Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki berambut merah jagung itu duduk kelelahan di pinggir trotoar salah satu sisi Alun-alun Selatan, Yogyakarta. Wajahnya memerah dan napasnya terengah-engah. Beberapa orang datang menghampiri dan memberi ucapan selamat. Dia menjawab seperlunya sambil melemparkan senyum.
Dialah Hossein Askari, pembalap asal Iran yang memperkuat klub Giant Asia Racing Team dari Taiwan. Rabu pekan lalu, Askari baru saja menuntaskan etape ke-3 balap sepeda Dji Sam Soe Tour d’Indonesia 2005. Dia menyisihkan para pesaingnya dan menang di etape Purwokerto-Yogyakarta itu.
Setelah itu, tak satu pembalap pun yang mampu menurunkan Askari dari puncak klasemen hingga etape terakhir. Dia menyelesaikan sembilan etape dengan total waktu 36 jam, 1 menit, 43 detik. Askari unggul 43 detik atas rekan satu timnya, Paul Griffin (Irlandia). Posisi ketiga ditempati oleh pembalap Kazakhstan, Vycheslav Dynadichkin dari Polygon Sweet Nice (Surabaya). Dengan hasil itu, Askari berhak membawa pulang hadiah sekitar Rp 67 juta.
Gelar yang diraih Askari melengkapi prestasi Giant Asia dalam Tour Bandung-Denpasar kali ini. Giant yang diperkuat Askari, Ghader Mizbani, dan Paul Griffin, tampil sebagai tim terbaik dengan total waktu 108:09:18 detik. Urutan kedua dan ketiga ditempati Polygon Sweet Nice dan Purapharm (Hong Kong). Sebagai tim terbaik, Giant mendapat hadiah Rp 90 juta.
Dari pembalap Indonesia, tidak satu pun yang meraih gelar juara. Harapan sempat disandarkan pada Rochmat Nugraha untuk merebut gelar kategori sprint. Di etape ke-7 (Malang-Jember) dia memborong 15 poin dari 3 intermediate sprint. Sayang, di etape berikutnya dia gagal mengulangi catatan terbaiknya itu. Gelar juara sprint akhirnya disabet pembalap Rhyan Tanguilic dari Casino Filipino Pro Cycling (Filipina), yang mengumpulkan 22 poin.
Satu-satunya gelar juara hanya diperoleh Ryan Ariehaan. Itu pun untuk kategori nasional. Pembalap yang memperkuat klub Dodol Picnic Cycling Team ini mencetak waktu tercepat dari seluruh pembalap Tanah Air dengan 36 jam 4 menit dan 6 detik.
Dominasi pembalap-pembalap asing di Tour d’Indonesia memang terasa kental. Seolah-olah mereka menutup peluang bagi pembalap Indonesia untuk mengukir prestasi di rumah sendiri. Padahal, tahun lalu, tuan rumah mendapat tiga gelar dari Amin Suryana (etape pertama), Ryan Ariehaan (etape ke-6), dan Rochmat Nugraha (etape ke-9).
Manajer tim Dodol Picnic, Tomas, tidak kecewa dengan prestasi pembalap-pembalapnya. Sejak awal timnya memang tidak menetapkan target apa pun pada pembalapnya. Apalagi, persaingan saat ini memang cukup berat dengan hadirnya pembalappembalap profesional divisi tiga. ”Kualitas dan jam terbang mereka di atas pembalap nasional yang terhitung masih amatir. Jadi, saya sangat surprised ternyata anak-anak bisa memberikan perlawanan,” kata Tomas.
Perbedaan ”kelas” antara pembalap nasional dan pembalap-pembalap luar membuat persaingan tidak imbang. ”Siapa sih yang tidak ingin juara? Tapi memang kelas kami di bawah mereka,” kata pembalap nasional Wandra Suwandara.
Tour d’Indonesia tahun ini sudah masuk kalender kegiatan Organisasi Balap Sepeda Internasional (UCI). Dengan pengakuan itu, tur menjadi incaran pembalap-pembalap divisi tiga untuk menambah poin.
Hal itu juga diakui oleh manajer Giant, Million Yu. Dengan meraih gelar sebagai tim terbaik, Giant mendapat tambahan poin untuk modal masuk ke divisi yang lebih tinggi. Setelah Tour d’Indonesia, tim ini akan bertolak ke Irak untuk memenuhi target yang sama. Mereka berharap dapat segera masuk ke divisi satu agar bisa tampil di tur-tur bergengsi tingkat internasional seperti Tour de France. Klub yang didirikan pada 2002 itu diperkuat lima pembalap dari Irlandia, Iran, Italia, dan Taiwan. Saat ini Giant menjadi salah satu tim raksasa di Asia.
Persaingan yang tidak imbang ini tidak luput dari pengamatan pengawas perlombaan dari Malaysia, Jamaluddin Mahmood. Dia melihat kecenderungan pembalap tuan rumah enggan bersaing dengan pembalap-pembalap asing. Persaingan keras justru terjadi antara sesama pembalap tuan rumah. ”Masing-masing ingin menonjol sendiri. Jadi, tidak ada kerja sama pembalap, walaupun sama-sama dari Indonesia,” katanya.
Ryan Ariehaan membenarkan. ”Saya sendiri lebih mengutamakan persaingan dengan sesama pembalap nasional,” katanya. Repotnya, sebagai atlet pelatnas (pemusatan latihan nasional), dia justru mendapat perlawanan keras dari pembalap-pembalap non-pelatnas. ”Ada kebanggaan tersendiri jika mampu mengalahkan atlet pelatnas,” ujarnya.
Padahal, untuk menghadapi pembalap sekelas pembalap dari tim Giant, amat diperlukan kerja sama tim dan juga antartim. Yang terjadi, pembalap Indonesia cenderung melaju sendiri-sendiri. Inilah pelajaran penting dari tur kali ini. ”Balap sepeda bukan olahraga yang sekadar mengandalkan otot, tapi juga strategi,” kata Mahmood.
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo