KASUS pembunuhan yang selama hampir 10 tahun terkubur, tak terduga, bisa terungkap. Miruki alias Abdus, ayah beberapa anak yang tinggal Desa Slopeng, Sumenep, Madura, selama ini dikira keluarganya merantau. Ternyata, ia sudah lama terbunuh. Kuburnya baru-baru ini ditemukan di bawah pohon kelapa di sebuah tegalan, di desa itu juga. Dua orang tersangka pembunuh telah pula diketahui. Bahkan, pekan lalu, polisi melakukan rekonstruksi atas jalannya peristiwa pembunuhan. Terungkapnya kasus itu hampir tanpa sengaja. Anak Almarhum, Amiyah, suatu hari bertengkar dengan seorang bernama Sus. Mulanya karena Sus mempunyai utang Rp 2 ribu. Karena kesal, Sus berkata kepada tetangganya itu. "Memang saya miskin, tetapi saya tidak perlu malu. Kalau kamu, meski ladangnya luas, harusnya malu karena bapakmu mati," kata Sus, istri Dullah. Amiyah menduga-duga apa sebenarnya maksud Sus. Selama ini, yang dia tahu, sejak tahun 1975 Miruki pergi merantau ke Pulau Jawa. Anak-anak dan istrinya pun beranggapan seperti itu. Ketika itu, kata Maskat, 30, anak Miruki yang menjadi guru SD, sang ayah yang habis marah-marah menyatakan bahwa dirinya akan pergi ke Pulau Jawa. Gara-gara pertengkaran itu, Maskat penasaran. Ia mencoba mengumpulkan keterangan dari berbagai sumber. Terakhir, Agustus lalu, ia melapor ke Polsek Dasuk. Laporannya diperkuat keterangan Lurah Hosman dan Carik Darmo. Keduanya mengaku pernah mendengar dari Dullah bahwa korban dibunuh Mukarrab, 65, tetangga yang masih ada hubungan famili dengan korban. Namun, saat dikonfrontir, Dullah membantah seolah ia pernah bercerita bahwa Miruki dibunuh Mukarrab. Polisi lalu mengalihkan perhatian kepada Mukarrab. Begitu tiba dari Situbondo, Jawa Timur, ia langsung ditahan. Selama 19 hari ditahan, ia menyangkal melakukan pembunuhan. Justru ia balik menuduh Dullah yang melakukan pembunuhan. "Saya hanya menguburkan mayatnya, setelah dibunuh oleh Dullah," ujarnya kepada TEMPO. Karena pengakuannya itu, pada 11 September lalu, ia dikeluarkan dari tahanan. Menurut cerita Mukarrab, peristiwa pembunuhan itu kira-kira terjadi sebagai berikut. Suatu pagi, sekitar pukul 10.00 di tahun 1975, Miruki terdengar bertengkar dengan Masruki, salah seorang anaknya sendiri dari istri kedua. Miruki kehilangan uang Rp 5 ribu dan ia menuduh bahwa anak itulah yang mengambilnya. Saat Miruki hendak memukul anaknya, tiba-tiba Mukarrab - yang rumahnya berdekatan - muncul di situ. Ia mengaku mendekap Miruki dari belakang agar Masruki terhindar dari pemukulan. Anah itu kemudian lari, dan tak lama kemudian muncul Dullah. "Ia langsung memukul korban dengan pentungan yang dibawanya. Korban terkena bagian kepalanya dan langsung meninggal," ujar Mukarrab. Setelah korban tewas, ia mengaku disuruh oleh Dullah mengurus mayatnya. Mayat digotong ke sebuah rumah kosong dan ditutupi tikar. Baru pada malam harinya, ia menggali lubang dekat rumahnya. Di sanalah mayat korban dikuburkan. Sebelum mayat tadi disembunyikan di rumah kosong, kata Mukarrab, Mardiyah - mertua Miruki, yang baru pulang dari bepergian - sempat melihat mayat menantunya. Tapi Mardiyah dipesan agar tak menceritakan kejadian itu kepada siapa pun. Bila pengakuan Mukarrab itu bisa dipercaya, sungguh aneh selama ini Mardiyah tutup mulut. Ada dugaan bahwa ia agak kurang menyenangi menantunya itu. Miruki kabarnya jagoan, bertubuh tinggi besar, berperangai keras, dan suka naik marah. Sebaliknya, Dullah menuduh bahwa Mukarrablah pelaku pembunuhan. "Dia yang memukul kepala korban. Dia pula yang menggotong dan menguburkan mayatnya di ladang," katanya. Belum jelas siapa yang benar, tapi polisi menduga, kedua orang itu tahu banyak tentang peristiwa pembunuhan itu. Sayangnya, "Tak ada saksi lain yang bisa menguatkan tuduhan terhadap mereka," ujar sumber di Polres Sumenep. Jadi, meskipun kubur korban sudah bisa ditemukan berdasarkan petunjuk Mukarrab, polisi tak bisa kelewat "keras" memperlakukan kedua tersangka. Mereka, misalnya, kini sama sekali tak ditahan. Saat dilakukan rekonstruksi pekan lalu pun, Dullah menolak hadir - dan polisi tidak mencoba memaksanya. Padahal, menurut dugaan keluarga korban, kemungkinan Dullah yang menjadi pelaku utama pembunuhan. "Dullah dan Miruki pernah bertengkar hebat. Dan suatu ketika kebun jeruk Miruki dibabat oleh Dullah," kata seorang kerabat korban. Maskat sendiri belum bisa menentukan siapa yang kira-kira bersalah. Setelah ia mendapat kepastian bahwa ayahnya telah meninggal, sedikit banyak ia merasa lega. Sebelum ini, katanya, ia sudah beberapa kali mengunjungi beberapa kota di Jawa Timur mencari jejak sang ayah. Tetapi sedikit pun tak pernah terdengar kabar tentang ayahnya. Yang pernah mendapat firasat malah Amiyah saudara kandung Maskat yang bertengkar dengan Sus itu. Dia mengaku sering bermimpi didatangi sang ayah. Orangtua itu berpesan agar ia tak usah dicari ke mana-mana karena ia berada di dekat situ. "Sekarang baru saya tahu bahwa Bapak memang berada di dekat sini," ujar Amiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini