DALAM sidang parlemen Malaysia Maret lalu, seorang anggota
menyatakan penyesalannya: mengapa dalam kerja sama bahasa
Indonesia-Malaysia pihak Indonesia sering "menang" dalam
perlombaan menentukan istilah baru (Utusan Malaysia, 23 Maret
1983). Angota parlemen itu berbicara ketika ada pembahasan
masalah istilah dalam bahasa Malaysia, yang akhir-akhir ini
sempat menimbulkan kesalahpahaman dalam lingkungan pendidikan di
sana.
Tampaknya perhitungan kalah menang dalam bidang ini masih ada
juga lagi. Di negeri kita sendiri dahulu, antara 1967 dan 1972,
pernah pula soal ini dihebohkan, khususnya dalam bidang ejaan.
Justru salah satu sebab ejaan baru bahasa Indonesia yang pernah
diejek dengan sebutan "ejabu" (rupanya dihubungkan dengan
sebutan ejekan 'Menikebu') pada mulanya ditentang habis-habisan
oleh sebagian golongan, adalah karena faktor apa yang disebut
"kekalahan" dalam menghadapi Malaysia.
"Kalian dibayar berapa oleh Malaysia?" tanya sinis seorang
anggota pimpinan PWI kepada panitia ejaan, 1967.
"Konsep ejabu adalah konsep yang menyerah kepada nekolim!"
tuding sekjen lembaga kebudayaan sebuah partai politik yang
waktu itu masih menggebu-gebu dengan slogan antinekolimnya, juga
tahun 1967.
"Kenapa Indonesia yang berpenduduk 125 juta jiwa mau menyerah
kepada Malaysia yang hanya berpenduduk 10 juta?" sela seorang
tokoh politik lainnya pula, masih dalam tahun 1967.
Tokoh-tokoh yang duduk dalam panitia ejaan terkesima. Mereka
menjawab secara "lurus tabung" saja. Maklum mereka tidak
mempolitikkan kegiatan ilmiah mereka -- satu hal yang kemudian
dianggap kekurangan kaum ilmuwan. Dihebohkanlah bahwa perubahan
huruf-huruf dalam ejaan baru bahasa Indonesia adalah tiruan
sistem ejaan bahasa Malaysia.
Panitia ejaan menjawab, sebenarnya tidak demikian. Karena ejaan
Malaysia pun mengalami perubahan banyak pula. Antara lain: ch
menjadi c, sh menjadi sy, sa menjadi se, ka menjadi ke, o
menjadi u (burong -- burung), e menjadi i (kaseh -- kasih), dan
beberapa ratus kata yang harus berubah penulisannya seperti ayer
menjadi air, di samping perubahan penulisan kata depan di dan
ke, awalan di dan ke, serta se yang tidak lagi memakai tanda
sempang.
Perubahan yang banyak inilah yang menimbulkan reaksi pula di
Malaysia. "Mengapa Malaysia harus menyerah kepada Indonesia?
Apakah tanpa mengalah, bahasa Malaysia akan rusak? Mengapa
Malaysia mencari-cari pasal untuk mempersukar diri sendiri?"
Kerepotan yang dialami Malaysia dalam menerangkan konsep ejaan
baru tersebut kepada masyarakatnya tidak kalah pula dengan
kerepotan Indonesia. Tantangan yang hebat ialah terhadap ch yang
dijadikan c dan sh menjadi sy tersebut. Menteri-menteri
pendidikan kedua negara turun tangan memberikan keterangan.
Menteri P & K RI, Mashuri, S.H., sampai perlu menerangkan dalam
sidang DPR dan Kabinet, bahwa usaha penyempurnaan ejaan bahasa
Indonesia itu merupakan landasan usaha pembakuan tata bahasa,
istilah, dan perkamusan bahasa Indonesia. Jadi bertolak dari
kebutuhan bahasa Indonesia sendiri. Bahwa di samping itu usaha
tersebut dapat pula dimanfaatkan untuk menyusun ejaan bersama
dengan negara tetangga, adalah perkara kedua -- yang kemudian
ternyata amat besar artinya, bagi usaha bersama penjayaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia dan bahasa Melayu
sebagai bahasa kebangsaan di Malaysia.
Agaknya lafal gi pada biologi atau sosiologi, misalnya (dalam
karangan ini tanda-tanda fonetik tidak digunakan) yang sudah
disetujui bersama dibunyikan gi seperti pada kata gigi, dianggap
sebagai "penyerahan" kepada Indonesia. Mungkin pula lafal dan
ejaan Malaysia untuk istilah asing psychology, yang di Malaysia
dituliskan saikoloji lalu sekarang disetujui menjadi psikologi,
dianggap tanda "kemenangan" Indonesia.
Yang jelas pembahasan mendalam dan berulang-ulang antara ahli
bahasa dan ahli bidang-bidang istilah tersebut dari kedua pihak
telah berlangsung sejak 1972 -- melalui Majelis Bahasa
Indonesia-Malaysia yang bersidang dua kali setahun. Tentunya
penetapan psikologi telah dipikirkan masak-masak di antara
pilihan psychologi, psichologi, psikhologi, dan saikoloji,
berdasar Pedoman Pembentukan Istilah yang telah disetuui
bersama pula.
Pada permulaan tentu ada kesulitan untuk membiasakan diri dengan
istilah-istilah baru. Dapat dipahami ada sedikit kesukaran
mengucapkan psikologi bagi orang Malaysia didikan Inggris,
karena harus membunyikan p pada awal kata, lalu sai menjadi si,
dan ji menjadi gi. Tetapi soalnya memang pembiasaan. Orang
Indonesla hasil didikan Belanda pun sering mengalami kesukaran
melafalkan gi pada psikologi atau biologi. Sampai hari ini
berapa banyak orang Indonesia yang masih melafalkan g menurut g
bahasa Belanda yang mirip kh itu. Ini juga bukan tidak dapat
diatasi.
Bahasa-bahasa Indonesia dan Malaysia adalah dua bahasa yang
berkembang dari dasar yang sama, bahasa Melayu. Wajar bila kedua
bahasa yang makin mendapat perhatian di Asia dan beberapa bagian
dunia lainnya ini diusahakan terus memiliki kaidah-kaidah yang
sama, tanpa melupakan hal-hal yang memang tidak mungkin atau
tidak perlu disamakan.
Datuk Khalil Yaakob, wakil Menteri Pelajaran Malaysia, menjawab
tanggapan anggota parlemen itu menyatakan: Indonesia dan
Malaysia memang mempunyai hubungan kerja sama yang rapat dalam
bidang pembinaan bahasa nasional masing-masing. Memang, bukan
soal kalah menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini