Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cinta di batas agama

Kantor catatan sipil masih menolak perkawinan islam & non islam. pasangan abdul rachim (islam) dan milka mailoa (kristen) belum bisa menikah secara resmi meski sudah punya anak. akibatnya ada dilema.

10 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKAWINAN antaragama, khususnya lelaki Islam dan wanita non-Islam yang sejak dua tahun lalu menjadi soai berat, sampai kini, rupanya, belum juga selesai. Pasangan Abdul Rachim (Islam) dan Milka Mailoa (Kristen), misalnya, sampai pekan ini masih saja belum bisa menikah secara resmi, kendati cinta mereka sudah membuahkan seorang bayi perempuan. Iim dan Eka -- demikian panggilan akrab mereka -- sudah mencoba menikah di Kantor Catatan Sipil (KCS) Jakarta. Tapi KCS, sesuai surat keputusan instansi tersebut, 12 Agustus 1986, menolak pernikahan mereka, dan menunjuk Kantor Urusan Agama (KUA), yang berwenang untuk itu. Tapi, KUA Grogol Petamburan baru bersedia menikahkan Iim dan Eka, bila sudah ada penetapan pengadilan. Ternyata Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 20 Oktober lalu, berdasarkan peraturan perkawinan campuran (GHR 1898), menetapkan pasangan tersebut harus menikah melalui KCS. Dan KCS kembali menolak permohonan pasangan itu. Sebenarnya Iim, 23 tahun, anak haji dan asli Betawi adalah teman sepermainan Eka 22 tahun, cucu seorang pendeta Kristen Protestan. Kebetulan, rumah orangtua mereka di Anggrek Nelimurni, Slipi, Jakarta Barat, berdekatan. Pada 1985, ketika keduanya menginjak remaja, pertemanan itu pun meningkat menjadi hubungan cinta. Sampai suatu ketika, Oktober 1987, Eka hamil. Orangtua Eka baru tahu setelah kandungan Eka berusia empat bulan. Sebenarnya, persoalan tak begitu rumit, karena kedua anak muda itu saling mencinta, dan berniat menikah. Tapi ada soal yang mengganjal, yaitu perbedaan agama tadi. Berdasarkan kesepakatan keluarga, mereka tetap pada agama masing-masing, dan pernikahan dilangsungkan melalui Kantor Catatan Sipil. Tapi jalan tengah itu, ternyata, berbelit-belit. Sementara itu Eka, Juni lalu, telah melahirkan seorang bayi perempuan, yang diberi nama Suci Juanita. "Saya sudah pasrah. Kalau jalan terakhir ke KUA tak bisa juga, apa boleh buat, lebih baik saya bersaudara saja dengan Eka," kata Iim. Ia mengaku, terpaksa berhenti kuliah di tingkat II Institut Teknologi Indonesia (ITI), karena mengurus pernikahan tersebut. Pengacara mereka, Eko A. Prananto dan Allan Zainal, juga tak habis pikir dengan sikap KCS Jakarta yang mengesampingkan penetapan pengadilan. "Keadaan mereka jadi terkatung-katung, kasihan 'kan anak mereka nanti. Haruskah mereka kumpul kebo, atau pura-pura berpindah agama?" kata kedua pengacara itu. Kepala KCS Jakarta, R. Harmani Arioso, mengaku tak bisa berbuat apa-apa untuk Iim dan Eka. Sesuai hasil rapat KCS, Bakin, Pemda, serta Departemen Agama, 12 Agustus 1986, diputuskan, KCS tak berwenang menikahkan lelaki muslim dan wanita non-muslim. "Perkawinan seperti itu harus melalui KUA," kata Harmani. Sementara ini, KCS hanya diizinkan menikahkan wanita muslim dan lelaki non-muslim -- setelah diizinkan pengadilan. Menurut Kepala Seksi Pelayanan WNA KCS Jakarta, Hatidjah Wasito, keputusan itu diambil berdasarkan Undang-Undang Perkawinan (UUP), 1974. Undang-undang itu, katanya, tak mengenal perkawinan antaragama. Karena itu, kata Hatidjah, KCS berpaling ke ketentuan GHR, 1898, yang memberlakukan hukum si suami dalam setiap perkawinan campuran. Untuk Iim dan Eka, katanya, telah disarankan agar menikah di KUA. "Bila kawin di KUA, pihak wanita tak harus masuk Islam," katanya. Kasus Iim-Eka ini, menurut Prof. Sudargo Gautama, yang meraih gelar doktor dengan disertasi perkawinan campuran (1955), percikan dari perbedaan penafsiran UUP. "Itu karena UUP tak mengatur secara tegas soal perkawinan campuran," katanya. Hp. S., Moebanoe M., dan Gunung Sardjono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus