WILLY Warokka, Sekjen Persatuan Tenis Meja Indonesia, kelihatan
murung tiba di J akarta. Dari Kejuaraan Dunia Tenis meja (14-27
April) di Novi Sad, Yugoslavia, ia membawa kabar buruk. Setelah
dikalahkan Uni Soviet, kedudukan regu putra Indonesia terlempar
dari Divisi I ke Divisi II. Sedang regu putri, yang masih di
Divisi II, kini masuk urutan kesepuluh -- dari sebelumnya
keenam.
Serangan flu, menurut Warokka, menghambat gerak maju regu putra.
Hampir sebagian besar pemain, terutama Gunawan Suteja, andalan
utama terserang flu cukup berat. Karenanya, demikian Warokka,
anak asuhannya tak mampu membendung gempuran regu Soviet yang di
atas kertas kemampuannya berada di bawah Indonesia.
Kekalahan menyolok itu tentu mengejutkan karena jauh sebelum
turun di Novi Sad regu putra Indonesia sudah berlatih sebulan di
Budapest (Hungaria) dan dua bulan di Seoul (Korea Selatan).
Budapest sengaja dipilih karena dalam Kejuaraan Dunia Tenis Meja
di Pyongyang (1979), regu putra Hungaria tampil sebagal juara
mcllulldukkan RRC. Di Budapest itulah keenam pemain Indonesia
tadi memperoleh kesempatan menjajal kemampuan sejumlah pemain
dunia Hungaria -- antara lain Tibor Klampar, 26 tahun.
Adalah di Pyongyang, dua tahun lalu, regu putra Indonesia
meloncat dari Divisi II ke Divisi I sementara regu putri tetap
berada di urutan keenam Divisi II. Pelatih Sugeng Utomo ketika
itu menyebut perlunya suatu kaderisasi buat meningkatkan
kualitas pemain.
Sinyo Supit, laisal Raehman, Gunawan Suteja, dan Abdul Rodjak
merupakan pemain lama katanya, tapi masih harus diturunkan juga.
Di bagian putri, Ambar Maladi, Ny. Diana Wuisan dan Beatrix
Pieterz merupakan muka lama yang masih juga bertanding di Novi
Sad.
Warokka sudah menyadari kelemahan pembibitan. Ia mengakui bahwa
pembinaan atlet tenis meja hanya dilakukan secara musiman.
Selain pemain, ia mengusulkan agar pembina tenis meja pun juga
diprofesionalkan. Kabarnya pengurus pusat KONI menyetujui usul
itu. Yang jelas Ketua Umum PTMSI, Ali Said, akan menaruh
perhatian lebih besar dalam soal pembibitan itu. "Masakan dari
147 juta lebih rakyat, Indonesia tidak bisa memiliki 100 pemain
nasional," katanya. Jumlah pemain tenis meja nasional memang
cuma 16 putra dan 8 putri.
Kesulitan lain yang dihadapi PTMSI, demikian Ketua Ali Said,
olahraga tenis meja kurang menarik sponsor. Sangat jarang memang
perusahaan besar mau jadi sponsornya -- sangat berbeda halnya di
sepakbola dan bulutangkis. "Mau tak mau pula pembinaannya kini
bersifat full amateur," sebut Ali Said. Sekalipun demikian,
Warokka memuji upaya sang ketua yang banyak membantu mencarikan
dana buat latihan di Seoul dan Budapest tempo hari. "Banyak
urusan nonteknis justru diperhatikan beliau," sambut Warokka.
Sementara Indonesia sedang berpikir, RRC sudah meremajakan para
pemainnya. Dalam kejuaraan di Novi Sad itu, RRC menjuarai nomor
tunggal putra/putri, ganda putra/putri, ganda campuran sekaligus
juara beregu putra/putri. Di arena itu Guo Yuehua, 25 tahun,
seorang guru, tampil sebagai pemain tunggal putri juara dunia.
Di final ia berhadapan dengan rekan senegaranya, Cao Zhenhua, 18
tahun, menyuguhkan suatu permainan mengagumkan. Kejuaraan di
Novi Sad itu diikuti 457 pemain dari 59 negara.
Dari Novi Sad itu, Federasi Tenis Meja Internasional (ITTF) akan
berusaha memasukkan tenis meja sebagai cabang olahraga yang
dipertandingkan di Olympiade. Suatu rapat Komite Olympiade
Internasioal di Baden-Baden, Jerman Barat, akan memutuskannya
September mendatang, "Jika Olympiade 1988 jadi dilangsungkan di
Nagoya, Jepang, kami punya peluang tenis meja dimasukkan dalam
Olympiade," ujar Roy Evans, Presiden ITTF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini