Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subsidi, bagi para ekonom, tak jauh bedanya dengan narkotik. Efek ketergantungan pada penerimanya mudah terbentuk, kendati semua orang tahu pada akhirnya subsidi akan membunuh ekonomi. Itu sebabnya penyakit ketergantungan pada subsidi biasanya terjadi pada negara yang memiliki dua kecenderungan utama: punya kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan rezim pemerintahan yang otoriter, yang tak peduli membuang kekayaan dan masa depan bangsanya demi mempertahankan kekuasaan.
Indonesia pernah menjadi negara seperti itu. Tapi dua syarat penunjangnya runtuh sudah. Kekayaan hutan tropis yang permai dan minyak yang pernah melimpah tak lagi dapat diandalkan. Krisis moneter juga menyebabkan rezim otoriter terhanyutkan. Lantas gerakan reformasi pun digulirkan, antara lain, untuk mengeluarkan negeri ini dari jerat memabukkan itu. Jelas bukan soal mudah. Sulitnya setara dengan mencoba menyembuhkan mereka yang terbiasa menikmati madat.
Mencabutnya secara tiba-tiba pasti melahirkan dampak yang mengiris ulu hati: penderitaan yang bertumpuk-tumpuk, terutama bagi mereka yang kecanduannya telah berat. Maka godaan untuk mempertahankan subsidi memang mudah membius, tapi taruhannya bukan main-main. Bebas subsidi menjanjikan masa depan yang sehat dan cerah namun mesti dibayar oleh penderitaan masa transisi yang teramat sakit. Sementara itu, menunda subsidi ibarat menyuntikkan morfin pada orang yang sedang sakaw: memberikan rasa nikmat dan mengubur dahaga sesaat sehingga suramnya masa depan langsung terlupakan.
Itu sebabnya upaya menyapih masyarakat dari kecanduan subsidi tak dapat dilakukan semena-mena. Harus dibedakan perlakuan terhadap mereka yang seharusnya diharamkan menerima subsidi dan kalangan yang memang patut mendapatkannya. Ibarat morfin yang dibutuhkan untuk mereka yang memang sedang menderita sakit tak tertahankan, subsidi adalah kebutuhan vital bagi kalangan yang berada di bawah garis kemiskinan.
Walhasil, dalam logika ekonomi, kebijakan Presiden Megawati untuk mencabut subsidi sudahlah berada di jalan yang benar. Namun pelaksanaan keputusan ini, sayang sungguh sayang, jauh dari predikat terpuji. Sosialisasi yang minim dan tak efektif, pembagian beban yang jauh dari rasa keadilan masyarakat, dan ketidakpekaan terhadap kondisi sulit orang ramai membuat keputusan ini terasa sebagai sebuah ke(tidak)bijakan.
Simaklah bagaimana pengumuman kenaikan serentak tarif telepon, listrik, dan harga bahan bakar minyak. Pemerintah terkesan melakukannya semata-mata dengan hanya mempertimbangkan neraca anggaran negara, tanpa memikirkan dampaknya bagi keseimbangan anggaran rumah tangga jutaan orang miskin. Kesan ini betul-betul menyedihkan karena sebenarnya anggaran paket kompensasi bagi orang miskin sudah disiapkan. Sayangnya, persiapan itu kelihatannya hanya berhenti di atas kertas. Akibatnya, pelaksanaan misi mulia ini terasa bagaikan reaksi panik setelah protes kenaikan harga marak di berbagai penjuru negeri.
Apalagi kepanikan memang kemudian melanda pemerintah. Indikasinya terlihat dari dibatalkannya kunjungan Presiden Megawati ke Poso dan kemudian penangguhan kenaikan tarif telepon. Sebelumnya, kecemasan meruap di kalangan dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hanya sehari setelah sang Ketua Umum menyatakan tekadnya untuk mempertahankan kebijakan penghapusan subsidi dalam Kongres PDIP di Bali, ketua fraksi partai ini di parlemen telah menyatakan penentangannya atas keputusan pemerintah tersebut. Setelah itu, konsultasi dengan DPR pun membuahkan pernyataan pemerintah yang bersedia mengkaji ulang keputusannya.
Belum jelas benar apa yang dimaksud dengan pengkajian ulang itu. Namun, bila keputusan penangguhan kenaikan tarif telepon yang jadi model, ini berarti pemerintah gagal membebaskan rakyatnya dari candu subsidi. Selain itu, kredibilitas Presiden Mega dan para pembantu dekatnya juga akan mengalami guncangan hebat. Bagaimana tidak. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sempat sembilan kali muncul di layar TV menyatakan pemakai telepon di Indonesia adalah minoritas yang kaya-kaya, karena itu kenaikan tarifnya justru akan membantu PT Telkom membangun jaringan bagi yang lebih miskin. Kini, dengan penangguhan kenaikan tarif telepon?apalagi jika tanpa penurunan kembali harga minyak tanah, solar, dan tarif listrik rumah tangga sederhana?pemerintah sulit mengelak dari tuduhan sebagai pembawa kepentingan orang kaya.
Ini ironis. Terutama karena Presiden Megawati adalah ketua umum partai yang mempromosikan dirinya sebagai partai wong cilik. Karena itu, supaya tak dituduh telah menjadi pimpinan partai wong gede, Megawati harus segera turun tangan mengusung berbagai subsidi langsung ke rakyat miskin. Ia juga harus cekatan menindak semua pelaku korup yang sedang jadi sorotan orang banyak dan memberi contoh hidup lebih sederhana.
Semua kegiatan ini, kecuali hidup sederhana, jelas perlu biaya. Untuk mendapatkannya memang tak ada pilihan lain kecuali memangkas semua subsidi tak langsung yang lebih banyak dinikmati kaum berduit itu. Jalan maju ini pasti akan terkena protes kelas menengah di jalan-jalan. Tapi tetap lebih aman ketimbang mundur dan terjatuh ke dalam sarang kemarahan rakyat miskin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo