Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Agar Menua dengan Bahagia

Angka harapan hidup Indonesia terus meningkat. Di Yogyakarta, rata-rata orang hidup hingga 74 tahun, sementara di Sulawesi Barat hanya 64 tahun. Peningkatan ini mendorong booming orang lanjut usia di Indonesia pada 2035. Sayangnya, masih ada kesenjangan dari perkiraan usia sehat yang hanya 62 tahun. Pemerintah dinilai belum siap.

29 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soal umur, memang hanya Tuhan yang tahu, tapi kita bisa memprediksinya berdasarkan usia harapan hidup. Angka tersebut adalah ekspektasi lama hidup yang dijalani seseorang berdasarkan waktu kelahirannya.

Kabar baik pada Hari Lanjut Usia Nasional, 29 Mei ini, harapan hidup orang Indonesia terus meningkat. Survei lima tahunan Badan Pusat Statistik pada 2015 menyatakan rata-rata orang Indonesia bisa hidup sampai 70,8 tahun. Angka itu terus menanjak menjadi 72,2 tahun pada 2035. Dibanding negara-negara tetangga, angka tersebut memang tidak istimewa betul. Rata-rata orang Singapura, misalnya, diprediksi bisa hidup sampai 82,2 tahun dan penduduk Malaysia di kisaran 75 tahun.

Toh, kita wajib optimistis karena harapan hidup terus meningkat. Jika Anda lahir pada 1960 dan masih membaca majalah ini, misalnya, patut mendapat ucapan selamat karena telah melewati angka harapan hidup Indonesia pada tahun kelahiran Anda, yaitu 41 tahun. ¡±Pada kenyataannya, memang banyak yang melebihi,¡± kata Lilis Mis Cicih, peneliti di Lembaga Demografi Universitas Indonesia, kepada Tempo, dua pekan lalu.

Turro Selrits Wongkaren, Ketua Lembaga Demografi UI, mengatakan variabel yang menghasilkan angka harapan hidup dihitung mulai janin dalam kandungan sampai meninggal. Maka banyak hal yang mendorong kenaikan digit tersebut, dari peningkatan kesejahteraan, kematian bayi, ketercukupan gizi, keaktifan mengolah fisik, manajemen stres, sampai ketersediaan air bersih dan fasilitas mandi-cuci-kakus.

Di antara deretan faktor itu, Turro menyebutkan dua hal yang paling menentukan: keterjangkauan pada sarana kesehatan dan tingkat pendidikan. Ini yang membuat Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta menempati urutan atas di daftar provinsi dengan harapan hidup terpanjang.

Yogyakarta menjadi provinsi dengan harapan hidup tertinggi, 74,4 tahun. Saat ini, 13 persen dari 3,5 juta penduduknya lanjut usia (lansia). Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lansia adalah orang berusia di atas 60 tahun. Di Yogyakarta, mereka dimanja. Dari total 121 pusat kesehatan masyarakat, 104 di antaranya tergolong ramah lansia. Orang tua yang sakit menjadi prioritas, dari bebas antrean sampai akses yang sonder tangga dan undakan.

Turro mengatakan posisi Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai raja dan gubernur yang leluasa membangun sarana kesehatan turut mendongkrak harapan hidup warganya. "Ditambah wilayahnya cenderung sempit, sehingga penduduk terkonsentrasi dan mudah mengakses fasilitas kesehatan," katanya.

Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Pembayun Setyaningastutie mengatakan keraton mencontohkan gaya hidup sehat. Misalnya kebiasaan pengurus dan abdi dalem berpuasa menyehatkan organ pencernaan. Sri Sultan, dia melanjutkan, juga selalu mengajak masyarakat makan menurut kebutuhan, bukan mengejar kenyang.

Permaisuri Raja Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu Hemas menambahkan, berbagai tradisi, seperti merti desa atau gotong-royong membersihkan kampung, juga memberi sumbangan pada harapan hidup karena menuntut gerak fisik. "Dan yang penting adalah sikap orang Yogya yang nrimo, sehingga terhindar dari stres," ujar Hemas.

Sayangnya, seperti dikatakan Turro, sebaran angka harapan hidup Indonesia jauh dari merata. Di Sulawesi Barat, provinsi dengan harapan hidup terendah, angkanya mentok di 64,2 tahun. Bahkan, di Kabupaten Majene, harapan hidup warganya hanya 60,5 tahun. Gambaran itu terlihat antara lain di Permakaman Saleppa di Kelurahan Banggae, Kecamatan Banggae, satu kilometer dari pusat Kota Majene. Di perkuburan di atas bukit itu, sulit menemukan makam yang penghuninya mencapai usia lebih dari 60 tahun. Kebanyakan meninggal di usia 40-an, jauh sebelum mereka menjadi lansia.

Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Barat Ahmad Azis mengatakan anjloknya angka harapan hidup warga di daerahnya tidak lepas dari rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka kemiskinan. Menurut dia, dari 1,5 juta warga Sulawesi Barat, mayoritas hanya tamatan sekolah dasar dan bekerja sebagai petani atau nelayan. "Sehingga, kalau pemerintah memberi penyuluhan kesehatan, misalnya larangan merokok, kerap diajak berkelahi," katanya.

Contoh lain, Ahmad melanjutkan, banyak warganya yang bergizi buruk mengalami perbaikan setelah dirawat 90 hari di rumah sakit. "Namun, saat mereka pulang, dalam lima bulan, kembali terserang gizi buruk."

Kepala Dinas Sosial Majene, Ahmadia, menyoroti ketidakmampuan warga mengakses sarana kesehatan karena ketidakmampuan ekonomi. Dia mengatakan penerima Kartu Indonesia Sehat baru 27 ribu dari 71 ribu warga miskin yang terdaftar-total penduduk Majene 166 ribu. Dua faktor itu, di antaranya, menyebabkan 13 kematian ibu saat bersalin sepanjang tahun lalu dan mendorong Majene menempati salah satu posisi terburuk soal kematian ibu melahirkan di antara enam kabupaten di Sulawesi Barat. "Banyak keluarga memilih melahirkan di rumah tanpa pendampingan tenaga kesehatan, ketimbang di puskemas atau rumah sakit," ujar Ahmadia. Majene, yang membentang 947,84 kilometer persegi di tepian Laut Sulawesi, memiliki sebelas pusat kesehatan masyarakat dan satu rumah sakit umum daerah tipe C.

***

Kenaikan harapan hidup yang dibarengi penurunan jumlah penduduk muda membuat Indonesia bergerak menuju penuaan populasi. Saat ini, ada sekitar 21 juta lansia di Indonesia, 8,6 persen dari total penduduk. Jumlah itu terus merangkak menjadi 22,8 juta atau 11 persen dari populasi pada 2020 dan 80 juta atau 28,68 persen pada 2050.

Kondisi ini menumbuhkan jumlah pusat layanan bagi lansia. Di berbagai rumah sakit besar, ada klinik geriatri, dengan dokter lintas disiplin yang siap mengobati oma-opa, yang umumnya mengidap dua atau lebih penyakit menahun. Bermunculan pula day care sebagai tempat aktivitas keseharian warga sepuh yang lengkap dengan fasilitas ala hotel bintang empat. Jika mau yang gratis, bisa ikut Bina Keluarga Lansia, yang dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Inti dari semua itu adalah membuat para lansia terus beraktivitas dan bahagia. Seperti 50 lansia di Meruya Utara, Jakarta Barat, dua pekan lalu. Silaturahmi dua jam di rumah 180 meter persegi itu dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya dan Mars Lansia. Seperti bocah, ninik-ninik 57-83 tahun itu saling tunjuk saat pemandu acara membutuhkan sukarelawan sebagai dirigen. Begitu pun saat senam bersama. Setelah mendengarkan penjelasan soal kesehatan lingkungan dan pengukuran tensi dari petugas puskemas, acara bulanan itu ditutup doa bersama untuk anggota mereka yang baru meninggal. "Jumlah anggota kami mencapai 100 pada 2010, sekarang tinggal 80. Empat orang pindah rumah, sisanya meninggal," kata Sri Yohari, 59 tahun, Ketua Forum Lansia Meruya Utara.

Livia Iskandar, psikolog Universitas Indonesia, mengatakan warga senior butuh terus beraktivitas dan tetap merasa dibutuhkan, seperti saat masih di usia produktif. "Jika tiba-tiba idle, mereka terancam mengalami depresi dan demensia," katanya.

Guru besar psikologi Universitas Indonesia, Saparinah Sadli, dalam buku Memasyarakatkan Psikologi, mengatakan bahwa semakin tua seseorang, neuron atau sel saraf otak semakin tak aktif. Namun dendrit-cabang di pinggiran neuron yang berfungsi menerima informasi dari neuron lain-bisa terus bertambah seusai dengan stimulasi lingkungan. Maka penurunan volume dan aktivitas otak dapat diperlambat pada lansia aktif.

Jika para kakek dan nenek sehat dan aktif seperti di Meruya Utara siang itu, Indonesia bisa optimistis memasuki masa booming lansia-diprediksi terjadi pada 2035, saat mereka menempati 15,6 persen dari total penduduk. Namun ada ancaman mengintai. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan perkiraan usia sehat atau healthy life expectancy (HALE) di angka 62,1. Artinya, rata-rata orang Indonesia hanya sehat sampai umur itu, lebih rendah dari Malaysia (66,5), Thailand (66,8), dan Singapura (73,9). Selanjutnya, ya, sakit-sakitan sampai akhir hayat. "Lebih dari 52 persen lansia mengidap lebih dari dua penyakit menahun," kata Tri Budi Rahardjo, 71 tahun, Direktur Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia.

Penyakit paling umum, Tri melanjutkan, adalah hipertensi, stroke, dan artritis. Sementara itu, hanya 7 persen dari mereka yang punya tabungan hari tua dan 3 persen yang memegang asuransi hari tua.

Lembaga Demografi UI pun mendapati persepsi negatif masyarakat mengenai orang tua. "Dikenal dengan 5B, yaitu blawur atau rabun, beser, budeg, bingung, dan ujung-ujungnya, bablas," kata Lilis Mis Cicih. Hal itu tidak lepas dari data yang menyebutkan 30 persen dari lansia Indonesia butuh pendampingan dan tidak mampu mengurus diri akibat penyakit.

Ini bisa menjadi bom waktu bagi keuangan negara. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tahun lalu menghabiskan Rp 16,4 triliun untuk penyakit tidak menular yang kebanyakan diderita lansia. Sedangkan uang masuk hanya Rp 60-an triliun. "Ya, bisa bangkrut," ujarnya.

BPJS Kesehatan pun belum memiliki program yang khusus menangani lansia. Kalaupun ada, kata Irfan Humaidi-kepala hubungan masyarakat badan tersebut-lewat program pengelolaan penyakit kronis. Jadi, selain pengobatan, mereka menggandeng pasien di berbagai kegiatan untuk meningkatkan kualitas hidup, seperti berbagi pengalaman dan olahraga bersama. "Pasiennya kebanyakan lansia," ucap Irfan.

Maka pemerintah mengantisipasinya dengan paradigma "mencegah lebih baik daripada mengobati". Anung mengatakan fase kunci ada di masa pra-lansia, 45-59 tahun. Mereka diajak memeriksakan kesehatan secara gratis di pos pembinaan terpadu yang tersebar di 76.500 lokasi di desa dan kelurahan. "Kami harap risiko kesakitan bisa dikurangi," katanya.

Menurut Tri, itu tidak cukup. Guru besar gerontologi UI itu meminta pemerintah mempersiapkan skema perawatan jangka panjang (long-term care) bagi lansia. Menurut dia, bahkan negara maju seperti Jepang pun tidak akan mampu menanggung pengobatan lansia yang sakit dalam jangka panjang, misalnya stroke, di rumah sakit. Maka Jepang memindahkan perawatan mereka ke rumah keluarga. "Obat dan caregiver (pengasuh) dibiayai asuransi," ujarnya.

Reza Maulana, Pribadi Wicaksono (yogyakarta), Didit Hariyadi (majene)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus