Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Ke DPR, giliran petinju

Petinju rudy siregar, sperling pangaribuan & rocky joe mengadu ke dpr, atas pencabutan lisensi promotor tommy djorghi oleh komisi tinju indonesia (kti).

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETANI, buruh, pilot, mahasiswa dan jenderal purnawirawan sudah pernah mengadu atau menyampaikan petisi pada DPR. Tampaknya petinju tak mau ketinggalan. Pekan lalu Kudy Siregar, Sperling Pangaribuan dan Rocky Joe--ketiganya petinju bayaran yang tenar--menjumpai Ketua Komisi IX DPR, Djamal Ali, yang dengan sabar mendengarkan keluhan mereka. Sekali ini menyangkut kebijaksanaan Komisi Tinju Indonesia (KTI) yang telah mencabut lisensi promotor Tommy Djorghi Pencabutan itu suatu "pertanda suram bagi kehidupan kami," kata Sperling. KTI rupanya berang sekali terhadap Tommy karena sang promotor telah mengritik organisasi itu. Persoalannya tak jelas. Tapi Direktur B.B. Boxing 'orporation, Boy Bolang, menjelaskan bahwa semua itu berpangkal pada sikap KTI yang suka bertele-tele dalam memberikan izin pertandingan dan adanya permainan uang komisi di kalangan peng urus. Hal itu dibanta oleh Ketua Komisi Teknik KTI, Leon Johannes. Promotor Tommy sangat diharapkan oleh kalangan petinju untuk menggalakkan kembali pertandingan profesional yang pernah mandek selama tiga tahun. Karena lisensinya dicabut, suatu pertandingan yang direncanakan 12 Juli terpaksa ditunda. Antara lain akan bertarung Thomas Americo (Indonesia) dan Sagmo Koo (Korea Selatan) dalam perbuatan gelar Orient Pacific Boxing Federation (OPBI). Kebetulan Imron Malik, putra Wakil Presiden Adam Malik, akan menjadi sponsotnya. KTI cenderung akan memilih promotor lain, yaitu Setijadi Laksono (Surabaya) dan Sriyanto (Malang) untuk pertarungan itu yang kemudian direncanakan awal Agustus. Tapi Soegiyono yang menjadi manajer Thomas "masih menanti kami sebagai promotornya," ujar Tommy. Frustrasi Siapakah Tommy ? Ia adalah putra jutawan M. Djorghi, pemilik belasan perusahaan yang berkantor di Speed Building Jalan Gajah Mada, Jakarta. Kini berusia 37 tahun, Tommy pernah menjadi petinju kelas berat Sasana New Waringin, dan jadi promotor sejak 1977. Bersama Boy Bolang, juga bekas petinju, Tommy mendirikan BBBC pada awal tahun ini. Sudah tiga pertandingan domestik dan internasional mereka selenggarakan. Ada sekali pembatalan (28 Juni) karena, kata Boy "izin baru kami peroleh tiga hari sebeium pertandingan. Bagaimana mungkin kami bisa menjual karcis." Menurut Tommy, dari tiga pertandingan terdahulu BBBC belum memetik untung sepeser pun. "Sementara KTI sudah mengantungi Rp « juta," sela Boy. Angka yang diperoleh KTI itu adalah hasil komisi yang ditetapkan 2« %. Rudy mengharapkan untuk saat sekarang komisi itu tidak usah dipungut KTI mengingat publik tinju bayaran masih langka, dan selama ini belum ada promotor yang untung. Setijadi, Manajer Sasana Sawungaling (Surabaya), menerangkan KTI membuat orang lesu untuk menjadi promotor. Akibatnya memang menimbulkan frustrasi bagi petinju. "Selama delapan tahun hasil KTI itu cuma nol," kata Setijadi. "Membuat ranking saja pun tak bisa." Lewat BBBC nasib petinju telah dikatrol naik. Rocky, kampiun nasional, selama ini hanya mengantungi jumlah di bawah Rp 250.000, tapi sekarang sudah ditawari imbalan Rp 1 juta. Thomas, yang kelahiran Timor Timur, dari Sasana Gajahyana, Malang, ditawari lebih besar lagi. Dalam melawan Sangmo Koo, ia akan memperoleh Rp 6 juta--penawaran tertinggi dalam sejarah tinju prof Indonesia. "Tujuan kami mendirikan BB Boxing Corporation memang untuk menaikkan tingkat hidup petinju prof kita," ungkap Tommy. Pontas Simanjuntak, manajer petinju Piet Gommies, mengatakan pencabutan lisensi Tommy akan bis mematikan kegiatan tinju bayaran di Indonesia. "Saya dulu mengundurkan diri gara-gara tak ada pertandingan," katanya. Para petinju tidak bersemangat lagi, setelah pencabutan lisensi promotor itu. "Habis tak ada harapan untuk bertanding lagi," kata Sperling kepada Ketua Komisi IX DPR. "Jika masalah ini tidak teratasi, jangan harap petinju Indonesia bisa berbicara di tingkat OPBIK" Satu-satunya atlet Indonesia yang pernah memegang mahkota OPBF adalah Wonesosuseno, lima tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus