SULAWESI Utara tak hanya terkenal karena produksi cengkeh dan kopra, tapi juga karena atlet bridge-nya yang andal. Bahkan, sebagian besar pemain nasional kita berasal dari daerah ini. Itu tak perlu diherankan. Sebab, olahraga ini seperti ''ritus" rutin masyarakat Minahasa. Dari tradisi panjang inilah muncul pasangan bridge terbaik yang dimiliki Indonesia, Hengky Lasut-Edy Manoppo, yang memimpin tim putra Indonesia menjuarai turnamen Asia Pasifik ke-39 di Huang Zhou, Cina, akhir bulan lalu.
Tak berlebihan bila pasangan lawas Hengky-Edy yang terbentuk pada 1983 ini didudukkan di peringkat pertama. Prestasi mereka sangat meyakinkan: 9 kali juara Asia, 13 kali juara Asean, dan yang paling istimewa adalah runner-up Olimpiade Bridge di Yunani pada 1996. ''Dengan begitu, torang (Indonesia) sudah sejajar dengan negara besar lainnya," ujar Hengky, yang kini berusia 52 tahun. Mengapa mereka bertahan di puncak selama itu?
Penyebabnya, kata Denny Sacul, pengamat bridge yang juga atlet nasional dari Sulawesi Utara, pasangan ini memiliki karakter kuat dan teknik bagus. Hengky punya keistimewaan bermain fleksibel, bisa defensif atau agresif, sehingga emosi pasangannya bisa selaras. Sementara itu, Edy lebih bertipe tradisional, tapi tak pernah menyeleweng sampai mengacaukan permainan teman. Kelemahan mereka akan muncul bila salah satu punya problem atau sedang tidak berdisiplin. Namun, kondisi ini sangat jarang dijumpai. Denny sendiri mengaku duetnya dengan Frangky Kawur selalu keteteran bila menghadapi mereka. ''Kesolidan dan kekompakan mereka mengundang iri pasangan lain," kata Denny.
Bagi Hengky, keberhasilan mereka tak lepas dari prinsip pokok dalam bridge: kesetaraan. ''Kalau ada yang menempatkan diri sebagai guru, ya, susah," ujar Hengky. Dia dan Edy teman sepermainan sejak kecil, sehingga mudah saja memahami prinsip tersebut. Apalagi, mereka juga bersaudara ipar. Hengky menikah dengan Cory Manoppo, adik Edy. ''Konflik biasanya membuat pecah, tapi kami keluarga, jadi tetap bersama dan tidak retak," ujar Edy, yang kini berumur 53 tahun
Edy, yang hanya lulusan SMA, mengenal bridge lebih dulu ketimbang rekannya. Keluarga Manoppo, yang juga menelurkan pemain tangguh M.F. Manoppo?kakak Edy?memang punya klub bridge sendiri. Uniknya, dari keempat anak Edy, tak seorang pun yang mengikuti jejak ayahnya. Itu berbeda dengan dua putra Hengky, Elvita dan Febian. Elvita, alumni Stikom Manado yang kini 27 tahun, bahkan termasuk dalam tim putri yang meraih peringkat ketiga dalam turnamen Asia Pasifik di Cina itu. Uniknya, Elvita yang sehari-hari ibu rumah tangga ini justru tidak belajar dari sang ayah ketika mulai menekuni bridge empat tahun yang lalu.
Hengky sendiri mengenal bridge lewat pergaulan. Guru pertamanya tak lain adalah Edy sendiri. Sejak ia mengenal bridge, bulu tangkis dan sepak bola yang juga menjadi kegemarannya mulai tersisihkan. Begitu gandrungnya ia pada olahraga kartu itu sehingga kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi sempat terhenti. ''Pernah satu malam rumah kami kebanjiran, tapi kami tetap bermain," tutur Hengky, yang juga pegawai negeri golongan III-C di Kantor Pemerintah Daerah Sulawesi Utara.
Kecintaan mereka terhadap bridge kini berbuah manis. Selain memperoleh gaji sebagai pegawai negeri, Hengky?juga Edy?mendapatkan insentif dari Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi) sekitar Rp 6 juta per bulan. Bila bertanding ke luar negeri, sebagai penyandang gelar runner-up olimpiade, pasangan ini juga berhak mendapatkan uang saku US$ 110-1.000 per hari di luar akomodasi lain.
Dengan jumlah penghasilan yang patut disyukuri itu, kedua pemain ini menjalani hidup dengan tenang. Rumah Hengky di kawasan Ranotana, Manado, yang ditinggali sepekan dalam sebulan?pada hari lainnya, ia mengikuti pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Jakarta?terlihat mentereng. Dua buah mobil dan puluhan keramik beraneka bentuk menunjukkan kemakmuran pemiliknya. Sementara itu, rumah Edy di kawasan Winangun terlihat asri dengan puluhan pohon pinang putri. Berkebun memang hobi utama Edy, selain berburu. ''Kalau tidak sedang di pelatnas, saya bertani," ujar suami Roosje Waluyan ini. Dari pinang putri itu, lelaki bercucu enam ini bisa menyalurkan hobi sekaligus memperoleh penghasilan tambahan.
Bukan tidak mungkin, tabungan mereka akan makin gemuk karena masih banyak turnamen yang akan mereka ikuti. Prestasi yang lebih tinggi pun bukan mustahil dapat digenggam. Bagi atlet bridge, bertambahnya usia justru mengisyaratkan kematangan permainan.
Yusi A. Pareanom, Hani Pudjiarti, dan Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini