Masih mimpi harga dolar Rp 5.000? Jangan khawatir. Kali ini Anda tak perlu memanggil Steve Hanke, tak juga harus repot-repot memakai sistem Dewan Mata Uang alias Currency Board System (CBS) segala, tapi cukup dengan mencoblos tanda gambar nomor 11 pada hari pemungutan suara, Senin ini. Menangkanlah PDI Perjuangan. Insya Allah, harga dolar Rp 5.000 bukan lagi sekadar impian.
Adalah Kwik Kian Gie, penasihat ekonomi PDI Perjuangan, yang berjanji akan mengubah mimpi itu menjadi kenyataan. Ia punya resep. Jika PDI Perjuangan memenangi pemilu dan memegang kendali kekuasaan, ia akan mengubah manajemen kurs dari sistem bebas mengambang (free float) menjadi sistem nilai tukar tetap alias fixed currency.
Kurs tak lagi diumbar liar dan diserahkan kepada kekuatan pasar seperti sekarang, tapi diikat erat-erat pada satu nilai (biasanya dolar) yang sudah ditentukan. Ikatan ini akan memberikan kepastian, baik bagi dunia usaha (untuk merencanakan investasi dan membangun bisnis) maupun bagi para investor asing yang ingin menanam modal.
Dalam platform perekonomian yang diagendakan partainya, Kwik memang tak menyebut target-target inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, pengangguran, ataupun sasaran utang luar negeri secara khusus. Tapi, dengan sistem fixed currency ini, PDI Perjuangan dipastikan akan membawa perubahan yang mendasar dalam kebijakan perekonomian Indonesia.
Bagaimana agenda partai yang lain? Tiga partai besar, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasinonal (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sama-sama menempatkan pemerintahan yang bersih dan dukungan kepada industri kecil dan menengah sebagai prioritas utama kebijakan perekonomian. Sedangkan Partai Golkar lebih menekankan program restrukturisasi utang perusahaan kecil dan menengah. Dengan berkurangnya tekanan utang, mereka diharapkan bisa kembali berproduksi pada tingkat seperti sebelum krisis.
Kendati agak berbeda pilihan prioritasnya, semangat yang dibawa partai-partai besar itu praktis seragam. Tampaknya, mereka berada dalam barisan yang sama. Pelbagai program itu pada dasarnya ingin menjawab satu persoalan: bagaimana cara menggerakkan kegiatan perekonomian yang sedang sembelit.
Sejak krisis ekonomi menghantam Indonesia dua tahun lalu, harga dolar, inflasi, dan suku bunga melonjak tinggi. Akibatnya, risiko kredit meningkat, bank-bank terbungkam kredit tak terbayar. Aliran kredit baru tersendat, bahkan macet sama sekali. Arus masuk modal asing menjadi sangat terbatas. Akses perusahaan terhadap sumber dana, baik modal maupun pinjaman, dari dalam ataupun luar negeri, praktis tertutup. Ujung-ujungnya, kemampuan produksi perusahaan menurun dengan cepat. Begitu juga daya beli masyarakat. Lemahnya daya serap pasar makin meremukkan tingkat produksi. Ekonomi loyo dan macet.
Kemacetan inilah yang tampaknya sama-sama akan dibedah. Kendati tak merinci bagaimana caranya, tampaknya Golkar akan menggelar jurus pembenahan utang perusahaan seperti yang digelar Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat ini. Bedanya, sementara BPPN lebih banyak mengoperasi utang perusahaan besar, Golkar berjanji mengutamakan pembenahan utang pengusaha lemah. Ini bukan program yang buruk, memang. Hanya, sayang, Golkar tak memberikan resep bagaimana mendongkrak daya beli agar produksi dari pabrik-pabrik ini bisa diserap pasar.
Bisa ditebak, Golkar agaknya juga tak akan mengubah kebijakan perekonomian ala Dana Moneter Internasional (IMF) seperti yang diadopsi pemerintahan Habibie saat ini. Ketika sektor swasta sedang tak bertenaga, lokomotif perekonomian akan dialihkan ke tangan pemerintah. Caranya, anggaran belanja negara akan digenjot. Proyek-proyek padat karya diharapkan bisa mengurangi tingkat pengangguran, mendongkrak pendapatan, dan akhirnya memompa daya beli. Tujuannya sama: bagaimana caranya agar perekonomian menggeliat.
Apa yang hendak dicapai Kwik dengan fixed currency juga tak berbeda. Menurut suhu perekonomian PDI perjuangan ini, kegiatan produksi hanya bisa menggeliat jika persoalan beban utang perusahaan dan sumber biaya produksi sudah terjawab. Dengan melihat tingginya ketergantungan industri kita pada impor dan besarnya beban utang luar negeri swasta, Kwik sampai pada satu kesimpulan: gejolak harga dolar harus dikendalikan. Bagi Kwik, tak ada cara lain kecuali dengan sistem nilai tukar tetap.
Sistem nilai tukar tetap, sebenarnya, bukan barang baru. Dari awal 1960-an sampai akhir 1970-an, Indonesia menggelar sistem ini dengan cukup sukses. Walaupun sama-sama mengunci harga dolar pada nilai tertentu, sistem pegging currency yang diusulkan Kwik ini berbeda dengan sistem nilai tukar tetap ala CBS.
Pada CBS, semua rupiah yang beredar harus dibeking dengan cadangan devisa. Pencetakan uang baru hanya bisa dilakukan jika ada tambahan devisa. Akibatnya, bank sentral tak bisa lagi "memainkan" jumlah uang beredar, sekaligus kehilangan kekuasaan atas kebijakan moneter. Ini berisiko. Kebijakan moneter kita, mau tak mau, harus mengikuti kebijakan moneter Amerika Serikat (jika rupiah di-pegged terhadap dolar). Kalau perekonomian AS kepanasan (seperti sekarang) dan Indonesia mengalami resesi, akan terjadi gesekan yang dahsyat.
Pada fixed currency usulan Kwik, bank sentral tak wajib membeking rupiah yang beredar. Bank sentral hanya perlu memainkan jumlah uang beredar agar laju inflasi bisa sesuai dengan inflasi AS. Jika inflasi di AS lebih rendah dari inflasi di Indonesia, nilai rupiah akan terlalu tinggi. Untuk itu, rupiah harus diturunkan nilainya alias didevaluasi.
Tapi sistem Kwik ini juga bukan tanpa risiko. Jika overvalued, rupiah akan sangat rentan terhadap ancaman spekulan. Berbeda dengan keadaan pada 1960-an, ketika sumber devisa kita tak pernah kering dialiri rezeki minyak, Indonesia hari ini harus jungkir balik untuk menambah cadangan devisa. Belum lagi, pasar keuangan berubah pesat. Arus modal begitu gampang mengalir dengan kecepatan detik, dari belahan bumi yang satu ke belahan yang lain. Jika cadangan devisa tak cukup tangguh, fixed currency akan buyar dalam sekejap.
Kwik bukan tak menyadari ancaman ini. Ia menaksir, Indonesia membutuhkan tambahan utang sedikitnya US$ 20 miliar agar sistem fixed currency ini bisa digelar. Utang sebesar itu mustahil bisa dijala tanpa dukungan internasional. Karena itu, Kwik berharap, agenda fixed currency ini didukung pula oleh lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, yang sedang mencoba mengeluarkan Indonesia dari krisis.
Syarat dukungan inilah yang agaknya diragukan banyak pihak. Kate O'Donoghue, analis keuangan dari Barclays Capital di Singapura, yakin bahwa penerapan sistem nilai tukar tetap ini akan ditentang IMF. "Sistem nilai tukar tetap ini jelas menantang etos IMF," katanya kepada Reuters.
Selain itu, redanya gejolak perekonomian akan menghambat rencana Kwik. Menurut Sekretaris Jenderal PAN Faisal Basri, sistem nilai tukar tetap hanya bisa dipakai jika gejolak kurs masih meletup-letup seperti dulu. Kalau suasananya sudah mulai tenang seperti sekarang ini, kata Faisal, "Pemakaian sistem nilai tukar tetap akan lebih banyak mengundang bahaya ketimbang manfaat."
Jimmy Koh, ekonom dari IDEA, lembaga riset keuangan di Singapura, punya pendapat senada. Ia bahkan khawatir, apa yang direncanakan Kwik dengan sistem nilai tukar tetap akan melahirkan pelbagai kesulitan baru. "Ini seperti mengguncang perahu ketika badai mulai reda," katanya.
Tapi bagaimana caranya agar gejolak nilai tukar bisa ditekan? Di masa ketika perekonomian relatif stabil seperti sekarang, PAN memutuskan memilih sistem kontrol devisa dan pembatasan transaksi yang bersifat spekulatif. Dengan kontrol devisa, hubungan antara suku bunga dan nilai tukar bisa diputus. Artinya, suku bunga bank bisa ditekan turun serendah mungkin tanpa harus takut nilai tukar rupiah akan merosot.
Tapi jurus ini pun bukan tanpa risiko. Jika tak dibeking oleh sistem pemerintahan yang bersih, aturan transaksi mata uang yang diskriminatif (misalnya dengan sejumlah pembatasan tertentu) hanya akan melahirkan praktek-praktek kolusi baru. Pada akhirnya, kolusi seperti ini juga bakal menghancurkan nilai tukar.
Dwi Setyo, Hani Pudjiarti, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini