Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memecah Hegemoni Sentral Presiden

Setelah pemilihan umum, MPR diharapkan berani mengubah UUD 1945. Kekuasaan amat besar pada presiden mesti bisa dikontrol dan diimbangi.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UUD 1945 yang disakralkan Orde Baru tak lagi bakal menjadi barang mati yang keramat. Setelah MPR pada November lalu mencabut aturan referendum yang tak memungkinkan diubahnya UUD 1945, beberapa partai politik yang diperkirakan bakal meraih suara paling banyak pada pemilihan umum kali ini juga mengakui kelemahan UUD 1945, sehingga memperburuk demokrasi di Indonesia. Salah satu kelemahan penting pada UUD 1945 adalah soal sistem pembagian kekuasaan, yang membuat kekuasaan sangat besar dan terpusat pada presiden. Kekuasaan presiden jauh melampaui kekuasan organ negara lainnya seperti Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan MPR. Tilik saja, dari 36 pasal UUD 1945, sebanyak 17 pasal mengatur presiden, sementara DPR hanya dijamin dengan sembilan pasal, bahkan MA cuma dua pasal. Kekuasaan presiden meliputi bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ia kepala pemerintahan, kepala negara, pembuat undang-undang, sekaligus mandataris MPR. Di bidang eksekutif, sampai-sampai penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan dan tanggung jawab ada pada presiden (concentration of power and responsibility upon the president). Sistem kenegaraan itulah yang menimbulkan pendapat bahwa UUD 1945 bersifat executively heavy. Sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa kelemahan UUD 1945 itu dan hasrat presiden untuk melanggengkan kekuasaan telah membuat proses negara jauh dari prinsip kedaulatan rakyat. Memang, MPR pada November lalu sudah mematok kekuasan presiden, dengan membatasi masa jabatan presiden hanya sampai dua periode. Namun, rambu itu masih berupa ketetapan MPR, sedangkan desain utama UUD 1945 yang mengatur kekuasaan besar presiden masih menjadi persoalan. Bagaimanapun, "Kewenangan besar itu harus dikurangi dan diimbangi dengan kekuasaan lembaga tinggi negara yang lain," kata Faisal Baasir, salah seorang ketua Partai Persatuan Pembangunan. Dengan demikian, kedudukan semua lembaga tinggi negara, yakni presiden, DPR, MA, BPK, dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), menjadi sejajar. "Tak ada lagi yang lebih tinggi dari yang lain," ucap Abdillah Toha dari Partai Amanat Nasional. Pembagian dan pembatasan kekuasan itu perlu ditegaskan dalam UUD, apalagi selama ini pemerintahan Soeharto amat menentukan dalam pengangkatan dan pencopotan anggota lembaga tinggi negara yang lain. Tentu tak hanya keseimbangan kekuasaan yang perlu dicermati. Hubungan antarlembaga tinggi negara pun mesti ditata kembali. Soalnya, UUD 1945 tak merinci, misalnya, mekanisme pengawasan DPR atau MA terhadap presiden. "Secara politis, memang diperlukan pemerintahan yang kuat. Tapi, secara konstitusional, pemerintah harus bisa dikontrol oleh legislatif," ujar Marzuki Darusman dari Golkar. Selain mengontrol pemerintahan yang dijalankan presiden, mestinya DPR juga bisa mengawasi penggunaan hak prerogatif presiden, contohnya dalam soal pengangkatan menteri kabinet, terutama menteri dalam negeri, luar negeri, dan keuangan. "Itu supaya presiden tak seenaknya menunjuk seseorang menjadi menteri," ujar Kofifah Indar Parawansa dari Partai Kebangkitan Bangsa, yang mengaku partainya telah memutuskan tetap setia pada UUD 1945. Bagi Soetardjo Soerjogoeritno, salah seorang ketua PDI Perjuangan, meski partai berlambang kepala banteng dalam lingkaran bulat itu belum menentukan sikap terhadap UUD 1945, perjanjian pemerintah Indonesia dengan negara lain, umpamanya yang menyangkut utang luar negeri, seharusnya juga disetujui DPR. Selama ini, perjanjian internasional cukup diteken presiden, bahkan perikatan dengan Dana Moneter Internasional hanya dibuat dalam bentuk kesepakatan bersama. Padahal, berbagai perjanjian yang mempengaruhi kelanjutan nasib negara mestinya diratifikasi dengan undang-undang yang disetujui DPR. Wewenang presiden di bidang peraturan perundang- undangan, entah membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), keputusan presiden, ataupun peraturan pemerintah, juga harus dibatasi. Maksudnya, batasan dan kriteria produk hukum tersebut mesti ditentukan secara tegas. "Jangan sampai materinya malah menggantikan undang-undang, sehingga menghilangkan fungsi DPR," kata Abdillah. Lagi pula, selama ini berbagai keputusan presiden terbukti mengandung unsur penyalahgunaan kekuasaan dan menguntungkan kroni presiden Soeharto. Khusus untuk wewenang mengeluarkan perpu, Faisal Baasir malah menuntut agar wewenang itu dicabut dari presiden. Sebab, wewenang membuat undang-undang sesungguhnya ada pada DPR. Tambahan pula, "Perpu sebagai produk hukum darurat acap digunakan presiden, padahal penafsiran tentang keadaan daruratnya tidak jelas dan sangat subyektif," tuturnya. Untuk lebih mengontrol presiden, Abdillah tak lupa menyoroti peran MPR. Sebaiknya, MPR bersidang sekali setahun untuk menilai pertanggungjawaban presiden. Dengan demikian, ada peluang impeachment (mencopot presiden) bila pertanggungjawabannya tak diterima MPR. Tak seperti aturan sekarang saat MPR bersidang lima tahun sekali, sehingga itu tak berdampak hukum bagi pertanggungjawaban presiden. Sejatinya, ada lagi masalah fundamental yang juga "bolong" pada UUD 1945, umpamanya soal pemilihan umum dan hak asasi manusia. Yang jelas, untuk keadaan mendekat ini, khususnya menyangkut masalah kekuasaan presiden, para tokoh partai di atas sepakat untuk mengubah UUD 1945 yang dulu memang dibuat tergesa-gesa dan bukan oleh lembaga perwakilan rakyat hasil pemilihan umum. Namun, mereka belum seia-sekata dalam hal bentuk perubahan UUD 1945: mengganti dengan UUD baru, seperti di Belanda; mengamandemen saja (melampirkan perubahan UUD 1945 pada UUD 1945), seperti di Amerika; ataukah cukup dengan ketetapan MPR, seperti kebiasaan selama ini yang sesungguhnya tidak tepat. Satu hal yang disetujui para politisi itu, pembukaan UUD 1945 tak usah diutak-atik. Happy Sulistyadi, Andari Karina Anom, Hendriko L. Wiremmer, dan Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus