaca terang. Lagilagi orang Jepang keluar sebagai kampiun, dengan kecepatan 20,7 detik untuk jarak 100 kaki - 32,8 m. Indonesia, apa boleh buat, kembali jadi juru kunci, dengan kecepatan 27,2 detik. Inggris tampil sebagai nomor dua, dengan kecepatan 21,6 detik, mengalahkan AS yang hanya mencapai 22,5 detik. Urutan keempat dan kelima diduduki Italia dan Taiwan. Kesadaran waktu, menurut penelitian ini, erat berhubungan dengan terminologi sehari-hari. Di Brazil, misalnya, ada kata manha, padanan bahasa Portugis untuk istilah Spanyol manana - yang artinya "besok" atau "pagi hari". Konon, di negeri itu, bisnis hari ini biasanya diselesaikan besok, sehingga tidak ada dorongan untuk terburu-buru. Juga ada kata esperar, yang sekaligus berarti "menunggu", "mengharapkan", dan "menduga". Akibatnya, seorang yang menunggu bisa kecele karena sebetulnya ia sedang mengharapkan. Di pihak lain, survei majalah Psychology Today terhadap perspektif waktu melibatkan 11.892 responden, yangsebagian besar dari 50 negara bagian AS. Sisanya, masing-masing lima persen, datang dari Kanada, Meksiko, Puerto Rico, Kepulauan Virgin, empat negeri Eropa, dan Arab Saudi. Tenggang usla responden berkisar antara 8 dan 93 tahun. Profesinya rupa-rupa: pendeta, penghuni penjara (satu di antaranya sedang menunggu eksekusi), Jutawan, atlet profesional, guru, sampai perwira pensiunan. Hasilnya, antara lain, 57% responden memilih "keseimbangan orientasi antara masa kini dan masa depan" 33% "berorientasi ke masa depan", dan 9% "berorientasi ke masa kini". Hanya 1% yang "berorientasi ke masa lalu". Motivasi kerja ke masa depan paling banyak terlihat pada kelompok manajer, atau golongan "kerah putih". Anehnya, penghum penlara, bersama mahasiswa, petani, dan militer, tampil sebagai kelompok yang paling tidak peka terhadap waktu. Kelompok guru dan dosen, ternyata, paling giat melakukan perencanaan harian untuk masa depan. Sementara itu, kelompok manajer profesional tampil sebagai yang tidak terlalu berkutat dengan masalah hari ini. Mereka, konon, lebih banyak memandang ke masa depan. Kepekaan orang Indonesia terhadap waktu agak kurang. "Di Indonesia, memang belum pernah ada penelitian tentang jam karet," ujar Singgih Gunarsa, guru besar Fakultas Psikologi UI, kepada harian Jawa Pos. Tetapi, ia mengakui, "Ada kebiasaan hidup santai, yang akhirnya memasyarakat." Nada yang sama diungkapkan tokoh pendidikan Prof. Dr. Slamet Iman Santoso ketika berbicara di seminar Peningkatan Minat Baca di Universitas Dharma Agung, Medan, 8 Maret lalu. Bahkan, Slamet berbicara tentang "jiwa santai nasional", yang perlu diatasi dengan "tekad panjang berkesinambungan dalam mengejar ketinggalan di semua bidang". Singgih Gunarsa menyebut latar belakang hidup agraris sebagai alasan sikap santai itu. Namun, Levine melihat faktor lain, yang patut dipertimbangkan lebih serius. "Kami mengharapkan, riset di masa depan bisa menghubungkan budaya waktu ini dengan kondisi kesehatan," katanya. Khususnya dengan angka statistik penyakit lantUng, darah tinggi, alkohohsme, reumatik, kecenderungan pada perceraian dan bunuh diri - pendeknya kelainan jasmani dan rohani. Kalau ternyata kesantaian paralel dengan penyakitan, urusannya memang bisa jadi gawat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus