Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANTUNAN lagu Ulang Tahun ciptaan kelompok musik rock Jamrud itu masih mengalun rancak. Ratusan warga Desa Kalibuntu, Kraksaan, Probolinggo, terpancing menggoyangkan badannya. Maklum, lagu yang aslinya melodius itu sudah dikemas dalam irama dangdut oleh Orkes Melayu Dewata. Tak ada yang menyangka bahwa lagu ini seperti ”undangan” bagi serombongan tentara untuk menyerbu arena dangdut yang meriah, Senin malam pekan lalu itu.
Saat itu dua penyanyi tengah asyik mendesahkan suaranya di atas panggung. Tiba-tiba muncul ratusan pemuda dari arah selatan, melurug bagai air bah. Tanpa banyak cingcong, orang-orang berbadan tegap dan berambut cepak itu menghajar siapa saja yang ditemui. Tinju melayang, tendangan menyambar-nyambar. Sangkur, pisau komando, celurit, linggis, ruyung, hingga bambu runcing yang mereka bawa ikut bicara. Tak peduli pria-wanita, orang dewasa atau remaja, semua jatuh berhumbalangan menjadi korban.
”Malam itu kampung kami serasa mau kiamat. Orang-orang dihajar seenaknya. Mereka buas,” ujar Salimin Sholeh, 40 tahun, warga setempat. Beruntung, Salimin berhasil menyelamatkan diri pada malam jahanam itu. Tetapi ia gemetar menyaksikan aksi gerombolan tersebut. Ada pria yang kepalanya dibentur-benturkan ke dinding rumah. Kini, warga sengaja membiarkan bekas darahnya mengering di tembok. ”Biar bisa jadi bukti jika ada petugas PM (Polisi Militer) mencari keterangan,” kata Salimin.
Aksi brutal itu tentu tak disangka oleh siapa saja. Juga oleh Haji Bakri, yang menggelar hiburan itu untuk merayakan pernikahan anaknya, Rahmawati, 17 tahun, dengan Muhamad Bakir, 20 tahun. Alih-alih ingin berbagi kebahagiaan, nahaslah yang didapat. Panggung dangdut yang dibangun dekat tempat pelelangan ikan itu porak-poranda. Piring, gelas, kursi, meja, dan semua makanan diobrak-abrik. ”Saya rugi Rp 10 juta lebih,” keluhnya.
Siapa gerangan pelaku penyerbuan membabi-buta itu? Sumber Tempo di lingkungan keamanan memastikan pelakunya adalah 137 prajurit Batalion Infanteri 527/Baladibya Yodha, yang bermarkas di Kabupaten Lumajang. Kebanyakan anggota penyerbu ini baru berpangkat prajurit satu dan dua. Hanya satu yang berpangkat sersan.
Mereka menggasak warga Kalibuntu untuk melampiaskan dendam. Sebelumnya, tiga rekan mereka menjadi korban penganiayaan pada Sabtu malam. Penganiayaan terjadi di arena dangdut Desa Semampir, yang berjarak lima kilometer dari Kalibuntu.
Laiknya tentara, ”penyerbuan Kalibuntu” dilakukan dengan strategi matang. Menurut warga, penyerangan dilakukan dalam tiga gelombang berturut-turut. Aksi dimulai dari arah selatan. Targetnya membuat kocar-kacir panggung dangdut. Setelah itu, gerombolan penyerbu menyisir ganggang kampung hingga ke utara mencari korban.
Setiap gang disisir oleh lima pria. Mereka menggedor pintu rumah dan menghajar orang yang ditemui. Sesekali terdengar ucapan kata sandi ”payung” dan ”pacul”. Payung berarti mundur. Pacul artinya maju.
Saat penyerangan dilakukan, 20 tentara lainnya menjaga dua truk berukuran sedang. Truk tanpa pelat nomor itu diparkir di ujung jalan menghadap ke luar. Posisinya siap membawa gerombolan untuk kabur.
Demikianlah, horor itu berlangsung selama satu jam. Sekitar pukul 00.30 dini hari, komplotan perusuh kabur dengan meninggalkan ”tandatangan” mengenaskan: ratusan orang luka-luka, dan 11 di antaranya mesti diopname. Untunglah, tak ada korban jiwa.
Aksi penyerbuan itu sontak membikin geram Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Syamsul Mappareppa. Dia langsung memerintahkan Komandan Polisi Militer Kodam V/Brawijaya, Kolonel CPM I Wayan W., supaya melakukan penyelidikan. Hasilnya, hingga pekan lalu sudah ada 12 anggota TNI yang dinyatakan bersalah. Tersangka sepertinya akan terus bertambah pekan ini.
Pangdam juga menyatakan minta maaf kepada warga saat melakukan pertemuan dengan pimpinan daerah dan tokoh masyarakat Probolinggo di pendopo kabupaten, Jumat pagi. Ia juga menyatakan akan mengganti seluruh kerugian dan biaya pengobatan warga.
Dari Probolinggo, Pangdam menuju markas Batalion Infanteri 527 di Lumajang. Saat memberi arahan, dia menegaskan Batalion 527 tidak akan disertakan lagi dalam pelbagai operasi. ”Nama batalion ini sebelumnya selalu harum dalam setiap operasi. Kini sudah tercoreng,” katanya. Suaranya terdengar bergetar.
Saat ditemui di Surabaya oleh Sunudyantoro dari Tempo, Syamsul menegaskan tidak akan memberi ampun kepada anggotanya yang terlibat penyerbuan itu. ”Sanksi paling berat dipecat, tidak ada toleransi,” ujarnya.
Warga kini menunggu janji Pangdam. Begitu pula Pak Haji Bakri, yang hingga pekan lalu masih bingung mencari uang untuk membayar utang dan kerugiannya.
Tulus Wijanarko, Abdi Purnomo (Probolinggo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo