DARI enam tim luar negeri yang ikut turnamen Piala Kemerdekaan I, tim RRC mula-mula dianggap istimewa. Dan sempat disebut bakal meramaikan Stadion Utama Senayan. Maklum, tim dari negeri berpenduduk sekitar 1 milyar jiwa ini sudah 20 tahun lebih tak datang ke Jakarta. Terakhir mereka main di sini, ketika berlangsung Ganefo, pada 1963. Waktu itu, mereka bermain seri 1-1 lawan PSSI. Lebih dari itu, tim ini pulalah yang sebelumnya disebut-sebut, antara lain oleh sekretaris umum PSSI Nugraha Besoes, "akan datang dengan tim nasional mereka". Sehingga pada mulanya orang membayangkan, turnamen kali lni benar-benar akan diikuti kesebelasan-kesebelasan tangguh. Tim nasional RRC itu misalnya, dalam dua tahun terakhir ini, sudah sering disorot karena prestasi mereka di Asia cukup baik. Antara lain, dengan berhasil muncul sebagai runner-up Kejuaraan Piala Asia ke-8 di Singapura, Desember tahun lalu. Dimotori oleh kapten kesebelasan zhuo Shusheng, ketika itu tim ini berhasil antara lain menyisihkan tim kuat Kuwait, juara Piala Asia tahun sebelumnya, 1-0. Dan bahkan lewat pemain-pemain Jia Xiuguan full-back -yang dianugerahi hadiah Sepatu Emas waktu itu, karena terpilih sebagai pemain terbaik - dan penyerang andalan Zhao Dayu dan Gu Guang-ming, tim ini diramalkan akan menjadi salah satu tim terkuat di Asia di waktu mendatang ini. Memang, pamor ini sempat pudar sebentar ketika Tim Piala Dunia mereka tersisih, karena kalah 1-2 melawan Hong Kong, lewat pertandingan yang berakhir dengan keributan. Banyak yang menduga, kesebelasan RRC akan datang dengan tim Nomor Satu pada pertandingan perdana mereka di Jakarta. Ini karena kedatangan mereka terjadi pada saat menghangatnya usaha perbaikan hubungan dagang di antara para pengusaha kedua negara. Tapi, harapan ltu ternyata tak terpenuhi. Sebab, belakangan terbukti, RRC pun, sama dengan lima tim tamu lainnya, hanya mengirim tim kelas dua. Yaitu, Tianjin Sea Eagle Club, sebuah klub milik perusahaan jam Sea Eagle di Kota Tianjin, yang berjarak sekitar 120 km sebelah tenggara Beijing. Memang, tim dari klub yang sudah berdiri sejak 1952 di Provinsi Hebei ini - dan seluruh pemainnya adalah karyawan pabrik jam - punya reputasi lumayan di negeri mereka. Yakni, pernah menjuarai kompensl naslonal 1980, dan juara ketiga dan kedua kompetisi nasional 1983 dan 1984. Dua di antaranya yang dibawa ke Jakarta merupakan pemain nasional. Namun, mereka memang bukan tim paling kuat. Bahkan, menurut Manajer Tim Zhao Peizhuo, tim ini hanya salah satu dari enam tim terkuat di RRC. Tahun lalu, misalnya, mereka masih setingkat di bawah Beijing, dalam kompetisi nasional. Di RRC sendiri setiap tahun, dilaksanakan kompetisi nasional yang diikuti oleh 27 tim dari tiga divisi yang ada: Divisi I dan II serta yunior. Ada 17 tim dari divisi satu, empat tim terbaik dari divisi II dan tiga dari tim yunior. Dari kejuaraan inilah, biasanya, Persatuan Sepak Bola RRC memilih pemain untuk kemudian dilatih jadi pemain nasional. Hampir sama dengan di Indonesia, pembinaan berjenjang seperti itu berlangsung setiap tahun. Sampai kini tercatat enam tim terkuat, di antaranya Guangdong, Shanghai, Beijing, Kwangtung, dan Liaoning, yang setiap tahun "menyumbangkan" pemain mereka untuk tim nasional. Kenapa RRC tak mengirim tim terkuat ke turnamen Piala Kemerdekaan? "Saya tak tahu. Kami datang karena diutus Persatuan Sepak Bola Cina," kata Zhao, lewat penerjemah. Datang dengan rombongan 21 orang - 16 pemain, dua pelatih dan masing-masing seorang: manajer, dokter, dan penerjemah - tim ini mencolok terutama dengan fisik pemain yang rata-rata tinggi kekar. Paling rendah pemain mereka tingginya 175 cm dan paling tinggi 193 cm.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini