SIRKUIT Ancol, yang biasa dipakai untuk arena balap sepeda motor dan mobil itu, selama PON XI berubah fungsi menjadi velodrome atau gelanggang balap sepeda untuk nomor lintasan (track). Karena sirkuit itu terletak tak berapa jauh dari bibir pantai Laut Jawa, maka para pembalap memang harus berperang melawan kuatnya embusan angin ketika mengayuh sepedanya. "Mereka yang kebagian berlomba pagi hari prestasinya bagus. Tapi kalau sudah tengah hari, angin jadi kencang. wah, prestasi mereka jadi payah," kata Donny A. Prasetya, sekretaris Panitia Pelaksana Balap Sepeda PON. Meski demikian, rupanya. memacu sepeda di atas jalan aspal yang datar itu lebih mudah dibandingkan dengan di atas velodrome yang berbidang miring. "Untuh kemiringan itu dibutuhkan teknik-teknik tersendiri ketika memasuki tikungan, selain diperlukan keberanian," kata Donny. Sedangkan di sirkuit Ancol, seperti terlihat pada beberapa hari pertandingan, para pembalap dengan enaknya bisa menggenjot sepeda sambil berdiri di atas pedal. Karena itu, menurut Sutiyono, 33, pembalap Sumatera Utara, "Catatan waktu yang diperoleh di sirkuit ini belum tentu bisa sama jika pertandingan dilakukan di velodrome." Memang tidak. Beberapa bulan sebelum PON ini, Mei 1985, PB ISSI sudah memberi tahu ke daerah-daerah bahwa balap sepeda untuk nomor lintasan akan dipindahkan dari velodrome yang ada di Rawamangun ke sirkuit Ancol. Konsekuensi tindakan itu, "Semua rekor yang terjadi di Ancol tidak di akui," ujar Donny. Artinya, nomor-nomor lintasan balap sepeda di PON prestasi ini tidak mungkin menghasilkan prestasi apa pun. Tapi, tampaknya, demi menghibur daerah-daerah yang tetap mengirimkan atletnya untuk meramaikan PON ini, panitia tetap memberikan medali untuk para juara Ancol. Ini memang membuat banyak pihak tak puas dengan peristiwa itu. "Katanya ini PON prestasi, tapi velodrome saja pun tak siap. Padahal, Desember nanti kita akan menghadapi SEA Games," kata Edward Siagian, 35, bekas pembalap DKI. "Dipindahkannya arena balap ini menyebabkan atlet daerah tak pernah punya pengalaman bermain di velodrome," ujar Sutiyono, pemegang rekor lintasan 4.000 m itu. Padahal, sejak 1973, sebuah velodrome sudah ada di Jalan Pemuda, kawasan Jakarta Timur. Sayang, stadion balap sepeda yang dibangun dengan biaya Rp 400 juta itu kini merana. Bagian tribunnya terlihat corengmoreng oleh coretan cat, lintasan balap (track) sudah berlumut di sana-sini, dan di tikungan-tikungannya ditemukan lubang memanjang sedalam 5 cm. Masih lumayan, ilalang yang sebelumnya tumbuh tinggi di sekitar velodrome, menjelang PON ini, sudah ditebas. Tiga bulan menjelang PON, sudah ada rencana merenovasi stadion itu. Dana Rp 500 juta sudah tersedia. "Ternyata, kontraktor tak sanggup menyelesai-kannya dalam waktu sesingkat itu," kata Amir Lubis, ketua Bidang Teknik Pertandingan PON. Itu tak lain karena seluruh bangunan velodrome harus dibongkar total. Ceritanya begini Ketika membangunnya dulu, PB ISSI meniru velodrome yang ada di stadion Hua Mark, Bangkok, Muangthai: panjang lintasan 400 m, dengan kemiringan 43 derajat. Ternyata, belakangan, ketahuan bahwa desain itu sudah ketinggalan zaman karena, menurut ketentuan FIAC, federasi balap sepeda amatir dunia, panjang lintasan mestinya 333,3 m dengan kemiringan cuma 30 derajat. Kini, menurut Donny, pembangunan velodrome baru di Rawamangun itu sedang dalam proses. "Blue printnya sudah dikirim ke Italia untuk dimintakan pengesahan FIAC," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini