APA yang dikhawatirkan negara-negara penghasil minyak akhirnya
terjadi juga. OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak
mentah, akhirnya harus menelan kenyataan pahit, bahwa kekuatan
dunia untuk menerima lagi kenaikan harga minyak ada batasnya.
Menjelang pertemuan OPEC di Jenewa 25 Mei nanti, organisasi yang
berangotakan 13 negara itu menhadapi keadaan yang terpaksa
harus mereka terima. Akibat masih adanya resesi dan usaha
penghematan energi yang secara gencar dilakukan negara-negara
industri dunia dewasa ini kelebihan minyak mentah sekitar 2Ih
juta barrel sehari.
Tahun lalu konsumsi minyak dunia sudah turun dengan 6%, dan
Badan Energi Internasional (IEA) yang bermarkas di Paris
memperkirakan tahun ini konsumsiminyak dunia paling sedikit akan
turun dengan jumlah yang sama. Konsumsi minyak dunia yang
berasal dari OPEC turun menjadi 25 juta barrel sehari tahun
lalu, dari 32 juta barrel sehari.
Kenyataan pengurangan konsumsi itu oleh kalangan OPEC diakui
akibat tindakan organisasi itu untuk secara teratur menaikkan
harga minyak, tanpa diikuti suatu pengaturan produksi. Maka,
seperti diakui oleh Menteri Pertambangan dan Energi Subroto
ketika melantik direksi baru Pertamina 20 April, "bukannya tidak
mungkin negara-negara OPEC akan dituntut untuk menurunkan volume
produksi mereka, yang tentu akan membawa pengaruh bagi
Indonesia."
OPEC sendiri tidak ingin berunding tentang pengaturan produksi.
Dan yang paling gigih menentangnya adalah Menteri Minyak Arab
Saudi, Sheikh Zaki Yamani, dengan alasan agar OPEC tidak dituduh
berlaku sebagai suatu kartel produksi. Ketentuan tersebut,
sesuai dengan keputusan konperensi OPEC di Bali pertengahan
Desember tahun lalu, tetap dipatuhi. Tapi yang pasti, seperti
diakui berbagai kalangan OPEC, kenaikan harga minyak itu
berlangsung terlalu cepat, hingga negara-negara industri dengan
cepat pula mengatur siasat untuk beralih ke energi lain.
Fadhil al-Chalabi, Wakil Sekjen OPEC dari Irak memperingatkan
"Kenaikan harga minyak yang cepat akan mempercepat proses
perpindahan penggunaan minyak ke bahan lain oleh negara-negara
industri." Suara orang Irak ini sejalan dengan peringatan Zaki
Yamani: "Kalau kita memaksa Barat untuk menggunakan energi lain,
mereka akan melakukannya."
Kritis
Tapi senior OPEC itu rupanya tak berhenti pada mengingatkan
rekan-rekannya. Tindakan Arab Saudi yang terakhir, yakni
menurunkan harga minyak untuk pertolongan masa perang
(Iran-lrak) dengan US$ 2 per barrel, menjadi US$ 34 per barrel,
sungguh memukul banyak negara penghasil minyak. SeKalipun jumlah
minyak itu hanya 600.000 barrel sehari (1 barrel kurang lebih
159 liter)
Di atas itu Arab Saudi masih tetap membanjiri dunia dengan 10,3
juta barrel sehari. Mereka, sesuai dengan keputusan sidang di
Bali, tetap mempertahankan harga patokan US$ 32 per barrel untuk
jenis Saudi Arabian Ligh. Sedang para anggota yang lain
rata-rata memasang harga US$ 36 per barrel, berikut premium --
pungutan ekstra karena perbedaan kualitas dan jarak angkutan.
Pungutan ekstra itu berkisar dari US$ 2 sampai US$ 5 per barrel.
Adalah Kuwait yang pertama merasakan akibat tindakan Saudi itu.
Mereka terpaksa menurunkan premium yang dljual kepada tiga
perusahaan, masing-masing British Petroleum, Gulf Oil dan Royal
Dutch/Shell. Sebelumnya Kuwait minta kenaikan premium menjadi
US$ 5,50 per barrel, tapi ketiga maskapai minyac itu menolak.
Akhirnya, setelah melakukan perundingan yang gigih, Kuwait
dipaksa untuk setuju menerima premium US$ 2 per barrel.
Perusahaan Atlantic Ritchfield secara sepihak telah membatalkan
kontrak pembelian 50.000 barrel sehari dengan Nigeria. Ini suatu
tindakan yang tak terbayangkan beberapa waktu lalu. Akibatnya
negara penghasil minyak paling besar di Afrika itu kehilangan
US$ 900 juta.
Menteri Energi Venezuela, Humberto Calderon Berti, pekan lalu
mengakui pasaran minyak sekarang mendekati suatu situasi
"kritis" bagi OPEC. Namun begitu Venezuela belum memandang perlu
untuk menurunkan harga minyak mereka. Gerakan turunkan harga
dengan US$ 2 per barrel yang dilakukan oleh negara-negara
seperti Meksiko, Malaysia dan Equador, menurut Berti, karena
para eksportir minyak itu telah memasang harga jauh di atas yang
disepakati OPEC di Bali.
Benarkah?
Indonesia yang kini menghasilkan sekitar 1,6 juta barrel sehari,
juga akan mengikuti jejak Venezuela. Sehari sebelum bertolak ke
Kuala Lumpur awal pekan lalu untuk menghadiri sidang Menteri
Energi ASEAN, Subroto yang masih akan memimpin sidang OPEC, di
Jenewa, mengatakan harga minyak Indonesia tak akan terpengaruh
dengan tindakan Arab Saudi. Benarkah?
Harga minyak jenis Sumatran Light atau Minas Crude yang paling
banyak diproduksikan di sini, mencapai US$ 35 per barrel.
Sehingga harga minyak Indonesia pukul rata berkisar sekitar US$
35,50 per barrel. Berikut premium, ekspor minyak dari Indonesia
jatuh pada US$ 37 per barrel.
Beberapa sumber minyak asing di Jakarta mendukung pendapat
Subroto. Tapi menurut mereka, Indonesia terpaksa harus
mengurangi premium mereka dengan minimal US$ 0,50 per barrel,
menjadi US$ 1,50 per barrel.
Dari perkembangan tersebut bisa diramalkan OPEC tak akan
menaikkan harga minyak mereka tahun ini. Menteri Perminyakan
Kuwait Ali al-Khalifa al-Saba memperingatkan, "kalau anda akan
menaikkan harga lagi, maka permintaan minyak akan turun." Bahkan
Lybia, anggota sayap keras, tak lagi lantang suaranya. "Bila
produsen yang lain setuju, kami akan setuju untuk membekukan
harga minyak dalam sidane di Jenewa," kata Abdul Salam
al-Zagaar, Menteri Perminyakan Lybia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini