STADION Brawijaya, Kediri, terus dibedaki. Lembaran-lembaran rumput hijau ditata apik. Mesin penggilas jalan lalu meratakan dan merapatkannya di hamparan tanah basah. Tribun penontonnya juga dipoles. Pun kamar ganti dan ruang tunggu pemain. Kesibukan para tukang dan pekerja di sana dua pekan lalu seolah berpacu dengan kompetisi Liga Indonesia IX, yang segera bergulir.
Keburu? Ternyata tidak. Liga Indonesia sudah berderak hari Minggu lalu, tapi stadion itu diperkirakan baru selesai disulap pada pertengahan bulan depan. Terpaksa kesebelasan Persik Kediri harus memindahkan empat pertandingan kandangnya ke Stadion Surajaya di Lamongan, Jawa Timur.
Bukan berarti Persik, yang baru masuk divisi utama, kurang serius mempersiapkan diri. Tim berjuluk ?Macan Putih? ini cukup antusias menghadapi Liga Indonesia musim ini. Apalagi Persik telah diguyur dana dari pemerintah Kota Kediri sebesar Rp 5 miliar untuk renovasi stadion dan belanja pemain. Ini belum termasuk dana yang diperoleh dari Gudang Garam, produsen rokok terbesar di Indonesia, yang menjadi sponsornya.
Untuk memperkuat tim, Macan Putih membeli dua pemain asing asal Nigeria dan beberapa pemain pilar Arema. Dukungan dari suporter pun dipersiapkan. Para pemainnya melakukan safari ke beberapa kabupaten di wilayah bekas keresidenan Kediri untuk memperkenalkan diri. ?Kami memang belum sepopuler Persebaya atau Arema,? kata Iwan Budianto, manajernya. Tapi dia optimistis tim Persik akan menyedot banyak penonton.
Faktor penonton amat penting karena kompetisi Liga Indonesia kali ini berbeda dengan sebelumnya, hanya ada satu wilayah. Persik akan bertarung melawan 19 tim lainnya dengan sistem kompetisi penuh, bertanding di kandang dan tandang. Jumlah pertandingan yang dimainkan pun membengkak menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan sebelumnya. Akibatnya, tim yang bisa menyedot banyak penonton, terutama pada pertandingan kandang, akan beruntung. Pendapatan yang didapat dari hasil penjualan karcis akan membengkak.
Pemakaian kompetisi satu wilayah sekarang merupakan desakan dari 17 tim yang berlaga. Alasannya, sistem dua wilayah selalu membuat klub menombok. Karena tim dibagi dalam dua wilayah, jumlah pertandingannya lebih sedikit. Pendapatan yang didapat dari karcis penonton ataupun duit dari sponsor tak cukup untuk membiayai tim.
Dengan sistem baru, kini klub-klub menaruh harapan baru. Iwan Budianto yakin, Persik mampu mengeruk minimal Rp 1 miliar dari penonton. Hitung-hitungannya gampang. Jika dalam setiap pertandingan kandang sebanyak 10 ribu penonton membeli karcis seharga Rp 10 ribu, akan diperoleh duit Rp 100 juta. Padahal Persik punya kesempatan menggelar pertandingan kandang 19 kali. Kalaupun penontonnya merosot sampai 6.000, target itu masih bisa diburu.
Klub Arema, yang selama ini diimpit masalah keuangan, pun kini bersorak. Manajernya, Lucky Acub Zainal, sudah menghitung pendapatan yang disabetnya. Dari pertandingan kandang, diperkirakan bakal terkumpul uang sekitar Rp 2 miliar. Soalnya, ?Kami punya 35 ribu suporter fanatik,? kata Lucky. Ditambah uang dari sponsor dan bantuan dari Pemerintah Daerah Kota Malang, di akhir kompetisi klub ini bakal kelebihan uang sekitar Rp 200 juta. Sebaliknya, kalau memakai sistem kompetisi dua wilayah, diperkirakan Arema harus menomboki Rp 400 juta.
Target prestasi? Arema tak berharap terlalu muluk. Apalagi, menjelang kompetisi dimulai, tiga pemain asingnya harus pulang karena masalah izin tinggal dan izin kerja yang belum beres. Dengan modal delapan pemain senior ditambah 20 pemain baru, tim ini hanya memasang target bisa bertahan di divisi utama. Soalnya, kata Lucky, begitu tim ini terdepak ke divisi satu, jangan bermimpi penonton mau datang ke stadion melihat pertandingan mereka.
Tiada pendapatan tanpa pengorbanan. Konsekuensi dari sistem kompetisi yang baru, tiap klub diwajibkan membiayai sendiri pertandingan tandang mereka di mana pun tempatnya. Satu lagi risiko yang mesti dihadapi, dana yang dipakai buat menggaji pemain semakin membengkak karena kompetisi berlangsung lebih lama. Bahkan diperkirakan sebuah klub bisa menghabiskan Rp 9 miliar untuk gaji pemain plus biaya pertandingan dalam satu musim kompetisi.
Tidak mengherankan jika ada tiga tim yang sempat menolak kompetisi satu wilayah. Mereka antara lain Persib Bandung, Pelita Krakatau Steel, dan Persikota Tangerang. ?Mengongkosi kompetisi dua wilayah saja berat, apalagi satu,? demikian keluhan Gugum Gumbira, Manajer Persib. Persikota malah baru memberikan keputusan ikut tiga hari sebelum kompetisi bergulir.
Membengkaknya biaya yang ditanggung klub dikhawatirkan bakal merusak jalannya kompetisi. Tim yang kehabisan uang atau sudah pasti masuk kotak degradasi bisa-bisa memilih mundur di tengah kompetisi. Untuk menghindari kejadian itu, semua klub peserta wajib menyerahkan bukti jaminan bank ke PSSI.
Sanksi tegas juga akan diberlakukan. Klub yang mundur di putaran pertama bakal dikenai denda Rp 100 juta. Jika mereka mundur di jeda kompetisi dan di putaran kedua, akan didenda Rp 125 juta dan Rp 150 juta.
Untuk mengurangi beban biaya, setiap tim mendapat jatah dari sponsor utama kompetisi. Jatah yang didapat tim bergantung pada letak geografisnya, yang berpengaruh pada biaya transportasi yang harus dikeluarkan. Setiap tim dari Pulau Jawa akan memperoleh dana Rp 375 juta, sementara klub di luar Jawa mendapat bagian Rp 425 juta. Khusus tim Persipura, yang paling terpencil, memperoleh jatah Rp 1 miliar.
Dengan sistem baru ini, gebyar putaran final di Senayan tiada lagi. Seperti Liga Italia atau Liga Inggris, tim yang mengumpulkan poin terbanyak otomatis menjadi juara. Untuk itulah, kata bekas pemain nasional Ronny Pattinasarani, diperlukan kesiapan fisik dan mental pemain untuk menempuh pertandingan yang panjang dan melelahkan.
Hanya tim yang benar-benar siap, termasuk dalam soal dana, yang akan bisa bernapas panjang. Menurut Ronny, mereka akan bisa bertahan jika setiap pertandingan kandangnya dibanjiri penonton. Paling tidak sebanyak 70 persen dari kapasitas stadion (rata-rata untuk 20 ribu penonton) terisi. ?Itu pun dengan asumsi hanya 20 persen penonton yang masuk tanpa karcis,? ujarnya.
Menekan jumlah penonton tak berkarcis memang menjadi kunci klub-klub untuk memperoleh pendapatan maksimal. Persik Kediri tentu paham hal ini. Karena itu, stadion markasnya tak habis-habisnya dirapikan.
Agung Rulianto, Kukuh S. Wibowo, Ayu Cipta (Tangerang), Dwijo Maksum (Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini