KESIMPANGSIURAN eksekusi di peradilan perdata sudah tak terhitung dengan jari. Tapi, kali ini, Mahkamah Agung sempat tiga kali menegur Pengadilan Negeri Magelang, Jawa Tengah, karena tidak mengindahkan perintah pengembalian rumah milik Tergugat Winston Wijaya, yang telanjur dieksekusi pengadilan bawahan itu. Sebab, eksekusi itu dianggap MA keliru. Ternyata, sampai pekan lalu, Winston belum menerima kembali rumahnya. "Kalau surat Mahkamah Agung saja tidak ditanggapi pengadilan, apalagi permohonan orang-orang biasa yang kebetulan dirugikan," ujar Pengacara O.C. Kaligis, pembela Winston. Ia menganggap Pengadilan Negeri Magelang membangkang terhadap keputusan atasannya. Hakim Agung Pengawas Daerah (Haswasda) Jawa Tengah Gunawan membenarkan adanya kasus "pembangkangan" itu. "Kasus tersebut terjadi sebelum saya menjabat Haswasda, jadi masih saya pelajari," katanya. Ia menambahkan, setiap pembangkangan seperti itu ada sanksinya. Pembangkangan? Ketua Pengadilan Negeri Magelang Nyonya Sirtufillahelly tampak tersinggung mendengar kata-kata itu. "Itu kata pihak Winston," ujar Sirtu. Ia malah menganggap Winston yang membangkang kepada pengadilan. Dua kali panggilan, kata hakim wanita itu, Winston selalu diwakili kuasanya. "Perkara ini masih dalam proses, saya belum bisa menjelaskannya. Nanti saya disalahkan," tambah Sirtu. Perkara yang kini menjadi rumit itu sesungguhnya bermula dari sebuah perkara sederhana, sepuluh tahun lalu. Semula, Winston berkongsi dagang tembakau dengan Sun Fa, dan mertuanya, Tan Tik Kong. Ketika sang mertua meninggal pada 1972, kedua mantunya, Winston dan Sun Fa, bersengketa. Konon, kata Sun Fa, Winston mau menguasai sendiri barang dagangan bersama tersebut. Sebab itu, ia menahan tembakau milik kongsi di gudangnya. Pada 1974, perkara bermuara di pengadilan. Dalam sebuah putusan sela di Pengadilan Negeri Magelang ditetapkan sebagian tembakau di gudang Sun Fa diserahkan kepada Winston. Tapi Winston mengambil seluruhnya, termasuk bagian Sun Fa senilai Rp 40 juta. Sun Fa mengaku tidak keberatan atas penjualan tembakau yang menjadi bagiannya, karena Winston, pada 22 September 1975, telah membuat surat pernyataan yang menjaminkan rumahnya di Jalan Pemuda No. 72, Muntilan. "Ketika melaporkan kasus itu ke Mahkamah Agung, Winston tidak melampirkan surat pernyataan tersebut. Jadi, dia sudah membohongi mahkamah," ujar M. Dalhar, pengacara Sun Fa. Winston mengaku memang membuat surat pernyataan untuk jaminan eksekusi itu. Tapi, katan I, surat jaminan itu dibuat hanya untuk syarat terlaksananya keputusan sela pengadilan: agar tembakau yang disengketakan bisa dilelang dulu. "Bukan untuk jaminan sampai perkara selesai diputus Mahkamah Agung," ujar Winston. Kecuali itu, katanya, surat jaminan tersebut sudah pernah ditetapkan Ketua Pengadilan Negeri Magelang (1981) Nyonya Hensyah Sayhlani tidak diperlukan lagi. Belakangan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung memutuskan semua tembakau seberat 10.227 kg itu milik Sun Fa. Tentu saja, Sun Fa menagih haknya yang telanjur dilego Winston. "Empat kali saya meminta eksekusi ke pengadilan, tapi tidak bisa dilakukan karena tembakau sengketa itu sudah terjual," ujar Sun Fa. Ketua Pengadilan Negeri Magelang (1984) Nyonya Ietje Saparinah Sutioto akhirnya memutuskan eksekusi bisa dilakukan atas rumah Winston. Pengadilan, pada Agustus 1984, melaksanakan eksekusi lelang atas rumah Winston. Setelah lelang terjadi, dan Sun Fa, yang memenangkan perkara, mendapat sertifikat baru dari Kantor Agraria setempat, barulah urat Mahkamah Agung tertanggal 1 November terbit. Ketua Pengadilan Negeri Magelang Nyonya Sirtufillahely, seperti surat balasannya ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, menganggap tindakan Hakim Nyonya Ietje, yang digantikannya, sudah cukup hati-hati sebelum mengeksekusi rumah Winston, surat Mahkamah Agung terbit setelah eksekusi terjadi. Sebab itu, Sirtu berpendapat, perintah Mahkamah Agung tersebut perlu dipertimbangkan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini