VONIS Pengadilan Tinggi Medan terhadap tersangka suami-istri pedagang ganja, Bachtiar dan Cut Mariana, yang masing-masing 10 tahun dan 15 tahun penjara, akhirnya dikukuhkan Mahkamah Agung. Hanya saja, keputusan peradilan tertinggi itu baru keluar Juni lalu, setelah lebih dan setahun para terhukum mengajukan permohonan kasasi. Akibatnya, kedua terhukum sudah terpaksa dilepaskan dari tahanan, sebelum vonis turun. Sebab, masa penahanannya, sesuai dengan KUHAP, telah habis. Celakanya, kedua orang itu menghilang setelah keluar dari tahanan, dan - sampai pekan lalu - kejaksaan belum menemukan mereka untuk melaksanakan hukuman mereka. Perkara Cut Mariana, 40, dan Bachtiar, 34, memang dari semula dibumbui proses hukum yang kontroversial. Pada Oktober 1983, Hakim E.M. Sinaga menghukum pengedar ganja itu - yang konon berkualifikasi pedagang narkotik internasional - dengan hukuman ringan: masing-masing cuma 10 bulan penjara. Di persidangan, suami-lstri itu terbukti memesan 161 kg ganja dari Aceh melalui seorang perantara, Aminuddin, yang belakangan dihukum di pengadilan yang sama dengan hukuman 10 tahun penjara. Anehnya, vonis ringan itu diterima saja oleh Jaksa Salbiah Tarigan, yang sebelumnya hanya menuntut 18 bulan penjara. Karena itu, kepala Kejaksaan Negeri Medan, Isban Burhanuddin, naik darah dan meralat sikap anak buahnya. Ia banding. Vonis Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dengan hakim Bismar Siregar, tidak kalah menariknya. Bismar mengatrol hukuman Cut dan Bachtiar menjadi masing-masing 15 tahun dan 10 tahun penjara. Dengan vonis itu, Bismar membuat sejarah baru peradilan banding: menaikkan hukuman lebih dari 10 kali lipat dari yang diputuskan peradilan bawahan. "Agar mereka menjadi jera," kata Bismar (TEMPO, 25 Februari 1984). Perkara pun menjadi urusan Mahkamah Agung karena terhukum naik kasasi, Februari 1984. Tapi entah kenapa putusan peradilan tertinggi itu tidak kunjung turun sampai akhir tahun. Padahal, dalam tahun itu, Mahkamah Agung telah tiga kali memperpanjang masa penahanan Cut dan Bachtiar masing-masing tertanggal 2 Februari, 25 Februari, dan 15 April. Akibatnya, wewenang Mahkamah Agung untuk menahan - sesuai dengan KUHAP: selama 110 hari - habis sudah. Dan 10 Agustus 1984, Ketua Mahkamah Agung Ali Said memerintahkan Cut dan Bachtiar dilepaskan dari tahanan. Dua bulan kemudian Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Negeri Medan melakukan pemeriksaan tambahan dalam perkara itu. Perintah yang ditanda-tangani ketua majelis hakim agung Raja Palti Siregar itu dimaksudkan untuk memperjelas pembuktian bahwa Cut dan Bachtiar merupakan anggota sindikat narkotik. Di persidangan pemeriksaan tambahan, yang berlangsung dari November 1984 sampai Januari 1985, bukti-bukti itu ditemukan. Saksi Mayor Fredy Mandey, wakil kepala Satserse Polda Sumatera Utara, mengungkapkan informasi yang diterimanya dari Polisi Diraja Malaysia bahwa suami-istri itu dicurigai terlibat perdagangan narkotik internasional. Seorang anak Cut, Mustafa, membenarkan pula bahwa ibunya pernah membeli 60 kg ganja, sebelum kasus terakhir. Berdasarkan bukti-bukti tambahan itu, Mahkamah Agung, Juni lalu, mengukuhkan putusan pengadilan banding. Tapi keputusan peradilan tertinggi itu ternyata membuat pusing penegak hukum di Medan. Sebab, sejak tiga bulan terakhir ini, kedua suami-istri itu "menghilang" dari Medan. Menurut sumber TEMPO, sejak dilepaskan dari tahanan, praktis kedua orang itu tidak diawasi lembaga mana pun. "Sekarang kami bingung mencarinya," ujar seorang pejabat tinggi di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Ketua Pengadilan Tinggi, Djazuli Bachar, menyayangkan KUHAP, yang tidak mengatur soal pengawasan tersangka di luar tahanan, seperti pada Cut dan Bachtiar. "Seharusnya, polisi mengambil inisiatif mengawasi kedua orang itu. Tapi, bila polisi tidak melakukan itu, mereka tidak pula bisa di salahkan karena KUHAP tidak menunjuk instansi yang bertanggung jawab untuk itu," ujar DJazuli. Kepala Humas Pengadilan Tinggi, Thamrin Bangsawan, sependapat mengenai hal itu. "Tapi, sebagai eksekutor, seharusnya jaksa bertanggung jawab. Jaksa 'kan tahu bahwa kasus Cut dan Bachtiar belum selesai. Seharusnya, instansi itu mewajibkan kedua suami-istri itu melapor secara berkala di kejaksaan," ujar Thamrin. Tapi mungkin pula kejaksaan tidak bersalah. KUHAP pun tidak mengatur hal itu karena boleh diperkirakan bahwa Mahkamah Agung bisa menyelesaikan perkara kasasi dalam waktu 110 hari. Soalnya kini: Kenapa perkara itu tidak kunjung selesai sampai batas waktu penahanan Mahkamah Agung habis? Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung, Adi Andojo Soetjipto, tentu membantah keras bila instansinya dituduh melalaikan perkara itu. "Tidak mungkin Mahkamah Agung mengulur-ulur waktu dalam menyelesaikan kasus itu," kata Adi Andojo. Bahkan, menurut Adi Andojo, perkara itu termasuk yang diprioritaskan karena terdakwanya di dalam tahanan dan perkaranya narkotik. Hanya saja, tambah Adi Andojo, peradilan tertinggi itu menginginkan pemeriksaan perkara itu selengkap-lengkapnya, sehungga memakan waktu lama. "Sebab, putusan pengadilan negeri dan banding sebelumnya kurang lengkap. Karena itu, diperlukan pemeriksaan tambahan," katanya. Keputusan Mahkamah Agung, kata Adi Andojo lagi, tidak bisa dijatuhkan sembarangan. "Majelis harus teliti, cermat, dan tepat dalam menghukum seseorang," tambahnya. Saling menyalahkan antar instansi agaknya akan selesai bila dalam waktu dekat Cut dan Bachtiar menyerahkan diri untuk melaksanakan hukumannya. Harapan untuk itu bukannya tak ada. Pengacara mereka, Syahriar Sandan, mengaku sudah dihubungi kliennya itu. "Mudah-mudahan saja, mereka beritikad baik, sehingga mau datang bersama saya ke pengadilan. Kami akan memohon grasi," ujar Syahriar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini