Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Padepokan Bagong setelah Bagong

Tari Sanggit karya Bagong dimainkan di Jakarta. Tanda dimulainya pembenahan Padepokan setelah ditinggalkan Bagong.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana di kompleks Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo di Desa Kembaran, Kelurahan Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogya—setelah pementasan Sanggit di Jakarta—siang itu terlihat sepi. Tak ada suara gamelan atau aktivitas para cantrik yang sedang berlatih tari. Suasana betul-betul lengang. Yang terlihat- hanya hilir-mudik beberapa -tukang bangunan yang sedang merenovasi Padepokan.

Di kantor Padepokan, beberapa orang tampak sedang mengerjakan urusan admi-nistrasi. ”Kami memang sedang cooling down. Saat ini di Padepokan me-mang sedang tidak ada aktivitas. Juga tak ada cantrik yang sedang me-nimba ilmu tari di sini,” kata Heru Kesawa Murti, teaterawan, penulis naskah Teater- Gandrik, yang juga salah se-orang keponakan Bagong. Sepeninggal Bagong Kussudiardjo, Padepokan di atas tanah 4.000 meter persegi di tepi Kali Kontheng itu memang terlihat ”kurang hidup”.

Pintu kantor lama dan galeri le-bih ba-nyak tertutup rapat. Demikian ju-ga ba-ngunan studio pribadi Bagong, ku-sam, hampir tak pernah dibuka pintu-nya. Di sebelah kiri studio Bagong, ba-ngunan Teater Arena juga tampak le-ngang. Sa-tu mobil kuno kotor berdebu diparkir di depan pintu masuk bekas studio.

Padepokan Bagong kini memang sedang berbenah, menyusul berdirinya Yayasan Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo yang dikomandani kedua putranya, Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto. Yayasan ini nantinya akan memayungi semua aktivitas Padepok-an. Kua Etnika—kelompok musik Dja-duk yang selama ini studionya terpisah, di kawasan Kersan, Bantul, akan bergabung ke sana.

Di kompleks Padepokan, tampak sedang didirikan sebuah bangunan a-nya-r yang rencananya dijadikan studio re-kaman. Pembangunan yang menelan ang-garan sekitar Rp 400 juta itu hampir rampung. Di studio rekaman inilah nantinya semua proses rekaman untuk kebutuhan koreografi Padepokan maupun untuk kebutuhan musik Kua -Etnika—dan grup Djaduk lainnya seperti Orkes Keroncong Sinten Remen dan Orkes Melayu Banter Banget—akan di-kerjakan.

”Unjuk gigi” pertama—pembenahan adalah untuk memperingati 423 hari wafatnya Bagong—mereka mementas-kan ulang karya Bagong, Sanggit, di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta. Di-su-tradari koreografer senior Padepok-an, Sutopo Tedjo Baskoro, musik di-ta-ta Djaduk. Dua putra almarhum koreo-grafer Ida Manutranggana, putri Bagong yang meninggal pada 2005, juga ikut menari.

Adegan awal menggebrak. Lampu sorot dari samping kiri dan kanan membentuk sebuah garis cahaya horizontal. Lalu dua orang bertopeng memegang tong-kat, perlahan bertemu. Serentak dengan mereka menggertakkan tongkat ke lantai, musik gamelan dimulai.

Para pemain mengenakan bawahan kain batik tulis kuning buatan warga desa di Bantul—yang pembuatannya tidak menggunakan pewarna sogan yang mahal, tetapi dicelupkan ke teh. Sering dikatakan bahwa karya Bagong tidak diikat oleh tradisi tetapi juga tidak pernah memberontak tradisi. Malam itu Sanggit mencerminkan itu, penuh dengan elemen baris rapi, gerak gagahan gaya Yogya—tapi luwes—dengan bloking-bloking modern. Sanggit garapan ulang itu ditambah adegan dialog panjang antara Bagong, Togog, dan Pikulun.

”Dimainkan oleh tiga anggota Tea-ter Gandrik,” kata Butet, yaitu Butet sen-diri, Whani Dharmawan, dan Susilo Nugroho. Ketiganya aktor tangguh. Tambahan itu seolah menjadi sebuah tontonan dalam tontonan. Penuh de-ngan lelucon segar khas, termasuk sindirin internal—meski terlalu berkepanjang-an. -Terasa ade-gan itu disengaja sebagai da-ya tarik pa-sar, untuk memperluas penonton per-tunjukan tari. Pengala-man Butet me-nunjukkan, de-ngan gaya demikian, monolog-monolognya dan ju-ga pentas Gandrik di Jakarta pasti -padat penonton. Akankah menggabungkan tari de-ngan unsur dialog penuh humor dan kritik sosial demikian menjadi resep bagi pertunjukan tari dari Padepokan itu seterusnya?

l l l

PADA zaman Bagong, pembiayaan Padepokan lebih banyak disokong uang tanggapan dalam acara-acara besar pe-merintah. Dulu, Padepokan banyak terlibat acara yang disponsori institusi militer ataupun Direktorat Jende-ral Kebudayaan Departemen P dan K. Mereka yang sinis sampai menyebut Padepokan berdenyut dari karya-karya ”pesanan”.

Pada masa mendatang, menurut He-ru Kesawa, Padepokan harus mencari dana dengan cara lain untuk membia-yai roda kegiatannya. ”Setelah Romo Gong tidak ada lagi, kami harus menggali sendiri sumber-sumber dana ba-ru untuk menopang roda kegiatan Pa-de-pokan,” ka-ta-nya. Apalagi seluru-h kompleks akan direnovasi, termasuk- memermak Teater Arena. Nantinya bangunan ini akan dimanfaatkan untuk tempat pertunjukan film indie maupun pertunjukan kesenian kontem-porer. ”Selama ini pemutaran film indie lebih banyak dilakukan di kampus,” kata Heru Kesawa Murti. Di belakang studio rekaman, tepat di pinggir Kali Kontheng, juga akan dibangun sebuah kafe yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat maupun seniman untuk sekadar nongkrong.

Renovasi seluruh kompleks Pa-depok-an diperkirakan menelan anggaran Rp 2,6 miliar. Pengelola- ya-yasan harus kreatif mencari pe-nyan-dang dana. Padepokan tetap akan menerima cantrik un-tuk tinggal di Padepokan dalam jangka wak-tu tertentu untuk belajar tari. Hanya, ke depan, program seperti itu akan dibagi menjadi empat ver-si. Pertama, program Liburan Lebih Nyeni, yakni program wisata pen-di-dik-an untuk pelajar. Kedua, prog-ram reguler, yakni program latihan tari selama empat hari. Ketiga, program les privat tari. Keempat, program pen-didikan berjenjang selama tiga bulan.

Gedung galeri yang sudah ada juga akan direnovasi menjadi museum. Museum ini akan menyimpan karya -lukis, barang pribadi, dan buku koleksi- Bagong. ”Nantinya masyarakat bisa meng-akses museum ini untuk berbagai kepentingan,” kata Heru.

”Jonggring saloka harus tetap tegak ka-kinya…,” suara sang dalang terde-ngar dalam Sanggit. Seolah-olah mengisyaratkan, bagaimanapun, Padepok-an harus tetap berdiri. Mengikuti arus za-man. -Sedikit komersial tak apa-apa....

Heru Nugroho, Seno Joko Suyono, L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus