Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Lari Dari Kemiskinan

Atlet Ethiopia cemerlang di lintasan lari jarak jauh kejuaraan dunia. Pelari Kenya justru terpuruk.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kakak beradik itu sama-sama dua kali naik podium Kejuaraan Dunia Atletik di Helsinki, Finlandia, yang berakhir pada pertengahan Agustus lalu. Di nomor lari 5.000 meter dan 10.000 meter keduanya meraih medali yang sama. Tirunesh Dibaba, 19 tahun, merebut emas, adapun sang kakak, Ejagayehu Dibaba, 23 tahun, merebut perunggu.

”Ini menggembirakan. Kami sangat dekat, berlatih dan melakukan segalanya bersama. Kami tak pernah terpisahkan. Jadi sangat menyenangkan bisa dua kali sama-sama naik podium,” kata Tirunesh setelah menang dalam pacuan 5.000 meter, Ahad dua minggu lalu.

Di ajang dunia itu, Tirunesh memang tampil gemilang. Dua tahun sebelumnya ia menahbiskan diri sebagai juara dunia termuda di nomor 5.000 meter. Kali ini dia kembali mencetak sejarah sebagai wanita pertama yang meraih medali emas di dua nomor bergengsi: 5.000 meter dan 10.000 meter di kejuaraan dunia. ”Saya bahagia. Saya juga bangga untuk Ethiopia,” kata Tirunesh. Sebelumnya hanya atlet putra asal Ethiopia, Miruts Yifter, yang pernah mencapai prestasi gemilang seperti itu dalam Olimpiade 1980 di Moskow.

Ethiopia, negeri yang terus dilanda bencana kelaparan, memang mendulang sukses besar di kejuaraan dunia atletik kali ini. Mereka tampil perkasa dan mendominasi nomor lari 5.000 dan 10.000 meter. Semua medali di kedua nomor itu dapat direbut. Tempat keempat pun ada di tangan mereka. Selain dua bersaudara Dibaba yang meraih emas dan perunggu nomor ini, perak 5.000 meter diraih Meseret Defar, sedangkan perak 10.000 meter diraih Berhane Adere.

Di bagian putra, Kenenisa Bekele, 23 tahun, yang baru ditinggal mati pacarnya, berhasil meraih medali emas nomor 10.000 meter. Sileshi Sihine meraih perak di nomor 10.000 meter dan 5.000 meter. Akhirnya kontingen Etiopia mengumpulkan 3 medali emas, 4 perak, 2 dua perunggu. Mereka menempati urutan ketiga di bawah Amerika (14 emas, 8 perak, 3 perunggu) dan Rusia (7 emas, 8 perak, 5 perunggu).

Para peraih medali ini, Selasa pekan lalu, dielu-elukan bak pahlawan oleh ribuan orang saat kembali ke Addis Ababa, Ethiopia. ”Sangat menggembirakan kami bisa berada di urutan puncak peraih medali bersama dua negara maju,” kata Menteri Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan Ethiopia, Teshome Toga.

Ethiopia, bersama Kenya, selama ini dikenal sebagai penguasa lintasan lari jarak jauh. Namun di kejuaraan kali ini Kenya tampil buruk. Mereka hanya berada di urutan ke-10 dengan perolehan 1 emas, 2 perak, dan 4 perunggu. Emas untuk Kenya dipersembahkan Benjamin Limo dari nomor lari 5.000 meter. Begitu mengecewakannya prestasi Kenya, sehingga trio pelatih Dan Muchoki, John Chelimo, serta Peter Madhu langsung dipecat.

Di lintasan lari jarak jauh, Ethiopia sudah memiliki tradisi yang panjang. Dalam Olimpiade Roma 1960, atlet negara itu, Abebe Bikila, dengan kaki telanjang, berhasil menjuarai nomor maraton. Kenya mulai muncul sebagai pesaing pada 1988 ketika Ibrahim Hussein menjadi juara Maraton Boston, Amerika. Sejak itu kedua negara berpacu untuk mendominasi lintasan lari jarak jauh.

Sejauh ini Ethiopia masih unggul. Dalam perebutan 72 medali nomor 5.000 meter, 10.000 meter, dan maraton di berbagai kejuaraan sejak 2000, Ethiopia telah menyabet 30 medali, sedangkan Kenya cuma mengumpulkan 13 medali. Di ajang crosscountry, dari 12 medali yang diperebutkan sejak 2000, keduanya sama-sama meraih dua medali.

Kehebatan Ethiopia dan Kenya di lintasan lari jarak jauh ditunjang berbagai hal. Kedua negara memiliki stok pelari berbakat yang melimpah. Bakat-bakat itu terasah oleh kondisi geografis: kedua negara yang terletak 2.000 meter di atas permukaan laut menjadi tempat sempurna untuk berlatih. ”Pelari akan mendapat manfaat signifikan dengan berlatih di ketinggian,” kata Mark Wetmore, Presiden Global Athletics & Marketing Inc., yang banyak mewakili atlet asal Afrika.

Keseharian juga menempa atlet kedua negara. ”Bagi mereka, berlari adalah bagian dari hidup sehari-hari. Anak-anak umumnya harus menempuh puluhan kilometer untuk bersekolah,” kata Mark, yang berasal dari Kenya.

Mark benar. Dua bersaudara Dibaba, misalnya, saat masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kampung halamannya, Arsii Ethiopia, harus berjalan sekitar 10 kilometer untuk sampai ke sekolah. Demikian juga rekan senegaranya, Kenenisa Bekele. Ia bahkan kadang berlari belasan kilometer untuk menuju sekolahnya.

Di kedua negara ini, berlari juga dianggap obat mujarab untuk mengatasi kemiskinan. ”Lari bagi mereka bukan semata olahraga, tapi sebagai jalan untuk meraih kehidupan lebih baik,” kata Mark. Kemiskinan hingga kini masih melilit kedua negara. Kelaparan selalu menghantui Ethiopia, sedangkan Kenya didera pengangguran yang mengerikan.

Atletik memang menjanjikan uang melimpah. Tirunesh Dibaba, misalnya, dengan dua medali emas kejuaraan dunia, berhasil membawa pulang hadiah US$ 120 ribu (sekitar Rp 1,1 miliar).

Padahal, sepanjang 2005 ia sudah meraih tak kurang dari US$ 100 ribu dari berbagai kejuaraan lain. Tak mengherankan bila ia dan kakaknya berhasil membelikan rumah megah untuk orang tuanya. Untuk diri sendiri mereka membeli rumah di Addis Ababa, ibu kota Ethiopia.

Jalan bagi para atlet di kedua negara untuk meretas karier di bidang atletik juga terbuka lebar. Klub atletik dengan mudah ditemukan di kota besar kedua negara. Berbagai kejuaraan, termasuk untuk usia belia, juga tersedia.

Di Ethiopia, misalnya, sejak 2001 digelar ajang lomba maraton akbar Ethiopia Great Runner, yang diminati jago lari dari seluruh penjuru dunia. Panitia ajang yang sama juga menggelar kejuaraan untuk pelari belia. Federasi atletik kedua negara juga tak sungkan mengirim atletnya yang potensial untuk bertanding ke luar negeri.

Tapi jangan bayangkan mereka berlatih dengan peralatan dan teknologi canggih. Pengamat atletik asal Amerika, Toni Reavis, melihat teknologi tak banyak dipakai pelari kedua negara. ”Mereka bahkan tak pernah melakukan uji treadmill. Mereka hanya berlari dan berkeyakinan, bila berlatih lebih keras, mereka akan bisa berlari lebih cepat. Sesederhana itu,” kata komentator televisi ini.

Yang membedakan kedua negara hanya pendekatan dalam pembinaan. Ethiopia memiliki pola tersentral, sedangkan Kenya tidak. Atlet nasional Kenya umumnya lebih banyak berlatih di kamp di pinggiran kota, sedangkan atlet Ethiopia berkumpul di pemusatan latihan di ibu kota.

Di Kenya atlet juga banyak diwakili agen asal Eropa dan Amerika. Hal ini sering menimbulkan pergesekan dengan federasi atletik soal keikutsertaan atlet di tim nasional. ”Banyak atlet yang kerap menolak memperkuat tim nasional,” ujar Reavis.

Korupsi dan sentimen pribadi pun kerap mewarnai kinerja Federasi Atletik Kenya. Akibatnya, para atlet tak lagi mempercayai pengurus. Atlet merasa kurang dihargai secara finansial sehingga mereka belakangan banyak yang memilih pindah kewarganegaraan demi mencari uang lebih.

Peraih medali emas lari halang rintang 3.000 meter kejuaraan dunia Helsinki asal Qatar, Saif Saaeed Shaheed, contohnya, adalah atlet yang lahir di Kenya. Dalam dua tahun terakhir tak kurang dari 40 atlet Kenya memilih pindah ke negara lain, terutama negara Arab Teluk. Di Helsinki ada 15 atlet Kenya yang tampil mewakili negara lain, enam di antaranya mewakili Bahrain.

Kendati terpuruk di kejuaraan dunia, Kenya belum mengaku kalah. Dan persaingan belum akan berakhir. Kenya kini berusaha bangkit dengan mengganti pelatih. Adapun atlet Ethiopia yang sudah mencorong kini juga tak sabar untuk mencetak prestasi lebih tinggi.

Tirunesh Dibaba, misalnya, setelah merajai nomor 5.000 meter dan 10.000 meter, kini berambisi memecahkan rekor dunia lari nomor 5.000 meter yang sejak tahun lalu dipegang atlet Turki Elvan Abeylegesse. ”Saya juga ingin menjadi pelari Ethopia tersukses di Olimpiade. Saya yakin masih bisa tampil dalam lima olimpiade,” katanya penuh semangat. Nurdin Saleh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus