Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rekening Ghalib, Skandal?

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALING tidak ada dua alasan untuk meyakini bahwa urusan pemberantasan korupsi, terutama yang menyangkut Soeharto, tak akan beres pada era Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib. Alasan pertama, Ghalib dengan kewenangan besar di tangannya justru seperti menjadi "pelindung" Soeharto dan keluarganya. Pencopotan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Anton Sujata, yang sedang bekerja keras mengumpulkan data menyangkut kekayaan Soeharto, adalah salah satu petunjuk yang jelas. Petunjuk yang lain, kejaksaan seperti tidak "bergerak" jika tidak disengat. Sejak Soeharto diperiksa pada Desember 1998, Kejaksaan Agung seperti membisu dalam soal harta Soeharto itu. Andi Ghalib beralasan, pemeriksaan itu harus dilakukan hati-hati, cek dan ricek, dicari data-datanya dulu. Begitu majalah Time menurunkan laporan utama soal harta Soeharto itu akhir Mei lalu, barulah Kejaksaan Agung sibuk bukan main. Satu per satu anak-anak Soeharto dipanggil, walaupun sangat terkesan hanya formalitas: tampak dari juru bicara Kejaksaan Agung yang hanya "membenarkan" setiap keterangan Keluarga Cendana itu. Andi Ghalib bahkan berangkat ke Swiss dan Austria untuk "melacak" harta Soeharto?dan semua orang tahu bahwa itu pekerjaan sia-sia sebelum Soeharto dijadikan terdakwa. Pendapat seperti ini bahkan dikemukakan oleh duta besar Austria di Jakarta, yang menjelaskan bahwa pemerintahnya akan membantu jika Soeharto sudah dibawa ke pengadilan. Alasan kedua meragukan Ghalib: apakah dia cukup "bersih" untuk membuktikan Soeharto itu "kotor"? Jika laporan Indonesian Corruption Watch yang membeberkan sejumlah pengusaha menyetor Rp 1,8 miliar ke rekening pribadi Ghalib itu benar, Ghalib jelas tidak pantas dan tidak patut memeriksa Soeharto. Perumpamaan yang bisa dipakai, seperti pernah ditulis di rubrik ini, sapu yang kotor tak bisa dipakai untuk membersihkan rumah. Juru bicara Kejaksaan Agung mencoba memberikan pandangan lain. Soehandoyo, juru bicara itu, mengatakan mungkin saja ada pihak ketiga yang ingin menarik keuntungan dari Andi Ghalib dengan cara tidak halal. Kejadian seperti ini pernah menimpa Jaksa Agung Muda Pengawasan, Jacob R. Saleh. Modusnya, ada seseorang yang membuka rekening atas nama Jacob dan "beroperasi" mencari setoran. Belakangan Jacob, yang mencoba menarik dana dari "rekeningnya" itu, ternyata mendapat kesulitan karena tanda tangannya tidak cocok. Jadi, bisa saja Andi Ghalib, yang pada April 1999 dilantik sebagai ketua umum Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI), dicatut namanya untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Ini alur pikir Soehandoyo, yang ternyata juga humas PGSI. Kalau Ghalib hanya punya satu rekening di Bank Lippo, barangkali argumen Soehandoyo boleh dipertimbangkan. Tapi, jika di bank yang sama ada dua rekening tabungan dan satu rekening giro atas nama yang sama, rasanya kemungkinan nama Ghalib dicatut itu kecil. Ghalib sendiri dari Wina mengatakan dia akan menuntut Bank Lippo, yang diduganya membocorkan rekening pribadinya. Artinya, Ghalib memang punya rekening di Bank Lippo. Ghalib lalu mengatakan bahwa sumbangan beberapa pengusaha (yang masuk ke rekening pribadi) itu untuk pembinaan olahraga gulat. Sepintas kelihatan tak ada yang salah. Tapi, kenapa pengusaha yang "menyumbang" itu semuanya yang sedang diperiksa kejaksaan? The Ning King, salah satu "penyumbang", contohnya. Bos Grup Argo Manunggal itu diperiksa lantaran kredit Rp 581 miliar dari BRI. Prajogo Pangestu, "penyumbang" lainnya, juga sedang berurusan dengan aparat kejaksaan karena kredit dari Bank Andromeda. ICW melaporkan bahwa kedua orang itu kini "aman-aman saja" dari pemeriksaan kejaksaan. Pembentukan kepengurusan PGSI juga menunjukkan kejanggalan. Awalnya, kepengurusan PGSI lama diganti pada November 1998. Terpilih tiga nama formatur, tidak termasuk Andi Muhammad Ghalib. Ternyata, formatur tidak mampu membentuk kepengurusan. Dan, entah bagaimana kisahnya, Andi Ghalib kemudian dilantik sebagai ketua umum PGSI pada April 1999. Tapi sumbangan para pengusaha untuk gulat ini sudah mengalir ke rekening Ghalib sejak Februari 1999?dua bulan sebelum Ghalib dilantik. Artinya, Ghalib membuka dua rekening tabungan di Bank Lippo untuk "kepentingan gulat" sebelum ia dilantik menjadi ketua umum PGSI. "Sumbangan" pengusaha-pengusaha itu pun masuk ke dua rekening tadi. Pertanyaan yang segera muncul: bagaimana Ghalib memilah-milah uang pribadi dengan uang PGSI jika dari salah satu rekening tadi kemudian diketahui ada pengeluaran yang tak ada hubungannya dengan gulat? Kalau saja Ghalib mau hati-hati membuka rekening untuk olahraga gulat ini, ia bisa saja mendirikan yayasan atau badan hukum yang lain di organisasi olahraga itu. Lalu, dari sana, yayasan itu mendaftar ke aparat pajak untuk mendapat nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dengan berbekal NPWP itu, yayasan bisa membuka rekening di bank. Sederhana sekali, tidak perlu rekening pribadi untuk urusan yang bukan pribadi. Kasus rekening pribadi untuk kepentingan dinas mengingatkan orang pada kasus rekening pribadi Menteri I.B. Sudjana dan Menteri Joop Ave. Walau kedua pejabat tadi tidak kena sanksi apa pun, pemerintah kemudian menertibkan soal penerimaan yang dikategorikan non-budgeter itu. Seiring dengan tumbuhnya budaya pejabat pemerintah menjabat ketua organisasi olahraga, urusan rekening begini selayaknya diatur lebih tegas. Sekali rekening pribadi dibuka, sulit untuk memeriksanya, antara lain karena kerahasiaan nasabah yang dijamin dengan undang-undang?peraturan yang juga layak ditinjau kembali, mengingat kasus-kasus seperti Andi Ghalib ini. Ghalib pernah berjanji akan mengumumkan hasil penelitian korupsi terhadap Soeharto sebelum pemilu 7 Juni 1999. Ia juga berjanji akan menuntaskan kasus Soeharto sebelum Sidang Umum MPR pada akhir Agustus 1999. Dengan adanya kasus rekening ini, masihkah janji Ghalib bisa dipegang? Lalu, hadiah apa lagi yang cocok buat Andi Ghalib, setelah ayam betina?lambang ketakutan?dan Soeharto Award, sebagai tokoh pro-status quo? Mungkin pensiun dini, atau yang lebih lugas lagi: dicopot sebagai Jaksa Agung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus