SEBUAH pepatah tua di kalangan polisi mungkin layak diberikan kepada Presiden George Walker Bush. Kalimat bijak itu berbunyi: "godaan terbesar bagi mereka yang memerangi kriminalitas adalah, secara tidak sadar, menjadi seperti yang diperanginya".
Petuah ini layak didengar Amerika Serikat, negara adikuat yang baru saja menyatakan perang terhadap terorisme. Serangan keji terhadap gedung World Trade Center dan Pentagon dengan menumbukkan pesawat penumpang komersial yang dibajak telah membuat murka pemerintah dan bangsa ter-kuat di dunia ini. Selain menyebabkan lebih dari 6.000 orang sipil tewas, serangan di jantung Amerika ini juga menyebabkan rasa aman masyarakat terguncang. Maka, wajar jika naluri untuk menjadi polisi dunia langsung terpicu dan genderang perang nyaring ditabuh.
Persoalannya sekarang adalah siapa yang diperangi dan perang seperti apa yang akan dilakukan. Bukan soal mudah untuk menjawabnya karena para pelaku tindakan keji itu telah tewas bersama para korbannya. Juga—tidak seperti kelompok teroris pada umumnya—para pelaku dan pendukungnya tidak meninggalkan pesan mengapa tindakan teror itu dilakukan.
Sementara ini, retorika dari Washington, DC, telah menunjuk hidung Osama bin Ladin dan kelompok Al-Qaidah sebagai penanggung jawab kejahatan di Selasa pagi, 11 September silam itu. Mereka, kata Presiden Bush, dan semua pihak yang mem-beri perlindungan serta dukungan pada kegiatan teror kelompok ini, akan diperangi habis oleh kekuatan Amerika Serikat dan para pendukungnya.
Bahwa siapa pun dalang di belakang peristiwa Selasa hitam itu harus dihukum seharusnya adalah sebuah keniscayaan. Namun, betapapun kemarahan kita semua atas kebiadaban tersebut, asas supremasi hukum tetap harus ditegakkan. Perburuan terhadap mereka yang berada di belakang peristiwa Selasa Hitam harus didasarkan demi membawa mereka menjalani prosedur hukum dan bukan demi balas dendam. Itu sebabnya hak hukum semua pihak yang dituduh tetap harus dihormati sampai pengadilan memberikan keputusan akhirnya.
Sebaliknya, mereka yang mengetahui kegiatan kejahatan terhadap kemanusiaan ini berkewajiban membantu membawa semua orang yang terlibat ke meja hijau. Sebab, berdiam diri atau menyembunyikan fakta yang diketahui dapat membantu penyelidikan aparat berwenang dapat diartikan sebagai tindakan melindungi penjahat.
Ketaatan kepada hukum yang berlaku ini sangat penting. Soalnya, prinsip supremasi hukum adalah landasan utama tegaknya masyarakat yang beradab. Adapun masyarakat beradab adalah musuh utama teroris, seperti sinar matahari menjadi seteru nomor wahid kalangan vampir. Karena itu, setiap kali sebuah masyarakat melanggar hukum yang berlaku—apa pun alasannya—semakin rendah kemampuannya untuk menangkal bahaya terorisme.
Dalam kerangka pemikiran seperti inilah semua pihak, terutama Amerika Serikat, diimbau agar tidak terjebak melakukan tindakan teror dalam memerangi terorisme. Imbauan ini perlu disuarakan dengan keras karena telah muncul tanda-tanda pemerintah AS akan memberlakukan standar ganda dalam menghadapi kalangan yang dituding sebagai kelompok teroris. Badan pusat intelijen (CIA) telah diizinkan untuk melakukan pembunuhan (assassination), larangan menggunakan tenaga pelaku kriminalitas telah dicabut, bahkan warga asing di Amerika Serikat kini diusulkan boleh ditahan untuk waktu cukup lama hanya karena dituduh pelaku atau pendukung teroris.
Selain itu, untuk masyarakat di luar Amerika Serikat, sedang diusulkan agar mereka dibebani menanggung konsekuensi dosa kolektif. Karena pemerintahan Taliban di Afghanistan diduga mendukung kelompok Osama bin Ladin, misalnya semua jalur perdagangan diminta ditutup. Negara yang tidak mempunyai pantai ini direncanakan untuk diisolasi sehingga pasokan barang kebutuhan hidup seperti makanan dan obat-obatan tidak mencukupi. Jika ini benar-benar dilakukan, dapat diperkirakan dampaknya pada anak-anak serta kaum miskin Afghanistan yang terkena wabah penyakit atau kekurangan makan.
Ini berarti kalangan papa di Afghanistan, yang seharusnya dibantu oleh dunia internasional, akan mendapat musibah ganda. Selain menjadi korban penindasan pemerintahan Taliban yang bengis, juga dihukum dunia internasional karena dianggap harus menanggung dosa yang dilakukan oleh penindasnya itu. Jelas sebuah ironi yang tak terperi.
Lantas apa yang seharusnya dilakukan? Amerika Serikat tak punya pilihan lain kecuali membangun koalisi dunia global untuk memerangi terorisme. Untuk itu, harus dibentuk dahulu kesepakatan internasional tentang definisi pidana teror. Setelah itu, masyarakat dunia perlu sepakat untuk membentuk pengadilan internasional terhadap pelaku teror yang melanggar pidana tersebut. Tidak saja kepada perorangan, melainkan juga pada organisasi, bahkan negara.
Bila langkah-langkah ini dilakukan, pengorbanan ribuan jiwa tragedi Selasa Hitam tidak akan menjadi sia-sia. Thomas Jefferson pernah mengatakan, kadang kala dibutuhkan kucuran darah martir untuk memperkuat pohon demokrasi. Bila bapak bangsa Amerika Serikat itu masih hidup, ia mungkin akan mengatakan korban peristiwa 11 September adalah para martir yang darahnya telah memperkuat pohon peradaban dunia.
Untuk mencapai tujuan mulia ini, Amerika Serikat memang harus memperbaiki sikap. Penolakannya terhadap pembentukan pengadilan internasional harus dikaji ulang. Demikian pula sikap keras kepalanya sebagai satu-satunya negara di luar Israel yang menolak pengkategorian zionisme sebagai rasisme perlu diubah.
Kalau perbaikan sikap ini tak dilakukan, kepemimpinan Amerika Serikat dalam mengajak peradaban dunia membasmi terorisme akan gagal. AS malah mungkin akan tergelincir menjadi bagian dari kegiatan yang diperanginya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini