KELUARGA besar perkumpulan silat Perisai Diri (PD) dipukul duka
pekan kemarin. Pendiri sekaligus pendekarnya, Raden Mas
Subandiman Dirjoatmojo, 70 tahun, meninggal 8 Mei malam. Ribuan
murid dan bekas anak-didiknya -- banyak di antaranya dengan mata
sembab karena tangis -- mengantar jenazah almarhum ke pemakaman
Islam, Ngagel, Surabaya. Ia meninggal setelah beberapa lama
menderita tumor yang menyerang lambungnya.
Di kalangan pesilat, Pak Dirjo sudah merupakan merk paten. Dia
mendirikan PD tahun 1955. Pertumbuhannya boleh dikatakan pesat.
Dalam 3 tahun dia sudah punya anak buah di hampir semua kota
Jawa Timur. Sekarang nama dan jurus-jurusnya malahan meloncat ke
Negeri Belanda, Prancis, Italia, Kanada, AS, dan Australia.
Menurut Javanese Silat, The Fighting Art of Perisai Diri,
tulisan Quintin Chambers dan Donn F. Draeger, yang terbit di
Tokyo tahun 1978, sekitar 70.000 orang menjadi pengikut PD.
Perjalanan hidup Pak Dirjo mirip kisah seorang pendekar dalam
buku silat. Cucu Pakualam IX ini merasa sumpek dalam tembok
istana. Usia 16 tahun, setelah lulus HIK (SGA zaman Belanda) dia
merantau ke Jawa Timur. Dia memutuskan berjalan kaki sepanjang
hampir 400 km dari Yogya menuju Jombang. Di kota ini dia
memperdalam silat pada Guru Hasan Basri.
Dari Jombang dia merantau lagi ke Solo dan berguru pada Sayit
Sahab dalam ilmu silat. Untuk memperdalam kemahirannya dla
merangkak terus melewati perguruanperguruan yang terdapat di
Semarang dan Cirebon. Seperti merasa sudah sampai di tepi
langit, Pak Dirjo kemudian menetap dan mendirikan perguruan
silat Eko Kalbu (Satu Hati) di Banyumas.
Di kota itu secara tak sengaja dia bertemu dengan gurunya yang
paling besar: Yap Kie San. Orang ini merupakan tokoh persilatan
dari Siau Liem Sie atau yang populer dengan sebutan aliran
Shaolin. Sebagai tanda ikatan batin, sang guru menghadiahi Pak
Dirjo sebuah pedang luar biasa tajam dan bermata dua. Tapi
kemudian Gow Kon Keng seorang pesilat yang sejak lama mengincar
pedang itu, akhirnya berhasil meminjamnya dari Pak Dirjo. Tapi
bom telah melumatkan rumah Gow. Dan pedang yang dianggap
berkhasiat itu hilang tanpa bekas.
Pak Dirjo kemudian pulang ke Yogva. Bukan karena kemauannya
sendiri. Ki Hiajar Dewantara, pamannya yang memutuskan begitu.
Tokoh pendidikan itu membutuhkan si pendekar untuk mengajarkan
silat di Taman Siswa.
Pengalamannya yang panjang dan banyaknya perguruan yang dia
singgahi membuat Pak Dirjo seorang pendekar komplit.
"Ia menguasai 19 aliran. Mulai dari Cimande sampai Putri
Sembahyang," ujar Noer Hasdianto, S.H., ketua umum PD seluruh
Indonesia. "Dasar ajarannya adalah kecepatan. Dalam satu detik
bisa bergerak dengan 2 gerakan," sambung Syaukat Ali, salah
seorang muridnya, mahasiswa UGM Yogyakarta.
Karena gerakan-gerakannya yang berkelebat begitu cepat, maka PD
sulit disebutkan perhimpunan pencak silat. Karena tabuhan
gendang sudah tak dapat meningkahi gerak dan pukulan si pesilat.
Apalagi seperti disebutkan dalam Javanese Silat hampir semua
sikapnya merupakan campuran dari gerak dan reaksi manusia dan
binatang.
Inilah barangkali daya pikatnya, hingga PD populer di kalangan
anak muda dan mahasiswa. Di kalangan tentara terutama di Jawa
Tengah jurus-jurus dari Pak Dirjo ini sampai-sampai menjadi
pelajaran yang dianjurkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini