"YANG paling menyakitkan hati saya adalah mengisi data pribadi siswa pada setiap awal tahun ajaran di SMP. Yang harus diisi adalah kolom 'anak keberapa', serta 'jumlah saudara kandung dan tiri.' Mengapa tidak? Saya anak ketujuh dari 20 orang bersaudara (kandung dan tiri)." Dan karena itu Mukad Berta, 18, remaja Tanah Alas, Aceh Tenggara, terjun ke lapangan guna mencari jawab: mengapa kebanyakan laki-laki Tanah Alas berpoligami. Bersama tiga temannya, ia mengadakan kajian perpustakaan, wawancara, dan observasi pada Desember 1984 dan Januari 1985 - ketika itu mereka masih kelas II SMP Negeri di Kutacane, ibu kota Kabupaten Aceh Tenggara. Penelitian yang kemudian mereka tulis jadi karya ilmiah itulah yang mereka sertakan pada Lomba Penelitian llmiah Remaja ke-9 ini. Dan karya itu masuk final. Bahkan oleh beberapa juri, tulisan dari kota kecil jauh di barat Indonesia ini dinilai "orisinil dan cara mengemukakan masalahnya cukup jelas" - kata Andi Hakim Nasution, rektor IPB, sebagai ketua dewan juri. Mukad, yang datang ke Jakarta mewakili teman-temannya, Jumat pekan lalu diuji di hadapan juri. Dengan seragam putih-putih, rambut tak begitu rapi, ia mantap menjawab semua pertanyaan. "Saya tak suka melihat wanita bekerja keras sementara laki-laki cuma menganggur, apalagi laki-laki itu punya banyak istri," jawab Mukad atas pertanvaan Astrid S. Susanto anggota dewan juri, tentang latar belakang penelitiannya. Dan yang menambah keingintahuan para remaja itu, selama ini masyarakat poligami Tanah Alas tampak rukun-rukun saja. Meski keempat peneliti muda ini datang dari lingkungan yang mereka teliti itu sendiri - semuanya punya tiga orang ibu tiri - tak berarti penelitian berjalan mulus. "Para orang tua menganggap kami masih terlalu muda, dan bagi mereka mengungkapkan soal perkawinan itu tabu," tutur Mukad pula. Dengan membatasi lingkup penelitian hanya di Kecamatan Badar yang dihuni 829 keluarga atau sekitar 16.400 jiwa, ditemukanlah 112 lelaki yang berpoligami punya istri dua, tiga, dan empat. Di seluruh Tanah Alas sendiri menurut sensus penduduk 1982, ada sekitar 45.600 orang suku Alas. Yang menarik, siswa-siswa SMP ini berhasil menyusun jenis pekerjaan di sawah, kebun, dan rumah. Ternyata, hanya 5 dari 24 jenis pekerjaan yang ditangani lelaki. Misalnya, jaga sawah di malam hari, menggerek padi, menebang pohon. Selebihnya pekerjaan yang berat berat - antara lain mencangkul sawah, melumatkan tanah, menanam padi, menyiangi rumput - dikerjakan oleh perempuan. Apalagi di pasar, boleh dikata hanya perempuanlah yang bekerja. Dari kenyatan yang diperoleh lewat wawancara dan observasi, Mukad dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa poligami di Tanah Alas adalah inisiatif para istri tua. Sebanyak 43 dari 67 lelaki yang diwawancarai mengaku berpoligami karena disuruh istri mereka. Adapun sebabnya, disimpulkan oleh para remaja itu, para istri capek bila harus sekaligus mengurus suami dan anak-anak, dan mencari nafkah. Beban mencari nafkah, kemudian, bisa dipindahkan kepada istri muda. Dan mengapa jabatan istri muda menarik bagi perempuan Tanah Alas adalah karena mahar yang besar. Dari 57 istri kedua, ketiga, dan keempat yang diwawancarai, 41 menyatakan mereka bersedia dimadu karena emas kawin yang besar. Sayang, penelitian yang orisinil ini banyak lubangnya, kata Kartono Mohamad, anggota juri. "Penghitungan data tak dipersentasekan, misalnya." Akibatnya, tak langsung bisa diketahui dari data itu apakah memang jumlah Iclaki yang berpoligami cukup besar. Tapi Mukad, yang bcrcita-cita masuk tentara ini, puas. Setidaknya, karya yang dengan susah payah disusunnya dengan tulisan tangan yang cukup rapi itu - karena di SMP-nya mesin tulis pun belum ada - telah memberikan kesempatan padanya menengok Jakarta. Pengalaman pertama di Ibu Kota: dompetnya berisi Rp 32.000 lenyap. Di Medan, Megah B. Mansoer, 18, kelas II IPS SMAN I, meneliti sosialisasi anak-anak panti asuhan. Megah, anak pertama seorang pegawai PLN Medan, jatuh iba melihat penampilan anak-anak panti asuhan "yang rendah diri dan tertutup", katanya. Dari tiga panti asuhan (di Medan ada 10 panti asuhan yang dibawahkan oleh Kanwil Depsos), Megah, yang dengan tenang menjawab semua pertanyaan juri, menyimpulkan bahwa masalah utamanya adalah kurangnya komunikasi antara pengasuh dan anak asuh. "Modal rasa sosial yang tinggi belum disertai keahlian khusus menangani anak panti asuhan," kata Megah. Dibandingkan penelitian Mukad dan kawan-kawan, punya Megah lebih sistematis tapi kurang kena. Menurut Kartono Mohamad, daftar pertanyaan untuk pengasuh kurang lengkap. Tak ada pertanyaan yang mengusut motivasi dan latar belakang keluarga pengasuh. Bagaimanapun mutu karya ilmu pengetahuan bidang sosial peserta lomba kali ini meningkat. Baik dari segi penulisannya maupun penelitiannya. Juga pemilihan topik. Cuma "penarikan kesimpulan masih tergesa-gesa, belum dipertimbangkan dari segala segi," begitu kesan Kartono Mohamad, yang sehari-harinya pemimpin redaksi majalah Medika ini. Tampaknya diharapkan peranan guru atau siapa saja yang membimbing para remaja ini. Soalnya, memang yang sosial lebih majemuk ketimbang penelitian matematika, misalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini