Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mudah bagi Matheo membujuk Michael Essien bermain di Indonesia. Selama dua bulan, agen pemain asal Kamerun itu tak lelah menelepon, mengirim foto dan video, serta bercerita kepada Essien tentang sepak bola Indonesia dan Persib Bandung, klub yang ingin mengontraknya.
Untuk meyakinkan Essien, Matheo bahkan mengirim berkas kontrak dengan Persib. "Aku terus melobi dia dan memberi beberapa bukti bahwa Persib serius mau mengontraknya," kata Matheo kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Belakangan, Matheo baru tahu Essien sempat ragu memperkuat klub Indonesia. Pemain asal Ghana itu menilai kualitas klub Indonesia masih di bawah negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia dan Thailand. Essien bahkan sempat mempertanyakan bagaimana hidup di Indonesia. "Saya bilang di sini bagus, sudah kayak di Eropa," ujar Matheo.
Matheo tak patah semangat dan terus membujuk pemain yang pernah bermain di klub-klub elite Eropa itu, seperti Lyon, Chelsea, Real Madrid, dan AC Milan. "Coba lihat dulu, kalau tidak cocok, kamu boleh pulang. Tapi pasti kamu cocok karena orang-orang di Indonesia gila bola. Suporternya fanatik," katanya saat melobi Essien.
Rayuan Matheo berbuah manis. Essien sepakat bermain untuk Persib. Pada 14 Maret lalu, Persib resmi memperkenalkan gelandang 34 tahun itu untuk kompetisi Liga 1. Meski berstatus bebas transfer, nilai kontrak Essien dikabarkan Rp 8-10 miliar per tahun.
Kehadiran Essien menjadi awal gelombang kedatangan pemain veteran yang dikenal dengan marquee player, yakni atlet yang dinilai memiliki popularitas dan keterampilan tinggi dalam olahraga profesional. Sebagian besar marquee player sudah melewati periode emas secara fisik sebagai atlet. Tapi mereka masih memiliki daya tarik menguntungkan bagi klub yang merekrutnya. Tak jarang mereka mendapat perlakuan khusus.
Usaha dan negosiasi agen menjadi penentu keberhasilan merekrut para pemain itu. Agen biasanya memanfaatkan jaringannya untuk mendekati pemain. Namun kegigihan dan pendekatan personal berpengaruh besar dalam mendapatkan kepercayaan pemain.
Urusan kepercayaan ini merembet ke masalah negosiasi kerja, nilai transfer, dan kontrak. Para agen mengunci rapat nilai kontrak yang didapat. "Saya sering ditanyai soal itu, tapi saya tak bisa menyebutnya karena menghormati urusan pribadi," kata Nelson Leon Sanchez, agen pemain asing pertama di Indonesia yang memiliki lisensi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Australia, marquee player dinilai bisa mendongkrak nilai kompetisi. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan pengelola Liga 1 ingin para pemain itu memberi dampak positif bagi kompetisi.
Liga 1 menetapkan satu klub bisa diperkuat dua pemain non-Asia, satu pemain Asia, dan satu marquee player. Adapun salary cap alias batas maksimal pengeluaran gaji setiap tim per musim sebesar Rp 15 miliar. Jumlah ini tak termasuk gaji marquee player.
Sejak pendaftaran pemain putaran pertama Liga 1 ditutup akhir April lalu, ada 15 marquee player yang resmi bergabung. Dari 18 klub peserta kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia itu, hanya Persipura Jayapura, Perseru Serui, dan Persegres Gresik United yang tidak menggunakan marquee player.
PSSI mensyaratkan marquee player adalah pemain tim nasional di tiga putaran final Piala Dunia terakhir, yang berlangsung di Jerman (2006), Afrika Selatan (2010), dan Brasil (2014). Pemain itu juga harus pernah bermain di liga papan atas Eropa dalam delapan tahun terakhir. Liga yang dimaksud antara lain La Liga (Spanyol), Bundesliga (Jerman), Liga Primer (Inggris), Serie A (Italia), Eredivisie (Belanda), Ligue 1 (Prancis), Super Lig (Turki), dan Primeira Liga (Portugal).
Regulasi baru itu membuat Sanchez mempelajari kebutuhan klub yang menjadi kliennya dan mencari sejumlah kontak marquee player. "Saya langsung menghubungi Diego Forlan, Helder Postiga, dan Mohamed Sissoko," ujarnya, Rabu pekan lalu.
Ketika tahu klub Mitra Kutai Kartanegara membutuhkan gelandang, Sanchez memilih mendekati Sissoko, yang sudah lama dikenalnya. Tiga tahun lalu, ia menawari Sissoko, yang kala itu bermain di klub Levante, Spanyol, hijrah ke Meksiko.
Tak ingin Sissoko lepas lagi, Sanchez menghubungi kenalannya, seorang petinggi di klub Pune City, India. Pune City memakai jasa pemain asal Mali itu pada 2016 sebelum ia pindah ke klub Ternana di Serie B Italia. Sanchez mencari informasi tentang kondisi fisik, faktor cedera, dan permainan Sissoko. "Ternyata dia pemain bagus," tuturnya.
Berkomunikasi dengan bahasa Spanyol via telepon seluler, Sanchez lantas membujuk Sissoko ke Kota Tenggarong, Kalimantan Timur. Sanchez, yang pernah membela Persma Manado dan PSMS Medan sebelum gantung sepatu pada 2000, juga menceritakan kondisi sepak bola Indonesia.
Gayung bersambut. Pemain 32 tahun yang pernah membela Valencia, Liverpool, Juventus, dan Paris Saint-Germain itu tertarik bermain di Indonesia. Menurut Sanchez, Sissoko menerima tawarannya antara lain karena Indonesia memiliki populasi muslim yang besar.
Sanchez sendiri yang menjemput Sissoko saat tiba di Jakarta pada 13 April lalu. Sanchez membawanya bertemu dengan Ketua Umum Mitra Kukar Endri Erawan, Sekretaris Klub Trias Slamet, dan Direktur Operasional Suwanto. Negosiasi berlangsung lancar. "Malam itu tinggal membahas lebih detail soal bonus dan lainnya. Keesokan harinya langsung tanda tangan kontrak," kata Sanchez.
Menurut Suwanto, Mitra Kukar telah menelusuri rekam jejak Sissoko, termasuk kehidupan keluarganya. "Kalau hubungan keluarganya baik, insya Allah dia akan bagus juga di lapangan. Ini jadi pertimbangan dalam merekrut," ujarnya Selasa pekan lalu.
Kesabaran dan usaha keras juga dilakukan Gabriel Budi saat membujuk bekas kapten tim nasional Pantai Gading, Didier Zokora. Karena perbedaan zona waktu, ia hanya bisa berkomunikasi dengan Zokora saat subuh. Ia sukses membujuk bekas pemain Tottenham Hotspur dan Sevilla itu bergabung dengan Semen Padang. "Pada minggu ketiga April, baru ada titik terang," katanya Senin pekan lalu.
Menurut Manajer Semen Padang Win Bernardino, Zokora masih memiliki keterampilan bagus dan cepat beradaptasi dengan rekan setim. Masalah terbesar Zokora yang harus diperbaiki adalah kondisi fisiknya. "Selagi belum fit 100 persen, ia tetap punya kendala untuk mengikuti ritme permainan," ujar Win.
Gabriel pula yang membawa striker Selandia Baru, Shane Edward Smeltz, ke Borneo FC. Smeltz adalah pencetak gol terbanyak kedua dalam sejarah Liga Australia, dengan 92 gol. Smeltz juga mencetak gol untuk tim nasionalnya saat menahan imbang Italia 1-1 pada Piala Dunia 2010. Gabriel mengatakan sudah mengamati Smeltz sejak beberapa tahun lalu. "Etos kerjanya bagus. Dia bisa menjadi panutan pemain muda Borneo FC," katanya.
Namun perekrutan marquee player dapat menjadi bumerang. Alih-alih kualitas, popularitas pemainlah yang dijadikan patokan demi mendongkrak bisnis klub. Ujung-ujungnya, performa tim melorot. "Saya pikir, marquee player itu seharusnya bisa membantu perkembangan sepak bola," ujar Sanchez. "Lebih baik merekrut satu pemain tapi bagus."
Gabriel Wahyu Titiyoga, Aminuddin A.S. (Bandung), Sapri Maulana (Samarinda), Andri El Faruqi (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo