SEKELOMPOK orang berjanji akan melakukan sweeping terhadap warga negara Amerika Serikat di sini begitu negara superkuat itu menyerang Afghanistan. Tujuan "pembersihan": mengusir warga AS dari Indonesia. AS dianggap sudah memerangi Islam ketika (nanti) menyerang Afghanistan untuk menaklukkan Osama bin Ladin, yang diduga merontokkan World Trade Center pada 11 September lalu. Mereka yang berniat mengusir itu mungkin akan memakai cara apa saja. Sebagian lagi mengaku tidak akan memakai cara konfrontatif dan bahkan akan memakai jalur hukum untuk mengupayakan pengusiran itu.
Cara hukum? Ini saja membingungkan. Bagaimana mungkin hukum Indonesia bisa dipakai untuk mengupayakan pengusiran atas warga negara asing tanpa jelas apa "dosa" mereka yang hendak diusir itu? Dalam tata pergaulan dunia, pastilah Indonesia akan kena getah begitu warga sebuah negeri yang tidak bersalah bisa diusir begitu saja. Seorang warga negara asing bisa di-persona-non-grata-kan, misalnya, jika terbukti melakukan kegiatan spionase atau tindakan yang merugikan lainnya. Tapi apa dosa warga Amerika di sini ketika pemerintahnya, misalnya, menyerang Afghanistan?
Kita jelas rugi, dalam hal apa pun. Ekonomi rakyat kecil, contohnya. Ketika November tahun lalu sekelompok orang men-sweeping wisatawan AS di Solo, yang kena dampak tidak hanya kota itu, tapi juga Yogyakarta, bahkan juga Bali dan hampir semua daerah wisata. Padahal, di antara para perajin suvenir di berbagai daerah itu, yang paling banyak justru umat Islam yang ekonominya pas-pasan. Dalam skala yang lebih luas, investasi negara luar—tak cuma dari AS—jelas "lari" melihat betapa garangnya pengusiran terhadap wisatawan Amerika itu. Dan itu menambah parah potret kita: ada di urutan ke-34 dari 35 negara tujuan investasi.
Dari sisi pergaulan dunia, betapa buruknya citra sebuah pemerintah yang tak mampu melindungi warga negara asing di sini. Dalam konteks ini, menarik menyimak sebuah "insiden" ketika rombongan Presiden Megawati bertemu dengan parlemen AS. Seorang anggota parlemen AS bertanya: apakah pernyataan Wakil Presiden Hamzah Haz bahwa tragedi WTC akibat dosa AS sendiri itu merupakan sikap resmi pemerintah RI? Dijawab oleh Presiden Megawati: itu pernyataan pribadi Hamzah untuk konsumsi dalam negeri.
Dalam sebuah ceramah di Masjid Jami Attahiriyah, Kampung Melayu Kecil, Jakarta, yang dimuat koran pada 17 September lalu, Wakil Presiden meminta AS melakukan introspeksi dan tidak mengambinghitamkan umat Islam. Di antara ceramahnya itu ada kutipan: "Kata para kiai, setiap musibah menghapuskan dosa. Mudah-mudahan musibah ini dapat menghapuskan dosa." Ia menambahkan bahwa agama Islam tidak mengajarkan tindak ke-kerasan. Karena itu, kata dia, aksi terorisme seperti itu bukan dilakukan oleh orang Islam.
Sepatutnya pemerintah Jakarta tetap pada sikap ini, apa pun yang terjadi antara AS dan Osama bin Ladin. Kalaupun nanti Afghanistan diserang, itu pun tak boleh dijadikan alasan oleh pemerintah Jakarta untuk membenarkan sekelompok orang di negeri ini mengusir warga negara asing yang tak bersalah.
Jika harus mencontoh, lihatlah Piagam Madinah—konstitusi yang diberlakukan seusai Nabi Muhammad melakukan hijrah. Aturan kenegaraan itu sangat jelas memberikan perlindungan kepada semua warga negara, apa pun keyakinan dan agamanya. Jadi, bukankah rencana sweeping di Jakarta dan kota-kota besar lain itu seperti mencoreng-moreng wajah Islam yang sangat toleran pada umat manusia, apa pun agamanya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini